Senin, 31 Januari 2011

Hatta: hidupnya riuh layaknya pasar

Oleh; Zulhajar
          Walau terbilang sangat ramai oleh warga kota yang berbelanja kebutuhan sehari- hari. Pasar Karuwisi, ternyata masih menjadi salah satu dari puluhan pasar yang masih berstatus Darurat di Kota Makassar.

 Setelah menyusuri setengah pasar , yang memanjang menyambungkan jalan Keamanan, jalan Abu Bakar Lambogo dan Jalan maccini raya, saya mulai memperhatikan kemungkinan berbincang dengan salah seorang pedagang. Saya mencoba mendekati seorang pedagang yang punya meja bertaplak biru persegi panjang. Meja yang panjangnya kurang lebih satu setengah meter dengan lebar setengah meter sekilas telah reok, setidaknya terlihat kayu dari kaki dan namun jejeran kayu penyangga saling silang yang mungkin tiap saat ditambahkan dikaki- kakinya, membuat meja itu bertahan cukup kuat menopang tumpukan- tumpukan ikan diatasnya tiap hari. sepintas posisi meja terlihat aneh, dimiringkan kedepan. Ternyata hal itu disengaja untuk memudahkan air mengalir jatuh kedasar lantai, sebab jika tidak, tiap saat air yang dipercikkan untuk tetap membuat ikan tampak segar akan menggenangi meja. Selain ikan, dua bungkusan berisi kantong plastik dengan ukuran berbeda juga menghiasi meja jualan. Disamping bawahnya terdapat dua ember berisi air bersih yang setiap saat dipercikkan guna menyegarkan ikan.
Tak sama layaknya penjual ikan lain dipasar lokal yang dikenal dengan kebiasaan menjajakan ikan menarik minat pembeli dengan berteriak diiringi nyanyian, hatta hanya duduk dan sesekali hanya menegur teman pedagang yang lewat. Tawar menawar dengan pembelinya tak rumit, jika hatta telah menyebutkan harga dan pembeli memberi penawaran, hatta tak butuh berpikir lama menyatakan setuju atau tidak, tak banyak basa- basi untuk menarik minat pembeli. “setidaknya itu yang saya lihat berkali- kali caranya berinteraksi/ melayani pembeli”,  hal itu menjadi perhatian lain saya setelah meminta izin untuk berbincang dengannya dan duduk cukup lama disalah satu kursi dibelakang meja jualannya. 
Ia seorang penjual ikan. Namanya Hatta, Ian’ Panggilan lainnya saat masih bergabung disalah satu Geng Motor di Makassar, nama Ian’ Itu nama Udara Istilahnya, akunya sambil tertawa kecil sedikit bangga karena pernah menjadi “Anak Motor –Motor”(Istilah dimakassar untuk anggota komunitas/ geng motor), sebuah ukuran yang memadai untuk di cap Anak Gaul. Hari ini hatta menggunakan Kaos hijau berkerah dikombinasikan dengan celana kain kotak- kotak, kedua pakain kerja itu tampak kumal. Selain itu, Tas pinggang tempat uang dan sepatu boot melindungi kakinya dari genangan air disekitarnya, menguatkan tampilannya sebagai pedagang ikan. Kulit wajahnya dipenuhi beberapa lubang bekas jerawat, Sorot Mata sedikit tajam, Kulit tubuh hitam dan tebal tak mulus membalut tubuh kurusnya. Kesan yang menguatkan kalau dari Kecil dia hidup dilingkungan yang keras.
Ayahnya Poligami saat usia hatta masih muda namun telah ikut mencari nafkah, sampai sang ayah meninggal ia punya tiga ibu tiri. Ia kesal pada ayahnya yang menyakiti ibunya. membuatnya memutuskan untuk pergi dan tak lagi bekerja bersama dengan majikan sekaligus ayahnya tersebut. usia remaja telah cukup waktu untuk memunculkan empati besar memahami duka sang ibu yang dimadu.  “Intinya saya nda’ suka bapa’ku begitu, makanya saya tinggalkanki ”, Jawabnya lugas, seolah telah lalu-lalang drama hidup yang ia telah saksikan dan rasakan, hingga kisah keluarganya satu ini tak perlu lagi diungkapkannya secara emosional.
Setelah berpisah tempat tinggal dengan ayahnya yang bekerja dan menetap di Pammolongan atau Pembantaian daerah Kassi- Antang (tempat pemotongan Hewan sapi dan kerbau), tahun 1995 Hatta ikut bersama ibunya tinggal disekitar daerah maccini parang. lokasinya yang cukup dekat dengan pasar karuwisi membuatnya tertarik mencari nafkah ditempat ini. “tak butuh waktu lama untuk segera dapat kerja didaerah seperti ini, menurutnya”, awalnya ia ikut berjualan bersama pamannya Haji Ismail. Guru pertama menurut pengakuan hatta sebagai penjual ikan adalah haji Ismail yang juga saudara kandung ibunya tersebut. Namun lanjut cerita hatta, karena “tak cocok” dengan ikan, pamannya telah beralih menjadi penjual Pallubasa diperempatan sana (sambil menunjuk kedaerah jalan Keamanan, perbatasan antara daerah Karuwisi dan Maccini ).
Istilah “tak cocok” dengan satu atau beberapa jenis dagangan tertentu menjadi idiom yang sering digunakan oleh pedagang untuk mengidentifikasi peruntungannya terhadap jenis usaha atau komoditas. sepengetahuan penulis, kata ini seringkali digunakan apabila seseorang yang telah lama menggeluti satu jenis usaha atau komoditas tapi tak bisa memperbaiki penghidupan ekonomi keluarganya walaupun berbagai upaya dirasakan telah dilakukan untuk itu. diluar tafsir ini tentunya berbagai pemaknaan lain bisa hadir tentang kata” tak cocok” ini bagi pedagang.
***
Ditengah pembicaraan kami tiba- tiba seorang kakek tua mendekat, berdiri tepat didepan meja jualan hatta. Seolah tanpa aba-aba hatta menyodorkan uang Rp.1000 padanya, awalnya saya menduga orang tua dengan guratan keriput penuh diwajahnya adalah peminta- minta yang secara rutin hadir dipasar karuwisi, namun hatta buru- buru menampik anggapan yang sedang berputar dikepalaku, “ orang tua itu penagih sumbangan dari pedagang untuk mesjid pas dibelakang itu (sambil menunjuk kearah belakang meja dagangannya yang ternyata luput dari perhatianku, mesjidnya tidak cukup 10 meter dari tempat yang saya duduki)”. Tanpa banyak basa-basi, kakek itu meninggalkan kami dengan ucapan terima kasih.
Sebelum lebih jauh bertanya tentang aktivitas dagangnya, saya berpikir memulai lagi pembicaraan dengan bertanya soal retribusi selain bentuk sumbangan Mesjid seperti tadi. Hatta sepertinya semangat membicarakan ini tapi dengan nada sedikit mengeluh.
 ”iyo, nda taumi disini, siapa kepala pasar, ada memang yang ambil retribusi –namanya Daeng Supu. mungkin itumi juga kepala pasar, tapi kalau disini ada kepala Pasar, ada kepala batu. Banyak penjual yang maunyapi baru bayar terutama ana- ana penjual ikan, kotaumi toh daerah sini, tempatnya perang- perang busur, banyak yang mantan preman dan masih banyak yang preman jadi penjual. Pernah dulu banyak penagih tapi bikin jengkel- jengkel kalo menagih, pernah didatangi ramai- ramai sama orang banyak (pedagang) tapi beralasan- hasil retribusi nda jelas disetor kemana, jadi banya’mi orang kepala batu (malas bayar atau tidak mau diatur), saya juga kalo didatangika biasa tommi saya bayar biasa juga tida’, tergantung suasana perasaan, “ucap hatta sambil senyum- senyum”.   
***
Tak cukup lama waktu yang dibutuhkannya untuk tahu seluk-beluk jual ikan, setelahnya ditahun yang sama yaitu 1995 ia memulai usaha sendiri. Ia mendapati guru keduanya bernama Andi Muhdar. Dari beliau yang pengusaha ikan dilelong( tempat pelelangan Paotere) hatta mendapat kepercayaan. Hatta tiap saat mendapat suplay ikan dari gurunya tersebut sambil dicatatkan harga dan selayaknya dijual berapa. Setelah merasa modalnya cukup untuk membeli langsung ikan, hatta tak lagi mendapat suplay. Sejak saat itu ia setiap harinya Hatta membeli langsung dan bayar cash/ tunai ikannya.
Sejak 15 tahun lalu, nyaris tiap hari Hatta memulai aktivitasnya dari jam 5 atau 6 pagi dipaotere untuk membeli ikan, dihari biasa modal yang dikantonginya berkisar 600-700 ribu dan dibulan puasa ia biasanya membawa 1 juta rupiah, tak lupa pula untuk menyisihkan uang retribusi masuk Pelelangan sebesar 5 ribu rupiah.
Dengan sepeda motornya ikan dibawa dengan kardus besar ke meja tempat jualannya dipasar karuwisi, sebelum jam 8 biasanya ia telah tiba dan mulai berjualan. tengah hari ketika pasar sudah mulai sepi dari pembeli hatta memilih pulang kerumahnya istirahat yang tak jauh dari pasar, makan dan tidur siang dua hal yang dilakukan mengurangi kepenatan sebelum kembali lagi menjual sekitar pukul 15 atau 16 sore, waktu dimana pembeli kembali ramai pembeli terutama oleh ibu- ibu yang kembali dari aktivitas kantor. Pasar Karuwisi yang terbilang strategis, berposisi ditengah kota Makassar. cukup mudah di akses dari daerah perkantoran Jalan AP. Pettarani dan Panakukang, menjadikannya banyak dikunjungi pagi dan sore hari sebagai tempat belanja kebutuhan konsumsi sehari- hari seperti Ikan, ayam, sayuran, bumbu dapur dll, “ungkap hatta dengan nada datar sambil merapikan tumpukan- tumpukan ikannya”.
Selain siang hari, Kadang pula ia memanfaatkan hari senin atau selasa untuk beristirahat, sekedar bermalasan- malasan atau digunakan untuk mengunjungi keluarga atau berkumpul dengan teman- teman lamanya. sehari penuh ia tak samasekali menjual, biasanya pengunjung pasar kurang, jelas hatta.     
Hari ini, hatta hanya menjual Ikan layang, ikan mairo/ teri, ikan sinrili, udang, dan sayuran lawi-lawi serupa rumput laut (menurutnya sayuran ini sangat enak disantap dengan ikan teri). Jenis ikan yang jual disesuaikan dengan musim, menurut hatta saat- saat seperti ini yaitu musim angin barat nelayan hanya bisa memperoleh ikan jenis ini untuk konsumsi kelas menengah kebawah. Jika cuaca normal hatta bisa menjual banyak jenis ikan seperti Katamba, Lamuru, cepa’, ba’nyara, layang, sinrili, cumi- cumi, cakalang. Sementara jenis ikan yang menjadi andalan atau paling banyak disuka pelanggan yaitu ikan layang, ba’nyara, cakalang.
Dari jualannya hari ini hatta menjelaskan harga tiap jenis ikan jualannya, ikan layang misalnya dibeli 275 ribu satu Basket (keranjang), 1 basket berisi 110- 120 ekor, 3 ekor layang bisa dijual 10 ribu, total hasil penjualan jika laku semua mencapai 360 ribu,keuntungannya mencapai 85 ribu. nilai itu tak berselisih jauh dari keuntungan yang didapat dari penjualan ikan sinrili, sementara untuk udang hari ini dia membeli 5 kilo, perkilonya dibeli dengan harga 32 ribu, dijual dengan cara dipisahkan dalam bentuk tumpukan- tumpukan setengah kilo diatas meja dan dijual 20 ribu, keuntungan dari udang berkisar 40 ribu. dari sekerjang yang beratnya 4 kilogram ikan mairo/ teri menghasilkan 12 tumpukan dengan harga 5 ribu tiap tumpukan, dengan harga beli 25 ribu perkeranjang harga jualnya bisa mencapai 60 ribu, artinya keuntungan yang diperolah berkisar : 35 ribu rupiah. Jualan terakhir yaitu lawi- lawi, dibeli 30ribu satu karung kecil, dijual ditumpuk dengan harga 2 ribu rupiah, harga jual bisa jadi 50 sampai 60 ribu dari jual jawi- jawi. Dengan kalkulasi sederhana, total keuntungan yang potensial diperoleh hatta hari ini berkisar: 275 hingga 300 ribu dengan asumsi semua terjual habis. jika masih ada sisanya disimpan dikardus berisi es (istilah penjual ikan :di Es). Selebihnya sisa ikan yang tidak terjual disisihkan pula buat kebutuhan rumah tangganya, untuk konsumsi lauk buat istri yang dinikahinya tahun 1998 dan satu putranya dirumahnya dijalan Maccini Parang, ± 100 meter dari meja jualannya.
            Sekilas penghasilan Hatta sebagai pedagang ikan sangat lumayan. Untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari- hari rumah tangganya tak banyak mengalami kesulitan berarti. Diluar itu Hatta tiapa hari harus menyisihkan 20 ribu rupiah melunasi cicilan pinjamannya dikoperasi sebesar 1 juta rupiah. namun  tak lupa pula ia menabung. bukan hanya sebagai media untuk menabung sepertinya; melalui arisan rasa kebersamaan dan persaudaraan sesama pedagang Pasar karuwisi terjalin.  ada dua jenis arisan ia ikuti. Hatta secara jujur mengungkapkan bahwa lewat arisan setidaknya 90 ribu rupiah perhari penghasilannya dia amankan. aman dari hobby atau kebiasaannya menghabiskan uang dengan minum- minum ditempat karokean atau main billyard bersama teman- temannya, akunya. bahkan, menurut pengakuannya lagi, setidaknya dua kali seminggu menghabiskan malamnya minum- minum ditempat karaoke pavoritnya dibilangan jalan Ahmad Yani. Tak jarang ia dan teman- temannya menyewa wanita penghibur untuk menemaninya bernyanyi. Tanpa berupaya menutupi kebiasaan buruknya ia melanjutkan, kalau setelah karaoke bersama wanita penghibur itu, tak jarang dilanjutkan diranjang penginapan murah didaerah kota. “Hiburan toh” sambil tersenyum malu, Hatta mengakhiri cerita hidupnya.
Mudah- mudahan Hatta tak mengulangi kesalahan ayahnya yang dia sendiri mengutuknya, “memadu istrinya”, harapku dalam hati sebelum berpamitan dengannya.

          

                                                                                                                

Selasa, 25 Januari 2011

Pembangunan yang (TIDAK) Membangun

Oleh; Gideon Lebang

Ada yang menarik dengan pemberitaan koran Fajar halaman 15, hari Rabu tanggal 1 Desember 2010. Disitu tertulis tentang konsep “Menyulap Kawasan Pinggiran Menjadi Pusat Grosir”. Bermacam-macam kemewahan yang ditawarkan oleh pengembang dalam hal ini Mutiara Property melalui anak perusahaannya PT. Daya Niaga Cemerlang. Mulai dari Pusat Grosir Terbesar yang dipadukan bersama hotel, restoran, terdapat pete-pete khusus, jasa ekspedisi, atm, tenant-tenant perbankan serta pasar segar.

Ada yang menarik? Pertama, konsep penyatuan atau menurut istilah pembangunan modern sekarang dinamakan “pembangunan integral” merupakan konsep pembangunan yang menyatukan semua pusat aktifitas dagang dan ruang santai publik dalam satu area. Gunanya supaya publik atau si-pengguna aktifitas tidak perlu repot-repot ketempat berbeda hanya untuk membeli suatu barang produksi. Jadi ketika ibu-ibu rumah tangga mau membeli baju bisa sekalian membeli sayur dan ikan. Konsep pembangunan ini menjadi suatu terobosan yang sudah tidak baru lagi di Indonesia. Banyak kota-kota besar di Indonesia mengaplikasikannya termasuk Makassar. Konsep ini direduksi oleh para teknokrat pembangunan Indonesia dari luar negeri yang fungsinya meminimalisasi ruang-ruang agar tidak terbuang percuma. Sebenarnya untuk kasus Indonesia jangan kita sama kan dengan negara Jepang atau Prancis atau negara Eropa lainnya yang ruang-ruang sudah sangat sedikit, sehingga untuk pemanfaatan ruang haruslah maksimal. Kita masih punya wilayah yang terbentang luas dari sabang sampai merauke yang tidak termaksimalkan pembangunan. Jelas alasannya, pemerintah kota Makassar harus punya pemasukan untuk menutupi perut-perut karyawan pemerintah, studi banding anggota dewan, pembangunan jalan(walaupun depan rumahku belum beraspal), dan kelangsungan partai dan golongan tertentu. Semuanya itu harus berasal dari investor yang ber-mutualisme dengan pemerintah dan politisi antagonis.

Kedua, konsep yang katanya modern itu tidak sangat sesuai dengan konsep berbelanja masyarakat Indonesia pada umumnya. Sangat lucu dibayangkan ketika pasar segar yang dalam hal ini pasar yang menjual sayuran, buah-buahan serta barang basah seperti ikan dan daging, berada di tengah-tengah kios dan ruko-ruko yang menjual kain serta pakaian yang notabene adalah barang kering. Letak kenyamanan seperti apa yang  coba ditawarkan oleh pengembang ketika itu terjadi. Ada dua alasan kenapa yang terjadi hanya ketidaknyamanan : Pertama, ketidaknyamanan pedagang dan pembeli. Yang kita tahu, daging dan ikan membutuhkan air atau es batu untuk tetap menyegarkannya. Area ikan dan daging membutuhkan drainase limbah dan sirkulasi udara yang baik. Dan itu tidak bisa terjadi kalau tidak adanya pemisah yang jelas antara area dagangan basah dan kios serta ruko-ruko yang mengelilinginya. Logikanya, saluran pembuangan limbah ikan dan daging akan terus berputar-putar dan hanya berkumpul ditengah-tengah pasar segar. Dan menyebabkan ketersumbatan sehingga pasar akan (kembali) becek. Kedua, ketidaknyamanan penduduk yang bermukim disekitar Pusat grosir akibat limbah pembuangan. Dimana di sekelilingnya terdapat ratusan rumah penduduk yang bermukim. Hasilnya bau limbah akan menyengat tiap hari dan (akan) diperparah ketika hujan turun membawa genangan limbah yang bisa menyebabkan penyakit.

Konsep yang ditawarkan Along, sapaan sehari-hari Kiplongang Akemah yang merupakan Presiden Direktur Mutiara Property tidak bisa kita bilang buruk sepenuhnya. Konsepnya sangat baru dan belum ada yang serupa di Makassar. Dimana pasar segar dikelilingi oleh pusat grosir kain dan pakaian. Tapi, bila kita bercermin dari pasar-pasar semi-modern yang berada di Makassar seperti pasar Terong dan Sentral-mall dimana kegagalan pengelola dan pemerintah untuk mewujudkan terciptanya kenyamanan pedagang dan pembeli. Kita lihat Sentral-mall. Para pedagang basah dalam hal ini sayur, buah, ikan dan daging yang lokasinya berada di basement sama sekali jauh dari harapan mereka ketika ditawari oleh sales pengelola. Sangat sempitnya saluran air yang tersedia menyebabkan limbah bertumpuk di gorong-gorong seputarnya.

Pasar Terong yang malu-malu menyebutnya sebagai Mall-Terong lebih parah lagi. Sama sekali tidak ada tata kelola pasar yang jelas. Pembagian area antara barang basah dan kering tidak pernah ada. Bayangkan, untuk pedagang asam dan sayur ditempatkan pada lantai dua berdampingan dengan barang pecah belah. Dari mana kemana hubungannya, kata daeng Jama’ salah satu pedagang asam yang pernah punya kios di dalam pasar yang berlantaikan empat itu. Makanya kita tidak heran kalau banyak pedagang disana yang tidak menempati kiosnya dan kembali meluber memenuhi jalan-jalan Terong dan sekitarnya.

Kembali lagi ke permasalahan rencana pembangunan Pusat Grosir Daya. Kalau melihat letak pasar yang sangat strategis dimana berada di depan terminal Daya. Itu menjadikan salah satu nilai plus keberadaan pasar yang satu ini. Terciptanya arus produksi kepada konsumen (mungkin) akan tercapai. Banyaknya calon-calon konsumen yang berada di daerah akan semakin memudahkan proses transportasinya. Apalagi katanya, pasar ini akan dilengkapi sarana jasa ekspedisi yang bisa mengantarkan barang-barang pesanan kepada konsumen yang berada jauh diluar daerah. Tetapi itu masih menajadi pemanis bibir para pengembang untuk melariskan propertinya kepada calon-calon pembeli.

Sempat saya bertemu dengan salah satu sales pengembang properti ini. Dengan berpura-pura sebagai calon pembeli kios. Dia menceritakan kepada saya mengenai kenyamanan serta fasilitas-fasilitas yang akan tersedia di area pusat grosir. Mulai dari konsepnya yang integral dimana pasar segar yang dikelilingi kios dan ruko grosir pakaian serta hotel, restoran dan kemudahan-kemudahan lainnya. Sales ini juga menegaskan kepada saya untuk cepat-cepat memesan dan memberikan uang tanda jadi sebesar 5 juta rupiah. Tapi begitu terkejutnya saya ketika mendengar harga kontan per kiosnya rata-rata mencapai 207 juta dengan luas hanya 4,75  x 3 meter. Itu baru harga kios, belum harga ruko yang mungkin dua kali lipatnya. Saya tidak menanyakan harga rukonya lagi atau harga kios yang berada di tempat strategis yang punya harga bervariasi tersebut. Apakah saking terkejutnya atau apalah.

Lantas saya teringat dengan bapak Muchtar. Seorang pedagang pisang dan beras yang menjual hanya karna kebiasaan. Bapak yang sudah berumur 70 tahun ini sudah menjual kurang lebih 50 tahun. Awalnya dia menjual di sekitaran pasar lama, jalan pacerakang, sebelum dia dan banyak pedagang lainnya dipindahkan kepasar baru Niaga Daya tahun 1997. Kata bapak Muchtar, kalau dia tidak bekerja dan tinggal dirumah, badannya akan sakit semua. Sebenarnya dia bekerja bukan untuk mempertahankan hidup karna sudah ada anak-anaknya yang berhasil menjadi pelaut dan membuatkannya rumah. Tetapi karna hidupnya berawal dari pasar maka dia terus melanjutkan hidupnya di pasar, tambah bapak beranak empat ini. Bapak muchtar juga menceritakan kisahnya yang pernah punya utang mencapai 80 juta rupiah. Katanya, dia memiliki utang sebanyak ini untuk keperluan menyekolahkan anaknya yang kuliah di ilmu pelayaran.

Pasar bagi bapak muchtar dan ratusan pedagang lainnya memang menjadi area bekerja yang nyaman. Walaupun bangunan yang mereka tempati serba darurat, becek dan berbau tidak sedap, tetapi karna tuntutan ekonomi dan tanggung jawab keluarga, itu harus dijalani.

Di Pasar Niaga Daya sendiri terdapat organisasi pedagang yang dinamakan Himpunan Pedagang  Kaki Lima – Perjuangan (HPKL – P). Mereka yang tergabung di organisasi ini rata-rata adalah para pedagang yang berasal dari relokasi pasar lama yang tidak menempati kios atau ruko yang berada di dalam inti pasar. Tujuannya selain sebagai wadah berorganisasi juga sebagai alat persatuan untuk menghindari pungutan-pungutan liar dari mana saja.

Lokasi berjualan bapak Muchtar bersebelahan dengan sekretariat HPKL – P yang berada di sebelah barat Pasar Niaga Daya dan itu berarti berada pas bersebelahan dengan lokasi pembangunan Pusat Grosir Daya. Jarak antaranya cuma lima langkah kaki orang dewasa. Sedangkan antara PND dengan lokasi Pusat Grosir Daya sekitar kurang lebih 50 meter. Bagaimana jadinya nasib ratusan pedagang yang berada di Pasar Niaga Daya ketika Pusat Grosir jadi dibuat..?? mau dikemanakan mereka..??

Sekarang saja, sebelum Pasar Grosir dan Pasar Segar didalamnya belum ada, omzet para pedagang dari hari ke hari menurun. Seperti yang dialami Hj. Rahmawati. Pedagang barang campuran ini hanya meladeni para pembeli tetapnya.

Saatnya pemerintah dalam hal ini walikota Makassar, agar melihat kembali rencana pembangunan Pusat Grosir Daya dan pembangunan modern lainnya. Jangan hanya kepentingan menarik investor saja dan mengenyampingkan aspek ekonomi-kerakyatan yang telah terbangun sebelum negara ini merdeka.

Bukan tidak mungkin rencana pembangunan Pusat Grosir Daya ada keterkaitannya dengan ter-(di) bakarnya Pasar Grosir Butung. Karna area yang tidak mencukupi lagi untuk memperbesar kawasan Butung yang keberadaannya di tengah kota. Maka disulaplah kawasan pinggiran menjadi penggantinya.


* penulis menganalogikan kata disulaplah sebagai pengganti arti untuk tindakan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang punya kepentingan besar dan cara yang dipakai untuk merealisasikan kepentingannya lewat tindakan kriminal.  

Meminjam Untuk Meminjam

Oleh; Gideon Lebang

Siang itu, di Jalan Pacerakang, di pasar lama, matahari sangat terik membakar kulit tidak seperti beberapa hari kemarin. Sengatannya bisa dirasakan sampai menembus jaket yang sudah sedari tadi basahnya karna keringat yang menyerap, tidak tau jalan keluar sehingga meninggalkan kelembapan hampir di sekujur tubuh. Belum lagi hilir mudik kendaraan roda dua dan empat yang tidak pernah berhenti menghiasi jalan-jalan yang sejak beberapa bulan lalu sudah ber-beton yang katanya ini hasil kerja keras dari anggota dewan terpilih pada basis pemilihan ini di pemilu legislatif kemarin.

Saya tidak tau dan begitupun mama’ Anis yang sudah sekitar 10 tahun menjual disini. Yang dia tau, pada saat pembangunan jalan beton, dia bersama pamejang ( pedagang yang memakai meja tapi lebih kecil)  lainnya sering bermain kucing-kucingan dengan petugas keamanan yang biasa berpatroli di area sekitar pasar ini. Karna mama’ Anis dan pamejang lainnya menggelar dagangannya di sepanjang pinggiran jalan pasar, yang menyebabkan pengerjaan jalanan beton terhambat sehingga memacetkan jalan pasar. \ Mereka merupakan pedagang kecil yang tidak bisa menyewa lapak atau meja permanen yang berada di dalam pasar.

Pernah suatu ketika, pada bulan november tahun kemarin, mama’ Anis dan pamejang lainnya, lari terbirit-birit dikarenakan sampadang (pekerja bangunan) memburu mereka dengan balok. Ini memang menjadi suatu resiko yang kerap kali mama’ Anis rasakan, tetapi demi menghidupi keluarga dengan sepuluh orang anak dan suami yang sakit-sakitan, realita itu harus dihadapi.

Untuk sekedar mempertahankan hidup, mama’ Anis seringkali meminjam uang kepada koperasi, yang besarannya tergantung kondisi dan kebutuhan hidup. Baru-baru ini dia meminjam dua juta rupiah untuk menutupi pinjaman dagangannya yang sudah tenggat waktu pembayaran serta biaya sekolah anaknya. Dan pembayaran dilakukan dengan cara mencicilnya 24.000 perhari sampai lunas. “mau mi di apa, kita kodong orang susah, kalau tidak begini mi mau ki makan apa. Kalau anak mau mi bayar uang sekolah na tidak ada uang, pinjam mi ki kesana kemari, nah na pinjami ji ki orang itu kalau kerja ki, nah kalau tidak kerja ki tidak na pinjami ki uang orang”.

Rata-rata pamejang-pamejang non-permanen yang berada di pinggiran jalan pasar,  mengambil barang dagangan dari orang-orang dalam daerah dan luar daerah yang tiap hari datang memakai mobil. Sistemnya titip-jual. Kalau ada laku dibayar, kalau tidak tinggal dulu. Yang busuk menjadi tanggungan si penitip. Sistem ini memang menjadi ciri khas pasar lokal dan sudah berlangsung lama. Kepercayaan menjadi modal utama dari sistem ini.

Hidup di kota besar seperti di Makassar , uang 1000 rupiah menjadi suatu yang tidak berharga. Tapi bagi keluarga mama’ Anis, ini menjadi harga yang sangat berarti untuk pedagang yang sehari harinya menjual lombok, tomat, dan kebutuhan dapur lainnya tersebut. Mama’ Anis menjadi satu satunya tulang punggung keluarga saat ini setelah suaminya beberapa tahun terakhir terkena penyakit gula yang mengharuskannya istrirahat dirumah. Paling kalau kondisi suaminya lagi baik, biasanya dia membawa ojek atau menjadi buruh upahan untuk mengantarkan es balok pesanan penjual-penjual ikan. Tapi ketika kondisinya buruk, biasanya anaknya yang laki-laki menggantikan ayahnya untuk meng-ojek. Itu sebelum dia malu karna ditertawai oleh teman sekelasnya.

 Anak mama’ Anis ini masih duduk dibangku SMA tapi ini merupakan pencapaian tertinggi dibandingkan anak-anak sebelumnya yang sekolah sampai SMP saja. “itu saja na cukupmi, mau ka kasi sekolah anak ku kodong tapi tidak ada biaya, jadi anak-anak ku sebelumnya mengerti tong mi kodong. Ada mi kerja di kima di bagian pabrik udang, yang cewenya menikah semua mi. tapi biasa tongi masi ku kasi uang ojek na’ biasa ta’ sepuluh ribu, nah memang gajinya kadang tidak cukup tongi kodong”.

Saya pikir mama’ Anis dan pamejang lainnya tidak dipungut biaya selain daripada retribusi kebersihan yang memang harus dibayarkan kepada pemerintah berwenang. Karna selain hanya menempati pinggiran jalan pasar, tempat menjualnya juga tidak permanen seperti pedagang yang berada di dalam pasar. Jadi ketika aktifitas menjual selesai, meja yang di pakai akan dibongkar kembali dan disimpan di bawah meja permanen milik pedagang lainnya. Sehari-hari mama’ Anis menjual dari jam 08.00 – 20.00, tetapi kalau pembeli ramai biasanya sampai jam 10 malam.

Harga sewa yang harus dibayar mama’ Anis perbulannya 150 ribu dan itu dibayarkan kepada H. Duding, pemilik tanah dan sekaligus pedagang barang campuran yang kiosnya sekaligus dijadikan sebagai rumah. Ada sekitar 20 bahkan lebih pedagang yang menyewa lokasi, meja dan lapak kepada H. Duding. Dengan harga sewa dan kontrak yang bervariasi tergantung dari lokasi dan luas tempat berjualan.

Pasar lama di jalan Pacerakang ini memang lokasinya bukan dikelola oleh pemerintah seperti pasar-pasar resmi atau darurat lainnya, tetapi berada di tanah pribadi. Jadi pengelolaannya dilakukan oleh H. Duding dan pemilik-pemilik tanah yang pedagang menyewanya. 

Hidup seperti mama’ Anis juga sama dirasakan oleh mama’ Nisa. Dengan sepuluh orang anak dan suami yang sudah tidak bisa bekerja lagi maka mama’ Nisa praktis menjadi tulang punggung keluarganya. Walaupun sudah usur, tetapi dia masih cekatan untuk melayani langganan yang memang tiap hari datang mencari ikan kering serta pallu ce’la (ikan masak yang dibumbui dengan kunyit ditambah bumbu lainnya) yang menjadi jualan khas mama’ Nisa lebih dari 20 tahun tersebut. Badannya yang kurus kecil dengan urat-urat tangan yang hampir keluar menembus kulit menandakan mama’ Nisa adalah seorang pekerja keras sejak masa mudanya. Mama’ Nisa juga pamejang, sama dengan mama’Anis dengan ukuran meja berkisar 80 x 60 cm. Disitulah, di mejanya, aneka macam ikan kering terhampar bak tempat pembantaian massal.

Anak-anak mama’ Nisa sudah ada yang sudah bekerja dan berumah tangga, tetapi hidup mereka pun pas-pasan sehingga mama’ Nisa tidak jarang pula memberikan mereka uang sekadarnya. Jangan kan untuk membeli barang-barang semisalnya pakaian atau hal lainnya, beras yang mereka makan pun sering kali di pinjam. Biasanya satu atau dua liter perhari, dengan harga 7500/liternya. Memang banyak sekali tukang kredit yang berkeliaran di sekitar pasar. Ada pribadi, koperasi dan semuanya memiliki bunga berbeda-beda tergantung pinjaman dan waktu pembayaran. Bukan hanya uang atau barang-barang rumah tangga, beras dan kebutuhan dapur pun bisa di kredit lewat tukang kredit ini. Pembayarannya tergantung dari kesanggupan dari si peminjam, kalau sudah ada uang yah dibayar, kalau belum ditunda. Tapi karna kepercayaan yang harus tetap terjaga antara si peminjam dan pemberi pinjaman maka seringkali peminjam melakukan cara gali lobang tutup lobang. “ biasa tongi kodong kupinjam beras dari orang, satu liter, dua liter nanti pi ada uang ku kubayar ki, biasa tongi tidak ada uang ku bayar kodong jadi besok pi lagi. Ada pi uang ku baru kubayar ki”. “Meminjam untuk meminjam” begitu istilah yang dipakai mama’ Nisa untuk sekedar bertahan hidup dari ketidak cukupannya.

Lain halnya dengan yang dialami oleh mama’ Marwah. Walaupun sama-sama pamejang dengan kehidupan yang pas-pasan tetapi ibu yang satu ini sangat kritis melihat pemerintah dan anggota dewan. Menurutnya, selama ini pemerintah kota dan anggota dewan Makassar kalau berbicara memakai dengkul bukan otaknya. Mereka tidak pernah melihat nasib rakyatnya  dan hanya kepentingan pribadi saja yang dipentingkan. Yang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin, seperti lagu Rhoma Irama saja, tambah ibu yang pernah kuliah di Universitas Cokroaminoto di Makassar ini. Mama’ marwah juga mempertanyakan tentang sering terlambatnya petugas kebersihan yang bertugas di pasar lama. Karna tempat berjualannya tepat berada di samping tempat pembuangan sampah yang bisa sampai berhari hari tidak diangkut, maka mama’ Marwah mempertanyakan retribusi yang sudah dibayarkannya. “ tiap hari ku bayar ini 1000 rupiah untuk sampah tapi semestinya yang kita bayar pedagang cuma 3000 rupiah per minggu. Dimana selisihnya 4000 rupiah, yah masuk dikantongnya pemerintaiya ka”.

Akibat dari keterlambatan petugas kebersihan itu, tomat-tomat mama’ Marwah dan dagangan lainnya jadi tidak laku. Walaupun sering kali dilarang oleh suaminya untuk bicara-bicara mengenai pemerintah, tapi mama’ Marwah tidak takut. Bahkan pengakuan dari mama’ Marwah, dia punya kenalan di KPU dan wartawan kalau ada yang mau peras-peras dia dan pedagang disini.

Kisah-kisah pedagang kecil yang berada di pasar lama untuk sekedar bertahan hidup memang berrmacam-macam. Demi keluarga dan demi eksistensinya mereka rela bangun subu hari, pulang tengah malam, berlama-lama di bawah terik matahari, menahan tusukan udara yang dingin, berkejar-kejaran dengan petugas, menahan kantuk yang mendera, lapar, himpitan penagih utang, bau yang menyengat, becek dan tidak jarang tersenggol oleh desak-desakan kendaraan yang berlomba untuk maju. (Sekali lagi) semuanya itu untuk alasan bertahan hidup.

Masih adakah niat pemerintah yang murni mengakomodasi kebertahan hidup mereka. Ataukah hanya kepentingan investor untuk merealisasikan konsep Makassar sebagai kota dunia dan revitalisasi sebagai metodenya. Meminjam dan meminjam (sekali lagi) meminjam dan meminjam adalah metode dan cara terampuh untuk mama’ Anis, mama Nisa dan puluhan pedagang (bukan hanya) di pasar Lama untuk bertahan.



Selasa, 18 Januari 2011

Derai-Derai Air di Pasar Tamalate


Oleh; Ishak Salim

Walau pagi terus beranjak
matahari tak jua mencuat
Selangit awan sejak semalam menawannya erat
Alih-alih membebaskan diri dari sekapan awan kelabu
air malah tumpah ruah
Awalnya sekedar garis-garis perak puitis,
akhirnya menjadi hujan yang marah.
Langit ringkih menampar jejak yang baru tercetak,
Mengukir pahatan baru tak berjejak.

Orang-orang yang mencari uang untuk sesuap nasi. Datang silih berganti. Menetap bila nasib begitu baik di jalan Tamalate. Tapi pergi juga seringkali menjadi pilihan tunggal. Armada Pagandeng dari Makassar, Gowa, dan Takalar yang memenuhi jalan Tamalate I di sekitar kampus UNM Fakultas Ilmu Pendidikan sudah ada di sana lebih sejak sepuluh tahun terakhir.

Daeng Kanang, ibu tua beranak sepuluh penuh semangat menceritakan kisah heroik dalam hidupnya. Saat itu awal tahun 2000 saat ia masih menjual di sekitar Puskesmas Kassi-Kassi.

Satuan Polisi Pamong Praja datang bergerombol ke  lapaknya. Mereka bermaksud mengusir Daeng Kanang agar tidak menjual lagi di trotoar itu. Tapi, ia dengan sigap mencegatnya. Dengan logat Makassar yang kental, ia balik memaki-maki Komandan Regu Satpol PP itu. Komandan regu berlagak tenang dengan makian Daeng Kanang. Tapi ia juga tak mau pergi sebelum Daeng Kanang membereskan meja lapaknya. Daeng Kanang tak kehabisan kata-kata.

“Dari mana kalian dapat uang untuk makan kalau bukan dengan memeras rakyat kecil seperti kami!”

Kata-katanya menohok komandan regu dan mulai gelisah. Ia memperlihatkan gelagat mengancam, lalu berbalik hendak mengambil sesuatu di mobil bombe-bombe yang membawa anggotanya kemari. Daeng Kanang mengikuti langkahnya dengan ekor matanya. Sebilah parang!

Suami Daeng Kanang menenangkan amarah istrinya. Tapi istrinya adalah ‘lelaki’ yang sedang mengusung api. Ia memilih abai dengan nasehat Daeng Rala suaminya. Begitu gagang parang itu digenggam oleh sang komandan regu. Daeng Kanang lagi-lagi menghardik tajam.

“Heh, Ko mo apai itu parang? Mauko parangika? Pilih mi mana ko suka. Saya tidak takut ji!”

Daeng Kanang yang tak surut emosinya terus meneror personil satpol PP ini. Nyali ‘polisi’ ini sekilas ciut dan Daeng Kanang dapat membacanya. Perempuan yang lahir di Bonto Nompo, Gowa enam puluh tahun lalu dan berasal dari keluarga nelayan ini semakin berada di atas angin. Ia menutup kalimatnya dengan tegas,

“Kalau ko tidak parangika, ko yang kuparangi!”

Daeng Kanang terkekeh-kekeh mengenang kisah itu. Aku disampingnya juga terkekeh membayangkan sepasukan polisi pamong praja pergi dari Tamalate. Hujan makin menjadi-jadi dan basah di sana-sini.

Seorang perempuan berjas hujan hijau tua datang mendekat dan mulai memilih-milih telur. Daeng Kanang beranjak dan mengajaknya ngobrol. Rupanya keduanya sudah saling kenal. Pelanggan setia sepertinya.

Pandanganku lurus ke depan. Seorang anak perempuan berusia sekira 4 tahun tergesa-gesa menanggalkan seluruh bajunya seolah tak sabar ingin menerjang guyuran hujan. Ia baru saja mendapat izin rupanya setelah sejak tadi kuperhatikan ia merengek kepada ibunya yang baru saja usai merapikan aneka dagangannya.

Annisa yang kehilangan teman sejak pagi seperti menemukan mainannya yang lama hilang. Ia pun lari menerjang dan sekejap larut dalam siraman, mengayun-ayunkan kedua tangannya, membuka telapaknya yang mungil seolah hendak menadah seluruh air itu. Bahkan dari tenda berwarna biru yang sudah tercabik-cabik sekalipun masih bisa memberinya mainan paling indah pagi itu, pancuran air.

Hujan makin deras!

Satu persatu penjual ikan yang sejak tadi menjajakan ikan di sepanjang trotoar jalan ini masuk berlindung dan berbincang dengan penjual ikan lainnya. Di sekitar mereka, boks-boks gabus berwarna putih terhampar. Seorang pedagang mengeluarkan ikan-ikan segar yang bertaburkan butiran es ke lapaknya yang beralas terpal plastik biru. Ikan-ikan ini ia beli di pasar pelelangan ikan Paotere. Biasanya ia mengambil ikan di Pasar pelelangan ikan Barombong. Tapi karena kurang ikan, ia memilih ke Paotere.

Suasana makin ramai. Pedagang-pedagang ikan ini tertawa-tawa setiap ada yang berkelakar. Aku diam-diam tersenyum setiap lelucon yang kupahami. Tak lama, Daeng Kanang duduk lagi disampingku. Aku menyalakan kretek dan menghisapnya dalam-dalam.

“Jadi kemana maki’ pindah nanti?” Aku meminta pendapatnya.

Tadi, sebelum hujan menggila, aku diberitahu oleh pedagang ikan tempatku membeli 4 ekor cumi-cumi bahwa tanggal 15 Februari nanti pemilik tanah ini meminta kami pindah.

“Sudah pernahmi datang Hajjia, pak. Dia tidak bisami lagi perpanjang kontrak tanahnya ke kami.” Demikian ia bercerita.

“Jadi selama ini semua pedagang di sini membayar sewa?” aku menelisik. Ia mengatakan ‘ya’ kecuali pedagang yang memenuhi trotoar itu. Ia menunjuk beberapa pagandeng juku’ yang melayani pembeli. Ibu Annisa yang memiliku dua kios membayar sewa 500 ribu perbulannya.

Di atas tanah di mana mereka berpijak menjual, memang ada sekira 25 pedagang membangun lapak dan beberapa kios sederhana, termasuk Daeng Kanang. Lingkungannya buruk. Becek dengan tanah berwarna hitam. Kios-kios dibuat seadanya. Berdinding seng bekas kecokelatan dan beratap seng yang juga cokelat dan karat disana-sini. Beberapa kios itu tertutup rapat sehingga aku berkesimpulan itu tak berpenghuni.

“Tidak, pak. Ada semua yang punya itu. Full barang di dalam itu.” Demikian pedagang ikan yang bersongkok haji ini menjelaskan.

 “Ooo.”

Rupanya, sekira tiga tahun terakhir, pedagang-pedagang ini menempati tanah ini untuk berjualan. Sebelumnya, banyak dari mereka adalah pagandeng juku dan sayuran yang berjualan di trotoar sekitar Kampus UNM. Jalan ini strategis, dilewati oleh banyak pegawai dan mahasiswa yang lalu lalang. Di sisi kiri dan kanan juga adalah perkampungan padat kelurahan Tidung dan beberapa kelurahan lainnya di kecamatan Tamalate..

Tanah yang pedagang sewa ini milik seorang dosen UNM yang tinggal di Rappocini. Sesekali ia datang mengambil uang sewa yang sudah dikumpulkan oleh salah seorang pedagang yang juga adalah keluarganya. Terakhir kali ia datang menyampaikan ultimatum itu. Pedagang sudah harus pindah dari tanahnya.

“Pastimi itu, Pak.” Daeng Kanang meyakinkanku atas keraguan pemilik tanah ini meminta pedagang pergi.

“Saya dengar langsung dari dia dengan telingaku sendiri.” Ia menekankan lebih jelas lagi.

Rupanya, tekanan datang dari beberapa kawannya yang juga dosen UNM.
Aku memandang gedung biru UNM tepat di depan pasar ini. Pemandangan yang buruk adalah masalahnya. Pihak Universitas resah melihat kesemerawutan jalan di depan kampus oleh aktifitas pagandeng-pagandeng ini.

Memang tidak ada lagi pagandeng di sekitar pagar UNM ini. Masih kuingat beberapa bulan lalu membeli ikan asap di sekitarnya. Ikan asap memang khas Pasar Tamalate. Orang-orang Makassar yang sangat menyukai menyantap ikan sebagai lauknya menyukai masakan asapan ini. Dominan ikannya adalah ikan Cakalang atau Tuna. Aku selalu memasaknya kembali dirumah dengan ramuan bersantan.

“Teman-temanna yang suruh dia supaya dia jual saja tanahnya.” Demikian Daeng Kanang melanjutkan ceritanya.
Melihat hubungan pemilik tanah dan beberapa pedagang ini dalam mendirikan pasar, aku mulai berpikir taktis. Pedagang ini belum menemukan jawaban pasti yang tepat kemana mereka harus pergi. Memenuhi kembali pinggir jalan Tamalate I ini tentu saja satu kemungkinan. Tapi itu berarti berdagang dalam kekhawatiran. Kekhawatiran berhadapan dengan alat ‘gebuk’ pemerintah yang sewaktu-waktu bisa mengusir mereka dengan alasan praktis, tata kota atau adipura.
“Bagaimana kalau kita coba bicara lagi dengan pemilik tanah ini?”

Aku memandang dua penjual ikan ini bergantian. Lelaki berbadan gempal berkaos oblong putih polos itu mengangguk-angguk.

“Kita bisa memintanya untuk menata pasar kecil ini. Membangunkan bangunan sederhana yang lebih baik beratapkan seng dan meja-meja yang terbuat dari kayu. Kalau bangunan ini dirancang dengan baik dan bersama-sama dengan pemilik tanah itu mungkin ia tertarik.” Begitu aku menawarkan ide.

baji itu kalau kita coba. Dia tinggal di Rappocini, Pak. Bisa kita hubungi dia.” Lelaki bersongkok itu menimpali.

Pembicaraan kami tak berlanjut. Hujan yang mulanya hanya rintik menjadi begitu derasnya. Posisi dudukku tak memungkinkan tetap di antara dua penjual ikan ini. Mereka menyarankan aku untuk pindah ke kios Daeng Kanang yang terlindung baik. Kuangkat kopiku dan mematikan rekaman yang sengaja kuhidupkan sejak tadi. Aku tak memberitahukan mereka kalau aku merekamnya. Tentu ini cara yang salah, tapi aku membutuhkannya untuk membantu daya ingatku yang payah.

Daeng Kanang sudah tua. Ia tak berpikir melanjutkan usaha dagangnya di Makassar setelah tanggal 15 Februari nanti. Seorang anaknya yang tinggal di Tarakan memanggilnya tinggal bersama. Tiga tahun terakhir ini, ia memang merasa sepi. Sesekali cucunya menemani berdagang di kiosnya yang sempit.

“Ammoterammi buranengku.”

Aku diam saja menatap wajahnya yang terlihat sedih.
“Tidak pernah dia kasiliatki saki’na dan tidak mauki na kasi’ susahki.” Tanpa kuminta bercerita ia terus saja bicara. “Itu pagi, dia bilang, jangko tinggalkanka’. Di sini mako duduk. Tapi, kubilang, mau sekalika kencing, mau ka ke sumur dulu. Terus dia bilang, iyyo pale, jangko lama-lama. Pergima. Eeh, sudahku kencing, kembalika ke kamar di atas, eh tidak adami kodongammoterammi.

“Hujan rintih-rintih”

Aku membayangkan kesedihannya. Ia ternyata seorang perempuan juga.
Pasar Tamalate di jalan Tamalate I ini basah. Penjual-penjual ikan yang tadi berkumpul kembali ke sepedanya masing-masing. Aku memilih pamit.

Tidung, 16 Januari 2011

Pasar Tamalate dari helikopter om Google!

Term Of References Tour de Pasar / Jappa-jappa ri Pasara’


Latar Belakang
Penetrasi pasar modern semakin bergejolak di kota Makassar, Maraknya pembangunan mall dan pusat perbelanjaan modern lainnya di kota ini memberitakan pernyataan tersebut. Ironisnya pembangunan pasar modern tersebut justru harus mengorbankan pasar lokal yang telah berhasil menghidupi ratusan ribu pedagang yang notabene merupakan masyarakat kelas bawah. Pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom bagi pedagang kecil justru memperburuk keadaan dengan senantiasa mengedepankan logika investasi yang terang akan lebih menguntungkan para pemodal dan mengucilkan masyarakat kecil.  Selain pedagang, konsumen pun tentunya dalam hal ini akan cukup dirugikan dengan kebijakan anak tiri terhadap pasar lokal. Harga barang yang melambung tinggi pada pasar modern ketimbang pasar lokal membuat masyarakat akan tersiksa dengan kebijakan tata ruang pemerintah kota yang menjauhkan pasar lokal dari pusat pemukiman penduduk.
Selain dari kegagalan PEMKOT Makassar dalam menata dan menjaga eksistensi pasar lokal, Tata kelola pasar yang dilakukan oleh institusi yang diembani tugas untuk melakukannya juga tidak berperan maksimal. Contoh saja persoalan sepele penanganan sampah pasar tidak sebanding dengan biaya retribusi harian yang dipungut kepada pedagang, belum lagi bila diikutkan dengan beberapa perilaku aparat yang terbilang korup (contoh: kasus korupsi pasar Pa’baeng-baeng). Kebijakan non partisipatif pemerintah yang bernafas neo-liberal akhirnya diturunkan hingga lapak-lapak para pedagang . Untuk itu perlu dilihat bahwa apa yang kemudian mendera pasar lokal tak lain adalah implementasi dari grand plan kapitalisme global pada setiap sektor. Invasi kekuatan modal yang kerap begitu kuat dalam menentukan kebijakan pemerintah semakin mendukung pasar modern untuk berdiri leluasa disekitar areal pasar lokal (Contoh: Pasar Tamalate dan Pasar Toddopuli yang dikelilingi beberapa pusat perbelanjaan modern).
Teruntuk bagi elit pasar lokal pun tidak hanya dapat dilihat dari kacamata ekonomi saja, ataupun diterawang tentang bagaimana pertempuran antara kepentingan para pedagang kecil dengan mereka para pemodal besar. Pasar lokal pun kerap kali dijadikan sebagai komoditi politik bagi mereka yang ingin meraup kekuasaan diatas kepala orang kecil. Maka tidak heran, diujung episode ritual PEMILU pasar lokal akan ditinggalkan ketika tidak ada lagi keuntungan yang dapat diperas dari para pedagang. Sehingga kembalilah pasar lokal pada posisi politik yang lemah, yang rentan terhadap penggusuran.
Hubungan kekerabatan dan interaksi antara pedagang dan pembeli di pasar lokal yang membedakan dengan pasar modern dikemudian hari bisa saja menghilang seiring dengan kikisan dari beberapa fenomena yang sempat dituliskan diatas. Suasana tawar-menawar sebagai pengejawantahan pola  interaksi budaya lokal kelak juga akan menjadi tumbal keserakahan kapital yang perlu dibentengi. Saat ini di tengah demoralisasi yang menerpa para pedagang dalam setiap kunjungan persoalan, diperlukan adanya upaya untuk mengembalikan eksistensi pasar lokal sebagai pusat perbelanjaan bermasyarakat.

Tujuan Kegiatan dan Bentuk Kegiatan
Semakin minimnya pengunjung pasar lokal memberikan ruang inisiasi untuk bagaimana mengupayakan metode sederhana dalam meningkatkan animo dalam memperhatikan pasar lokal. Selain itu persoalan yang mendera pasar lokal tentunya juga perlu diretas satu-persatu. Kampanye berbelanja di pasar lokal adalah salah satu cara untuk mengabarkan melalui kegiatan jalan-jalan mengenai peran pasar lokal dalam menghidupi ribuan penduduk sekitar pasar tersebut berada. Tour de pasar atau dalam bahasa Makassar “Jappa-jappa ri pasara’” yang berarti jalan-jalan di pasar dimaksudkan juga agar kita dapat menggali banyak informasi mengenai pasar lokal.
Sejarah terbentuknya pasar, cara bertahan di tengah gempuran arus pasar modern hingga persoalan sampah dan retribusi akan kita lihat sendiri melalui kegiatan jalan-jalan ini. Minimnya elemen masyarakat kota yang memperhatikan eksistensi pasar lokal membuat kami berupaya untuk mengajak elemen/komunitas/institusi se-Makassar untuk bersama-sama melihat dari dekat pasar lokal yang akan dikunjungi. Bentuk kegiatan jalan-jalan ataupun bagi yang ingin berbelanja dimaksudkan untuk membuat kegiatan sederhana ini menjadi menarik. Kiranya dari kegiatan ini nantinya, sosialisasi pasar lokal akan terus melebar. Selain itu, bagi kawan-kawan yang ingin berperan lebih dengan mengadvokasi persoalan pedagang tentunya adalah sebuah progres signifikan demi mempertahankan pasar lokal di Makassar.   
Tempat dan Jadwal Kegiatan
Kegiatan ‘Jappa-jappa ri pasara’ ini akan dilaksanakan di Pusat Niaga Daya dan Pasar Lama Daya yang bertempat di jalan Paccerakkang pada hari sabtu, 22 Januari 2011.



Active Society Institute (AcSI)
Let’s Work With Community

Refleksi 'Jappa-Jappa Ri Pasara' kedua (2010)


Ide untuk melaksanakan tur ini sudah lama kami impikan, khususnya sejak kami sudah cukup memahami bagaimana pasar Terong mengalami nasib ‘buruk’ akibat perlakuan yang salah dari pemerintah kota, perusahaan daerah Pasar Makassar Raya, dan pengembang (developer) PT. Makassar Putra Perkasa. Pasar yang seharusnya dipertahankan sebagai induk dari seluruh pasar lokal di Makassar ini, kini ‘dibiarkan’ begitu saja atau katakanlah ‘diurus tapi tak terurus, dibiarkan tapi tetap ditagih uang setiap harinya oleh aneka petugas di sana kepada para pedagang yang peruntukannya entah untuk apa, pedagang tak tahu.

Beberapa waktu lalu di akhir bulan Juni 2009, di kantor AcSI, sudah belasan hari kami membahas Rancangan Peraturan Daerah alternatif Kota Makassar tentang ‘perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat perbelanjaan dan toko moderen’. Kami juga sedang mempelajari sebuah pola tentang bagaimana pemerintah kota mengatur pasar-pasar lokal yang banyak menyerap tenaga kerja dan menghidupi banyak anggota rumah tangga ini. Khususnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan akan substansi pengaturan pasar dari setiap bab, bagian, pasal serta ayat dari pasal-pasal Ranperda ini.

Membaca rancangan perda yang disusun oleh anggota DPRD kota Makassar periode 2004-2009 ini begitu ‘menggemaskan’. Ada begitu banyak kekurangan di dalam pasal-pasal yang mengatur hubungan kedua macam pasar ini, pasar ‘tradisional’ dengan pasar ‘moderen’. Sebuah kekurangan yang menurut kami cukup fatal dan tidak menggambarkan sebuah perlindungan bagi pasar lokal yang semakin hari semakin dibiarkan ‘sekarat’.

Sebutlah konsep pasar ‘tradisional’ yang digunakan itu. Sebuah konsep yang sangat berbau aliran ‘modernisasi’ di mana yang tradisional dianggap terbelakang, kumuh, tak mampu bersaing, dan tentu saja tak cocok dengan perkembangan kota yang sedang menata diri menjadi metropolitan. Penggunaan kata ini sendiri sudah sebentuk ketidakberpihakan dan jauh dari realitas pasar-pasar ini. Akibatnya penanganannya, karena aliran ini yang deteministik, pasar kemudian mengalami revitalisasi guna mengejar ‘cap’ modernisme semacam gedung bertingkat, berkeramik, dan dilengkapi dengan fasilitas moderen lainnya seperti elevator, lift, listrik, AC, dan lain sebagainya yang justru menambah kerumitan pemeliharaan dan biaya operasional dan membebankan pedagang.

Untuk itu, kami menawarkan sebuah konsep baru, yakni menyebut pasar kita sebagai pasar lokal, untuk membedakannya dari pusat perbelanjaan dan toko moderen yang sedikit banyaknya berasal dari luar kota Makassar, seperti Carrefour, Diamond atau Giant, Depertment Store, Hypermarket, Supermarket, Mal, dan sebagainya. Sebuah konsep yang menawarkan aspek lokalitas dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pedagang dan konsumen kota, khususnya pelanggan dari kelas menengah ke bawah.

Bila merujuk pada pasar lokal kita, maka sesuai dengan aspek kesejarahannya, pasar kita sudah sejak dulu ramah terhadap pedagang kecil dan mikro. Banyak pedagang datang dari berbagai daerah dengan mudahnya untuk menjajakan barang-barang prooduksinya atau apapun dari desa mereka. Untuk itu, model hamparan adalah ciri berikutnya yang menjamin efektifitas gerak pedagang dan pembeli. Tak perlu susah payah membawa barang ke atas karena terdapat aneka transportasi barang di jalan yang disediakan oleh Daeng becak maupun penyedia jasa lainnya. Bertingkat, berkeramik, bertangga, benar-benar mematikan usaha jasa yang disediakan secara mandiri oleh warga yang mengandalkan tenaga fisik untuk bekerja.

Selain itu, kami juga menemukan bahwa corak berpikir dengan menggunakan ‘logika pertumbuhan’ turut merusak muatan rancangan perda ini. Dalam kepala anggota DPRD yang menyusun, ada pemikiran bahwa pasar lokal harus dikelola dengan baik agar pedagang di dalamnya dapat tumbuh dan bersaing dengan pelaku usaha pusat perbelanjaan dan toko moderen. Padahal, para pedagang di pasar-pasar lokal pertama-tama yang mereka inginkan adalah ‘bertahan’ agar kebutuhan hidup anggota keluarga dapat terpenuhi.

Persoalan tumbuh tidaknya usaha adalah urusan kesekian. Tetap berjualan saja dengan pendapatan yang memadai itu sudah membuat hidup pedagang ini nyaman. Jadi, ketimbang menggunakan nalar ‘ekonomi pertumbuhan’ para pedagang kecil dan mikro lebih mengandalkan logika ‘ekonomi kebertahanan’. Persis logika yang digunakan oleh banyak ibu rumah tangga di desa-desa yang membuka aneka kios di bawah kolong rumahnya demi bertahan secara ekonomi kalau-kalau pekerjaan suami atau anak laki-laki mereka mengalami kelesuan atau tiba-tiba dipecat dari tempat kerjanya atau digusru oleh satpol PP misalnya.

Anggota Dewan yang terhormat ini juga ‘menyerah’ pada logika persaingan usaha dalam pemikiran ekonomi neo-klasik atau neo-liberalis, bahwa pelaku pasar akan bersaing satu sama lain dalam sebuah kompetisi sempurna (perfect competition), sehingga mereka hendak memaksakan agar pasar lokal dan pelaku usaha di dalamnya larut dalam logika ini dan dapat bersaing dalam era pasar bebas.
Persoalannya adalah, tidak mungkin terjadi sebuah persaingan sempurna di tengah ketidakimbangan modal usaha antara pengusaha ritel moderen yang bermodal kuat dengan pelaku usaha pasar lokal yang tercerai berai dalam aneka keterbatasan mereka seperti rendahnya modal dan sulitnya akses perbankan, lemahnya keterampilan usaha, lokasi berjualan yang tidak nyaman bagi pedagang dan pembeli, dan sebagainya. Persaingan sehat yang didambakan semakin sulit terjadi di tengah carut-marutnya pelayanan pemerintah dalam persoalan perizinan usaha dan lain-lain yang memungkinkan pihak berduit bermain ‘di belakang meja’.

Jadi dalam ketidakjelian anggota dewan ini membuat kami berusaha ‘meluruskan’ pemikiran tentang penataan pasar yang adil dan mempertegas ‘keberpihakan’ kepada pasar lokal dan pelaku di dalamnya. Penataan pasar harus dilakukan secara adil dan untuk itu pemerintah mutlak memberi perhatian yang lebih kepada pasar lokal dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan terlebih politik.

Jadi memperhadapkan dua entitas pasar ini untuk berhadap-hadapan adalah tidak realistis. Sebagai contoh, persoalan harga kebutuhan bahan pokok. Pusat perbelanjaan dan toko moderen semacam Carrefour atau Diamond mampu menjual bawang putih dan lombok merah dengan harga di bawah harga pasar lokal. Bawang putih misalnya, dijual di pasar moderen Rp. 320 perons atau Rp. 3.200 perkilogram, sementara harga barang sejenis di hari yang sama di pasar Terong bisa mencapai 6000 – 7000 rupiah perkilogram. Belum lagi harga barang lainnya seperti tomat. Dari cerita seorang pedagang lombok di pasar Terong yang bernama H. Thamrin, ia menceritakan bahwa harga tomat di Carrefour bisa jauh lebih murah dibandingkan di pasar Terong.

Ada banyak faktor yang memungkinkan harga dengan mudahnya dipermainkan oleh pengusaha ritel moderen. Pertama, modal mereka sangat besar. Kedua, aneka barang yang mereka jual sangat beragam sehingga barang satu bisa menutupi barang lain yang sengaja dijatuhkan harganya. Ketiga, pelaku usaha ritel besar mampu menembus petani di desa dengan membeli hasil produksi mereka melalui berbagai cara, seperti kemudanan modal selama masa tanam dan perawatan, bebas biaya transportasi, dan lain-lain. Selain itu, untuk memanjakan konsumen agar tetap berkunjung ke pasar moderen, pengusaha ini menjamin pasar mereka tetap bersih, sejuk, dan penuh dengan media pemanjaan konsumen lainnya sementara pasar lokal terus menerus dibiarkan kumuh dan jorok oleh pihak pengelolanya. Bahkan, media lokal entah mengapa lebih sering memberitakan aktifitas pasar moderen ketimbang pasar lokal.

Lihat saja rubrik ‘jappa-jappa ri Mall’ dari koran lokal kota ini dan berbagai iklan serta penawaran lainnya dari aneka pusat perbelanjaan dan toko moderen. Sementara saat memberitakan pasar lokal, sorotannya merujuk pada sampah yang berserakan, pedagang yang menempati badan jalan dengan penyebutan ‘liar’, hingga demo-demo pedagang yang merasa dipinggirkan oleh pemerintah. Itupun melalui pemberitaan yang jauh dari memadai sehingga bias, samar dan informasinya tidak utuh, apakah hendak membela pedagang kecil dan pasar lokal atau justru semakin menjerumuskan dengan pencitraan negatif yang tanpa henti.

Karena kemumetan itulah, kami lalu mewujudkan ‘mimpi’ untuk melakukan Tur di lima Pasar lokal ini tanggal 28 Juni lalu. Kemudian, setelah kami berhasil merampungkan draft alternatif ranperda kami, Tour de Pasar kedua kembali kami laksanakan di lima pasar lainnya. Jadi, dari dua tur ini, kami telah mengunjungi 10 pasar lokal yakni pasar Butung, eks pasar Sentral (Makassar Mall), pasar Cidu, pasar Kokolojia, dan pasar Pabaeng-baeng. Lalu, tur kedua pada tanggal 11 Agusuts 2009 kami mendatangi pasar Panampu, pasar Kalimbu, pasar Maricaya, pasar Sawah, dan pasar Baru.

Tour kedua tampak istimewa, karena diikuti oleh Ketua Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, Abdul Kadir Daeng Lala. Seorang kawan yang berprofesi sebagai pemasok tomat dan cabai bagi banyak pedagang yang selama dua tahun terakhir ini bersama-sama belajar dan memperkuat persatuan pedagang dalam menghadapi segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di Pasar Terong. Keistimewaan kedua, Tour ini lebih matang dipersiapkan, karena beberapa partisipan dibebankan tugas untuk bertanya hal-hal tertentu yang berhubungan dengan penguatan gerakan sosial pasar lokal.
Pertanyaan itu seperti bagaimana sejarah pasar, karakteristik dan ciri khas pasar, kisaran jumlah pedagang dan jenis jualan, penataan oleh pihak pengelola, rencana revitalisasi (bila ada), dan tanggapan pedagang tentang kondisi pasar dan pembeli saat ini.

Keistimewaan terakhir adalah, sehari setelah Tour berlangsung, kami melaksanakan workshop hasil kunjungan untuk berbagi cerita sehingga kami bisa mendapatkan bangunan cerita yang utuh dari setiap partisipan yang ikut dalam tur ini. Juga melakukan refleksi untuk menutupi kelemahan dari setiap kunjungan kami. Dari hasil workshop ini pulalah yang memungkinkan penulis menuliskan rangkaian pengalaman tur ini.

Dari sepuluh pasar lokal yang telah kami kunjungi ini, 4 di antaranya dapat kami golongkan sebagai pasar yang sudah cukup tua, yakni pasar Butung, Cidu, Kalimbu, dan pasar Baru. Kesimpulan ini kami petik setelah melihat sebuah peta kota Makassar tahun 1955 yang memperlihatkan 5 pasar lokal, yakni pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Termasuk dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Selain itu, jauh sebelumnya, tahun 1917, sebuah photo memperlihatkan bangunan pasar Boetoeng di awal berdirinya. Pasar ini tampak rapih dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita. Di tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini dengan baik. Surat edaran itu bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan retribusi atau dalam bahasa lokal disebut ‘sussung pasara’ dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai kepentingan tata kelola pasar lokal.

Selamat Tour de Pasaar selanjutnya!