Kamis, 13 Januari 2011

AMARAH PEDAGANG DAN JEJAK PERJALANAN PASAR TERONG

Oleh; Ishak Salim
PASAR TERONG, 13 Mei 2009. Tanpa hingar bingar pemberitaan media mainstreamdi Makassar aku larut dalam sebuah pengorganisasian gerakan pedagang di pasar Terong. Pagi itu, hingga sore harinya, ada 8 spanduk dibentangkan di 8 sektor yang berbeda. Sektor-sektor ini merupakan area berjualan bagi para pedagang yang tidak mampu membeli kios/lods di dalam gedung pasar—yang direnovasi sejak tahun 1995 oleh PT Makassar Putra Perkasa—atau mereka yang dengan sengaja meninggalkan kios/lods mereka karena tiadanya pembeli yang masuk dan naik ke lantai atas.
Sektor itu adalah sektor Tangga Selatan, Terong, Labu, Sawi Utara, Sawi Selatan, Mentimun, Bayam dan Kubis. Penamaannya mengacu pada nama jalan di pasar Terong ini. Melalui organisasi pedagang Pasar Terong yakni ‘Persaudaraan Pedagang Pasar Terong’ yang disingkat SADAR bekerjasama dengan lembaga pendamping pedagang ‘Active Society Institute’ atau AcSI 8 spanduk itu dijaga di setiap sektor.
Para pedagang begitu antusias mengisi kain putih kosong itu. Mereka menuliskan apa saja dengan spidol yang ada dipikiran mereka dan apa yang mereka rasakan sejak lama. Memang, beberapa hari sebelumnya, PT Makassar Putra Perkasa dimana Ferry Soelisthio sebagai komisaris kembali melakukan perombakan gedung di bagian Barat (depan) dengan memindahkan sebagian dari 57 pedagang yang terkena dampak pekerjaan itu. Desas-desus terdengar, sang pengusaha ini hendak membangun aneka kios mini khusus handphone dan asesorisnya di pasar yang terkenal sebagai pusat sayur-mayur dan aneka rempah ini. Akibat lemahnya koordinasi yang dibangun baik oleh pengembang maupun Perusda Pasar Makassar Raya membuat pedagang was-was dan bersiap siaga di hari-hari berikutnya. Khawatir kalau-kalau relokasi berlanjut dengan penggusuran di sektor sektor Tangga Selatan.
Eskavator datang, meraung-raung menggusur lahan parkir bagian Barat yang menjadi bagian gedung ini. Pedagang-pedagang di sana memilih pergi, menghindar setelah mengamankan barang dagangan mereka. Hamparan itu kemudian tergali hinga satu sampai dua meter. Orang-orang menonton saja.
Esoknya, 14 Mei, 8 spanduk itu disatukan menjadi satu bentangan sepanjang 24 meter yang sudah dipenuhi tanda tangan pedagang, nama, dan beragam kalimat yang penuh amarah, miris, harapan, dan lain sebagainya.
Kata-kata dalam spanduk itu menjelaskan sesuatu
Begitu aku berpikir saat membacanya satu persatu. Aku bahkan menghabiskan waktu 14 menit untuk membaca seluruhnya dan kemudian butuh 37 menit untuk menuliskannya satu persatu. Baiklah, biar keceritakan kepada sidang pembaca apa yang pedagang telah tulis di bentangan spanduk itu.
Antara Harapan, Makian, dan Perlawanan
Mari kita mulai dari sektor Tangga Selatan yang spanduknya tersablon kalimat“PERSAUDARAAN PEDAGANG PASAR TERONG (SADAR)” dengan 1 logo di masing-masing sisinya, yakni logoSADAR dan logo AcSI. Sektor ini dikoordinir oleh Nursiah atau yang lebih dikenal sebagai Daeng Nur (49) dan dibantu oleh Agung Prabowo (Pendamping AcSI). Di spanduk itu ada puluhan nama dan tanda tangan. Beberapa di antaranya adalah Laros Jenggirat, Diana, Mas Ali, Ady, Baco, Anshar, Imran, M. Saeli, Anto, Nur Aisah, Unding, dll.
Selain itu kalimat-kalimat perlawanan mencuat dari spanduk itu. “HANYA ADA SATU KATA, LAWAN KETIDAKADILAN SAMPAI TETES DARAH TERAKHIR”. Lalu ada kalimat berbunyi “MENJUAL BUKAN KEJAHATAN”. Ada pula kalimat yang berisi pengharapan seperti “JANGAN GANGGU MATA PENCAHARIAN KAMI, KAMI JUGA BUTUH MAKAN” atau kalimat bertuliskan “PENGGUSURAN PEDAGANG KAKI LIMA = ANAK KAMI TIDAK SEKOLAH” dan yang lain “JANGAN DIBONGKAR PEDAGANG K5 TOLONG HATI NURANI PEMERINTAH”.
Itu sejumput kalimat berisi harapan kepada pemerintah. Namun, lebih banyak kata makian dan kalimat penuh kemarahan terhadap seseorang. Biarlah kutuliskan di sini kata-kata yang dimaksud tanpa niat mendiskreditkan orang ini.
“GANTUNG FERI DAN ANTEK-ANTEKNYA.” Demikian sebuah kalimat yang dengan tegas menyebutkan nama Feri di sana. Dalam satu bentangan spanduk 24 meter ini, ada banyak model kata yang merujuk kepada orang yang sama yakni Ferry Soelisthio, atau pengusaha beretnis Tionghoa – Palembang yang telah menjadi pemegang kontrak revitalisasi pasar Terong sejak tahun 1995 hingga sekarang ini. Perhatikan lagi kalimat yang lugas ini, “HENTIKAN DISAKITI PKL UNTUK FERI DAN SEKUTUNYA”. “FERI HATINYA DI PANTAT” atau “FERI BERHATI BATU”.
Dari sektor Terong membentang spanduk ini bertuliskan STOP PREMANISME!!! Di bawah tulisan tersablon itu hanya ada beberapa kalimat dituliskan pedagang, diantaranya adalah kalimat “KEMAE PACCENU PURINA, TOLAK PENGGUSURAN PEDAGANG, YES!!!”. Kalimat pertama berbahasa Makassar yang artinya ‘di mana rasa ibamu Om [?]”. Lalu ada juga kalimat “PK5 BUTUH MAKAN BUKAN GUSUR” tertanda Zakir. Lagi-lagi sasaran ditujukan kepada Ferry Soelisthio, begini bunyinya kalimatnya “VERI RAJA TEGA” lalu “MANA HATIMU!”. Bahkan sebuah kalimat yang juga menyimpan marah “GANTUNG VERI DGN TAMBANG” dan “FERI KEJAM TIDAK BERPRIKEMANUSIAAN”.
Daeng Bombong (60) sebagai kepala sektor menjaga spanduk di sektor Labu ditemani Siswandi (Pendamping AcSI). Spanduk ini bertuliskan “BERJUALAN BUKAN KEJAHATAN”. Pedagang-pedagang, juga dengan amarah terhadap Ferry, menuliskan dengan kalimat “FERI SULISTIO = PENJAJAH BARU”, lalu “PAK FERI, TOLON[G] USIR DI INDONESIA SEBA[B] DIA PENGHIANAT SELALU DIA MENGINGINKAN KORBAN MASYARAKAT”, kemudian dengan kalimat lainnya “FERI PENGHIANAT BESAR, KAMU SEORANG KOMUNIS”, lalu “PAK PERI SELALU MENYURUH PAREMAN UNTUK MENGGUSUR” dan “FERI PENGHIANAT”.
Sasaran Ferry di sini sangat beralasan mengingat banyaknya pihak khususnya pedagang yang merasa dirugikan selama keberadaan perusahaan ini di pasar Terong. Berbagai kalimat bisa ditemukan seperti “PENGGUSURAN=ANAK KAMI TIDAK SEKOLAH”, lalu “PENGGUSURAN BUKAN CARA BAIK TAPI KAMI BUTUH HIDUP”, kemudian “PENGGUSURAN = PEMBUNUHAN SECARA PERLAHAN” dan “MOHON JANGAN DIGUSUR TEMPAT KAMI MENJUAL KARENA CUMA ITU PENGHASILAN KAMI” serta dengan penuh ke dalaman makna “KAMI BUTUH MAKAN”.
Ada juga kalimat penuh dorongan kepada pedagang untuk tetap pada koridor dan terus melanjutkan gerakan, seperti dalam kalimat “MAJU TERUS PK5” atau “TIDAK SETUJU DENGAN SEMUA INI”. Lalu ada juga kalimat “SATU KATA TERHADAP PENGGUSURAN, LAWAN” dan “LAWAN TERUS”.
Di sektor Sawi Utara, Spanduk bertuliskan “STOP PENGUSURAN PEDAGANG PASAR” dijaga oleh Gideon (pendamping AcSI). Kepala sektor di sini adalah Daeng Jama atau Jamaluddin (55) yang masih sibuk memperbaiki rumahnya dan mengorganisir warga yang terbakar di Maccini Gusung. Ada cukup banyak kalimat dituangkan dalam spanduk di sektor ini. Beberapa bahkan cukup ideologis seperti dalam kalimat “PENGGUSURAN = PENJAJAHAN BARU” yang mengingatkan pada slogan Bung Karno tentang ‘Neo-imperialisme’ dimana ‘Inggris kita linggis dan Amerika kita setrika’. Ada pula kalimat “GANYANG ANJING KAPITALIS” yang mengingatkan aku pada karikatur tahun 1930-an dalam buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’. Siapa yang dimaksud kapitalis, penjajah baru oleh pedagang dan bagaimana wujud kapitalis itu bekerja bisa dilihat pada penggalan kalimat yang lain, seperti “PAK PERI BRENGSEK = USIR DARI NEGERI INI PARA TAI IMPERIALIS”. Jelas dari kalimat ini Ferry Soelisthio digolongkan sebagai si penjajah. Mengapa pedagang ingin Ferry diusir, penyebabnya bisa dilihat dari sepotong kalimat “FERI MENGANUT HUKUM RIMBA”.
Pedagang sendiri sebenarnya tidak menolak pembangunan, lihatlah kalimat ini “SAYA DUKUN [g] PEMBANGUNAN TAPI SAYA TOLAK PEMBONGKARAN DI TERONG”. Pembangunan OK tetapi bila pembangunan adalah pembongkaran maka akan ada konsekuensi buruk yang menimpa pedagang kecil itu, seperti dalam kalimat ini “JANGANG GUSUR KAMI KARENA KAMI MASIH MISKIN DAN MASIH BANYAK UTANG KOPERASI”. Kalimat ini terkesan jenaka, tetapi beginilah realitas banyak pedagang kecil, mereka miskin dan berutang kepada ‘appabunga doe’, koperasi hingga bank konvensional. Atau kalimat lain misalnya “PEDAGANG KECIL MAKAN APA KALAU DIGUSUR”.
Makanya wajar bila ada pedagang menuntut “STOP GUSUR AKU CARI MAKANG” atau “JANGAN DIGUSUR PENCARIAN RAKYAT KECIL KITA JUGA BUTUH HIDUP”. Kalimat lain “DISINI KAMI MENGGANTUNGKAN HIDUP KAMI KETIKA PENGGUSURAN DI MANA LAGI KAMI MENGADU NASIB [?]”, berikutnya “JANGAN GUSUR PK5 KARENA MEREKA HIDUP DILAPAK-LAPAK” dan juga kalimat yang mencantumkan implikasi terhadap anak-anak seperti “PENGGUSURAN PEDAGANG KAKILIMA = ANAK KAMI TIDAK SEKOLA[H]” dan bahkan tidak jauh dari kalimat itu seorang siswi bernama Reski menuliskan pikirannya “KALAU SAYA DIGUSUR SAYA BERHENTI SEKOLAH”. Dalam ketidakberdayaan ini, pedagang masih berharap dan mengingatkan pak Walikota Makassar dengan kalimat “TOLONG JANGAN DIUSIR, INGAT JANJIMU ACO TIDAK ADA PENGGUSURAN”. Kata Aco disitu merujuk pada walikota terpilih untuk periode kedua dan Aco memang pernah berjanji untuk tidak menggusur lagi.
Dalam ketertekanan itu, akhirnya mereka marah. Mereka yang ekspresif dan ‘rewa’ menuangkan kalimat-kalimat yang marah, seperti “PAK FERI GILA”, “JANGAN GUSUR TELACO!” atau “PAK VERI TIDAK PUNYA HATI, DASAR DOG…”, juga “ANAK KAMI TIDAK SEKOLAH ANJING PAK FERI”
Dari sektor Sawi Selatan, kepala sektornya adalah Kasnawati Dg Kanang (55). Sektor ini tidak menuliskan kalimat sebanyak spanduk lainnya, hanya ada beberapa saja, walau banyak yang membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk dukungan terhadap nasib pedagang. Beberapa kalimat diantaranya adalah “MOHON DIPERHATIKANGNASIB PEDAGANG PASAR TERONG” juga kalimat “PERJUANGAN BUKAN KEJAHATAN” dan “STOP PENGGUSURAN KAMI BUTUH MAKAN”.
Selain itu, pedagang di sektor ini juga tidak lupa menitipkan pesan untuk Ferry Soelisthio “MOHON JANGAN DIGUSUR, USIR PERI!”
Sektor Mentimun tidak ketinggalan. Dengan dibantu oleh Habibie (Pendamping AcSI) satu persatu pedagang atau pembeli datang memberi dukungan. Sektor ini juga berisi beberapa pesan yang marah pada Ferry Soelisthio, sebutlah kalimat “DULU INDONESIA DIJAJAH OLEH PORTUGIS SEKARANG PKL DIJAJAH OLEH VERI”, lalu “SINGKIRKAN PERI” atau dengan istilah Makassar-Inggris “PERI OUT MAKO!” dan seolah memperjelas semua kalimat ini Ikmal menuliskan “STOP PENJAJAHAN PKL” yang berarti pedagang kecil (PKL) berada pada situasi terjajah.
Walau hanya beberapa kalimat, ada puluhan tanda tangan di sana.
Sementara itu dari sektor Bayam yang dikepalai oleh Daeng Supu’ (63) banyak pedagang memberi sumbangan kalimat yang beragam dan cukup banyak. Fokusnya masih sama, nasib pedagang kecil dan kebencian kepada Ferry Soelisthio. Sebutlah kalimat “TOLONG PERDULIKAN KAMI K5 YANG ADA DI PASAR TERONG”, atau “JANGAN SENGSARAKAN RAKYAT KECIL DI PASAR TERONG” dan Paijo, pedagang asal Jawa menuliskan “ORANG KECIL BUTUH HIDUP”. Ada juga kalimat “TOLONG KAMI YANG KECIL” atau daeng Taba menuliskan untuk dirinya sendiri “DAENG TABA ORANG MISKIN”.
Ada juga kalimat yang menunjukkan penderitaan panjang pedagang kecil seperti “TIADA BERAKHIR DERITA PEDAGAN [G] KAKI LIMA TERONG” yang dituliskan oleh Gasali. Ini senada dengan kalimat “SERINGKALI PEDAGANG KAKILIMAH DIGUSUR” yang menunjukkan betapa mereka sudah sering mengalami penggusuran dan berada dalam ketakutan terulang lagi.
Di sudut lain spanduk itu ada pula kalimat “TOLAK PENGGUSURAN, DASAR KEPALA PASAR KURANG KERJAAN” di samping kalimat itu ada karikatur orang tersenyum. Pikiran ini menunjukkan bahwa kepala pasar Terong berkontribusi terjadinya penggusuran. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu komandan regu satpol PP, biasanya surat permintaan penurunan satpol PP berawal dari kepala pasar, lalu ditujukan kepada perusda Pasar Makassar Raya dan lalu ke pemerintah kota Makassar.
Harapan mereka, sebagaimana pedagang lainnya sederhana saja “KAMI ORANG SUSAH JANGAN BUAT SUSAH LAGI” atau “KAMI MASYARAKAT KECIL KAMI MESTINYA DILINDUNGI BUKAN DIGUSUR” seperti ditulis oleh Daeng Liwang.
Hanya ada satu kalimat tertuang yang merujuk pada nama Ferry Soelisthio, yakni “PAK FERI ADALAH ABUNAWAS”. Biasanya Abu Nawas dirujuk untuk seorang yang banyak akalnya. Untuk konteks ini, Ferry lebih ditempatkan sebagai orang yang banyak akalnya dalam konteks licik.
Sebagaimana sektor lainnya yang punya amarah, Hj. Nanna (50) mengkoordinir spanduk di sektor Kubis dengan puluhan pedagang yang siap menyemburkan amarah ke kain spanduk itu. Mereka juga menuntut agar pembangunan pasar Terong dihentikan “STOP PEMBANGUNAN PASAR TERONG“ karena menurut mereka, pembangunan berarti penggusuran, penataan berarti penggusuran. Baca saja kalimat ini JANGAN GUSUR KAMI, KAMI HANYALAH RAKYAT MISKIN KAMI BUTUH PEKERJAAN JIKA KAMI DIGUSUR KAMI AKAN JUALAN DIMANA LAGI”. Bahkan kata-kata dalam spandunk ini semakin penuh amarah. Sepertinya ada sekian pedagang yang memang rewa dan dengan berani menuliskannya.
Coba simak kata-kata ini, “PERTUMPAHAN DARAH AKAN TERJADI JIKA ANDA COBA GUSUR KAMI”, lalu seolah menyambut pernyataan di atas kalimat lain melanjutkan “KAMI TERUS MEMPERTAHANKAN T4 KAMI SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN INGAT ITU” atau kalimat berikut “JANGAN COBA GUSUR KAMI, INGAT ITU!!!”. Bahkan seorang pedagang yang bernama Takim menambahkan lambang ‘badik’ sebagai simbol perlawanan. Bahkan, seorang pedagang dengan lugas menuliskan “GUSURMA KUTOBOKKO” yang artinya “Gusur saya kau kutikam”.
Penggusuran memang menjadi momok yang menakutkan, hingga mereka rela untuk ricuh bahkan mati sekalipun. Kalimat “KERICUHAN AKAN TERJADI JIKA KAMI JADI DIGUSUR” dan “LEBIH BAIK MATI DRPD DIGUSUR” adalah kata yang menunjukkan kemungkinan konsekuensi itu.
Lagi-lagi nama Ferry tak lupa dicantumkan. Sebuah pesan dan amarah juga masih mengikutinya. “FERI SETANG” atau “PAK PERI BRENGSEK TIKUS” adalah dua kalimat tersisa yang ditulis pedagang.
Inilah pasar Terong masa kini. Mengapa kesemerawutan menjadi pemandangan harian di pasar ini? kata-kata itu tidak lahir begitu saja dan tidak ada gunanya pedagang mengarang atau merekayasa kata itu. sekilas ini adalah persoalan mis-management pihak pemerintah dalam menata pasar dan ketidakmampuannya menjembatani kepentingan pedagang dengan pihak ketiga yang diundang untuk menata pasar.
*****
Jejak Pasar Terong di tengah Pusaran Modernitas Kota Makassar
Bila pasar Terong mulai berdiri di tahun 1960an, maka jejaknya di Makassar merupakan setitik dari keseluruhan sejarah lahirnya kota Makassar seperti yang kita kenal sekarang. Di abad ke-17, Sejak kejatuhan benteng Sombaopu, pusat kota berpindah dari area sekitar benteng Sombaopu ke wilayah sekitar benteng Oejoeng-Pandang yang kemudian diganti namanya oleh Cornelis Speelman (1628-1684), sesuai kota kelahirannya di Belanda, Rotterdam. Sebuah kota kolonial yang lalu berkembang dan mengalami masa ‘keemasan’ ketika kota ini menjadi lebih modern dan kosmopolit di tahun 1930an. Berbagai suku bangsa hadir di sana sehingga komposisi penduduk berdasarkan sensus tahun itu adalah sekitar 3500 orang “Eropa”, 15.000 orang “China” dan lebih 65.000 “Bumi Putra” yang didominasi oleh etnis Makassar dan Bugis.
Sebagaimana ditulis oleh Dias Pradadimara, dalam 2 artikel pendeknya tentang sejarah kota, di tahun-tahun ‘keemasan’ ini, kota Makassar telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memanjakan penduduk khususnya para pendatang yang berkunjung atau menetap untuk keperluan bisnis ataupun berlibur. Dengan merujuk pada sebuah buku petunjuk turis masa itu, Pradadimara memaparkan bahwa sudah terdapat beberapa perusahaan dan konsulat asing yang bekerja di kota Makassar karena lengkapnya fasilitas di kota ini. Bahkan, dari aspek peneranganpun, kota ini disinyalir sebagai kota yang paling diterangi di Hindia Belanda dengan persediaan tenaga listrik yang disuplai dari Makassar dan Sungguminsa (Dias Pradadimara, 2007).
Di masa pergerakan, khususnya pada awal kemerdekaan dan terbentuknya Negara Indonesia Timur (NIT), kota Makassar adalah ibukota Negara dan menjadi tempat berkumpulnya politisi dari Indoensia Timur. Dapat dikatakan bahwa saat itu, sebagaimana ditulis Pradadimara bahwa migrasi ke kota Makassar banyak berasal dari luar Sulawesi Selatan, khususnya Minahasa, Ambon dan seterusnya.
Setelah NIT bubar di tahun 1950, babak baru sejarah kota Makassar dimulai. Masa-masa ‘gerombolan’ yang dikomandoi oleh Qahhar Mudzakkar dengan jumlah prajurit tidak kurang dari 20.000 bergelora melakukan perjuangan militer akibat menolak demobilisasi militer dengan basis perdesaan. Akibatnya, keadaan sosial di desa-desa yang menjadi basis gerakan Qahhar Mudzakkar—khususnya setelah bergabung dengan DI/TII pimpinan Karto Suwiryo—lebih bergejolak dan tidak aman (Ricklefs, 2008). Saat itu, penduduk desa mengalami tekanan dari ‘gerombolan’ di malam hari dan tindakan refresif oleh TNI di siang hari. Salah seorang informan di pasar Terong, Haji Daeng Mado (67) menceritakan bahwa pilihannya meninggalkan kampungnya, Kassi-Kassi di Gowa menuju Makassar adalah karena tidak tahan dengan teror ‘gerombolan’ dimana ayahnya mati tertembak oleh seorang anggotanya.
Dalam keadaan seperti itu, maka migrasi atau meninggalkan desa menuju kota Makassar adalah pilihan yang paling memungkinkan ketimbang bertahan di kampung. Di tahun 1950an ini para migran mulai menempati wilayah-wilayah pinggiran kota Makassar seperti Pannampu, Baraya, Kalukubodoa, Maccini, dan Barabaraya. Wilayah-wilayah ini kemudian semakin hari semakin padat dan kepadatannya bisa dirasakan hingga sekarang. Bahkan, 20 Maret 2009 lalu, salah satu pemukiman di kampung Maccini Gusung terbakar dan karena kepadatannya, proses pemadaman api menjadi terhambat dan meludeskan ratusan rumah di sana.
Ragam Cerita dari para penutur di Pasar Terong
Bila merujuk pada cerita Haji Tula, salah seorang pedagang buah pertama di pasar Terong, maka hadirnya pasar ini pertama kali sudah muncul di tahun 1960 atau setidaknya akhir tahun 1950-an. Suatu masa yang bersamaan dengan gelombang migrasi kedua dari desa-desa di Sulawesi Selatan. Kemunculannya pertama kali bukan inisiatif pemerintah atau siapapun melainkan oleh para pedagang sendiri yang kemudian meramaikan area kecil di ujung Selatan jalan Terong atau dekat dengan jalan Bawakaraeng yang dulu bernama jalan Maros (Maros weg). Demikianlah, berawal dari pagandeng (dengan sepeda) dan palembara (dengan pikulan) yang membawa aneka buah dan sayur mayur terjadilah transaksi atau jual beli di area jalan Terong dan lorong-lorong sekitarnya seperti kini menjadi jalan Mentimun, jalan Kubis, jalan Sawi dan sebagainya.
Kurang lebih 7 tahun sejak munculnya pertama kali, bangunan pasar mulai terlihat di tahun 1967 hingga 1968. Menurut beberapa pedagang yang hidup saat itu, wujud pasar hanyalah bertiangkan bambu dan beratapkan nipa. Saat itu, kanal Panampu belum selebar dan sekotor sekarang ini. Kanal itu dulunya hanya sebuah got besar yang oleh penduduk setempat disebut ‘solongang lompoa’ yang dipenuhi kangkung dan rumput liar di kedua sisinya.
Area pasar sendiri masih sangat terbatas infrastrukturnya sehingga setiap musim hujan selalu terjadi banjir. Bila banjir tiba, maka bagian-bagian dalam bangunan pasar dapat hanyut seperti hanyutnya buah-buah dagangan seperti mangga, salak, kedondong, dan lain-lain.
Sekitar 1967, terjadi kebakaran hebat di area perkampungan Terong, atau kini dikenal kelurahan Tompobalang. Banyak warga kehilangan tempat tinggal dan dipindahkan ke area lain seperti di sekitar pasar Karuwisi atau sebelah Utara Kebun Binatang, Rappokalling, Rappojawae, Korban 40.000, Cambayya, dan belakang Galangan Kapal (Capoa).
Lokasi eks kebakaran ini kemudian oleh pemerintah kota, saat itu walikota adalah HM. Daeng Patompo , dibangunkan pasar pemanen berupa front toko dan lods-lods yang tahap pekerjaannya dilakukan sejak tahun 1970 oleh PT Antara. Pada tahun 1971 pasar Terong diresmikan dan ditempati oleh pedagang. Bentuk bangunan masih sederhana. Berdasarkan ilustrasi Siswandi yang melakukan riset etnografis di pasar Terong menyebutkan bahwa bagian luar pasar berbentuk front toko yang menyerupai huruf ‘U’. Front toko ini mirip dengan bangunan rumah toko (ruko) tetapi tidak bertingkat dan ukurannya lebih kecil. Di sebelah Barat yang menjadi bagian tengahfront toko adalah pintu gerbang yang menghubungkan pasar Terong dengan jalan Terong (Siswandi, 2009).
Di sebelah Selatan juga terdapat pintu gerbang di antara jejeran front toko dan beberapa pedagang Tionghoa juga sudah di sana. Di atas pintu gerbang tersebut adalah tempat kantor pasar. Di bagian Timur bisa ditemukan sebuah Mushalla yang terletak di atas pintu gerbang tersebut. Sementara di bagian Utara tidak terdapat front toko. Di tengah front toko terdapat hamparan los induk, dan beberapa hamparan los kecil di tiap sisinya. Adapun kondisi jalan Terong di sekitar tahun 1980 masih berupa pengerasan atau aspal berkerikil.
Di era tahun 1980 hingga 1990-an, penataan pedagang pasar mencapai titik ekstrimnya di mana pedagang pasar berada dalam kontrol anggota militer yang bertugas menjaga keamanan. Tahun-tahun tersebut pedagang pasar Terong bersentuhan sehari-harinya dengan aparat militer khususnya seorang anggota yang bernama Sampe atau pak Sampe. Bentuk kontrolnya dapat dilihat melalui banyaknya pos militer yang ditempatkan di area pasar Terong, yakni 2 pos di dua sisi jalan Terong, dan 2 pos di dua sisi jalan Sawi (samping kanal). “Tidak boleh pedagang berjualan di luar area front toko atau area pasar yang ada”, demikian petunjuk penataan yang harus dilaksanakan.
Saat itu, jumlah pedagang sudah marak. Harga satu kios atau satu tempat di dalam front toko tersebut bisa mencapai Rp. 10.000,- yang nilainya menurut salah satu informan di pasar Terong senilai dengan menjual sepetak sawah di kampung. Akibatnya persoalan klasik timbul di mana tidak semua pedagang dapat membeli tempat di dalam front toko. Pilihan yang tersedia adalah berjualan di luar front dan memilih kucing-kucingan dengan pak Sampe dan anggota militer lainnya. Bila ketahuan, maka resiko memperoleh tendangan ataupun gebukan dari tongkat kayu yang disinyalir beralirkan listrik itu akan mengenai tubuh pedagang yang ‘membandel’. Tentu ada pula pedagang yang memilih pindah ke pasar lain, semisal pasar Panampu. Tapi tak jarang, banyak yang akhirnya memilih kembali ke pasar Terong dan melakukan serangkaian inovasi dalam menghadapi kerasnya militer melakukan pengamanan.
Dari ragam cerita yang dituturkan oleh pedagang yang pernah mengalaminya seperti Daeng Nur (49) di mana ia harus berpura-pura gila untuk menemui pelanggannya dan membuat janji untuk bertemu di tempat tertentu guna mengantarkan dagangannya sesuai pesanan. Lain lagi cerita Daeng Jama’ (55) dimana ia menyuruh putri-putrinya untuk menjaga barang dagangan agar anggota militer itu tidak mengganggu. Malah seorang diantaranya akhirnya menikah dengan tentara itu. Lain lagi dengan pak Dolly (40an) yang karena saat itu adalah pedagang plus peminum ‘Anggur’ tanpa ragu mengajak beberapa tentara untuk minum bersama dan saling kenal di kedai tempat dia mangkal agar jualannya tidak diganggu.
Macam-macam saja cerita pedagang mengakali ketatnya pengawasan pak Sampe ini. Inilah bentuk perlawanan pedagang atas berbagai kontrol yang diterapkan. Namun, satu hal yang pasti, pak Sampe benar-benar menjadi momok bagi pedagang yang menjual di luar area pasar. Tidak hanya itu, pasar Terong yang dikenal sebagai tempat “preman” berkumpul dari berbagai kampung sekitarnya, khususnya dari Maccini Gusung dan Maccini Kidul (Baru), Kandea, Barabaraya, Pucca, Rappokalling dan lainnya juga dibuat jera oleh aksi para ‘tentara pasar’ ini.
Pak Sampe, tentara yang berasal dari tanah Mandar dan mengomandoi rekan-rekannya di pasar Terong ini benar-benar ditakuti.
Menjelang tahun 1994, ide untuk melakukan revitalisasi pasar tahap kedua bergulir. Berawal dari sebuah studi banding yang dilaksanakan oleh walikota Makassar saat itu, Malik B. Masri di Hawaai, USA, terbersitlah keinginan merombak pasar Terong menjadi sebuah pasar modern. Saat itu, terpilihlah PT. Prabu Makassar Sejati sebagai developer dimana Ferry Soelisthio sebagai komisaris yang memenangkan tender untuk revitalisasi pasar “tradisional”. Mulailah persoalan baru muncul menghampiri pedagang pasar Terong.
Dengan desain yang ‘terlalu moderen’ lahirlah sebuah gedung berlantai 4, yakni lantai dasar, 1, 2, dan 3 di lahan seluas 13.253 m2. Sebagaimana revitalisasi tahap pertama di masa walikota Daeng Patompo, revitalisasi tahap kedua ini juga menuai banyak masalah. Persoalan klasik juga mencuat, harga kios dan lods terlampau mahal bagi pedagang kecil yang mendominasi berdagang di pasar Terong. Banyak yang dengan terpaksa membeli kios yang berharga 40 – 80 juta rupiah atau lods bagi pedagang kecil karena tiada pilihan lain, walau banyak pula yang memilih mengisi badan jalan di luar bangunan yang kini berdiri.
Masalah lain timbul seiring kepindahan pedagang ke dalam gedung baru. Tidak sampai 6 bulan, para pedagang ‘basah’ kecewa dengan sulitnya proses angkut barang naik turun setiap harinya. Belum lagi pembeli yang enggan naik hingga ke lantai 2 apalagi 3. Pembeli berkurang berarti pemasukan minim. Pemasukan minim berimplikasi pada cicilan tempat terhambat sementara biaya untuk mencukupi anggota keluarga di rumah juga dituntut setiap harinya. Akhirnya banyak pedagang memilih keluar dan meninggalkan tempat mereka yang sudah dibeli dan sedang berjalan cicilannya. Ramailah kembali badan-badan jalan, lorong, trotoar, dan berbagai sudut pasar yang memungkinkan untuk ditempati. Sementara di lain pihak, Developer melalui perjanjian yang dibuat dengan pedagang pembeli kios/lods menikmati keuntungan akibat macetnya cicilan yang membuat uang muka (DP) dan diskon 12 persen menjadi milik developer tanpa harus kehilangan kios dan lods yang sudah dibeli pedagang. Hingga kini, masalah ini masih menyisakan banyak kekecewaan di hati pedagang yang terlanjur membayar mahal namun kehilangan daya melanjutkan cicilan. Tidak membayar selama 3 bulan berturut-turut berarti kehilangan uang DP dan diskon 12 persen.
Memasuki awal tahun 2000an keadaan pasar semakin semerawut. Pengusaha atau developer dan pedagang berada dalam kerugian akibat model bangunan yang dipaksakan dalam kondisi yang berbeda kultur. Pedagang pasar Terong tumbuh dalam budaya hamparan yang melebar horisontal dan kini dihadapkan pada area dengan bangunan vertikal meninggi ke atas. Mereka lalu memilih kembali melebar.
Karena maraknya pedagang di luar gedung ketimbang di dalam gedung maka secara naluria—dan berdasarkan kebiasaan pemerintah masa itu—persoalan ini akan diselesaikan melalui pembersihan pedagang di luar gedung yang kemudian dicap “liar”. Maka ditempuhlah beragam cara baik legal maupun di luar kerangka regulasi. Cara legal tentulah melalui jalur resmi pemerintah seperti pengerahan satuan polisi pamong praja atau satpol PP. Lalu cara sebaliknya adalah melalui mobilisasi “preman” untuk melakukan aksi teror dan penyebaran ketakutan atas pedagang di pasar. Bahkan, kedua model ini dapat bekerja secara bersamaan sebagaimana terjadi di tahun 2003, 2005, dan 2007. Dimana preman dan satpol PP turut andil dalam serangkaian pembongkaran dan penggusuran kepada pedagang.
Mengenai penggunaan “preman” dalam upaya penataan pasar Terong bukanlah sesuatu kebohongan. Bahkan menjadi keniscayaan bagi pengusaha dan pemerintah dalam hal ini perusahaan daerah yang mengelola pasar, PD Pasar Makassar Raya. Sekian tahun berada di pasar relasi itu sudah terlihat secara nyata. Peran salah seorang yang dikenal sebagai salah satu “preman” di pasar Terong misalnya yang bernama Daeng Turu’ yang telah menjadi kaki tangan baik pihak developer maupun PD Pasar Makassar Raya.
Pasar berkembang, pedagang juga berkembang tapi persoalan tetap sama, yakni ketidakadilan terhadap banyak pedagang pasar yang tidak mampu mengakses kios dan lods di dalam gedung dan merugi akibat kios/lods yang dibeli tiada dikunjungi pembeli. Pasar kini dikelola oleh dua aktor, yakni pihak developer dan pihak Perusda milik pemerintah kota Makassar. Bentuk perlawanan pedagang juga berubah dan tidak lagi sporadis dan sembunyi-sembunyi. Di tahun 2003 sudah ada organisasi yang lahir dari kalangan mereka yang mereka sebut Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, disingkat SADAR. Organisasi ini sudah berhasil meningkatkan nilai tawar pedagang sehingga tidak lagi terlalu rentan oleh aksi penggusuran dan ancaman teror dari preman.
Siapa Ferry Soelisthio?
Kalimat-kalimat hujatan pedagang pada spanduk di atas, dominan mengarah kepada perilaku Ferry Soelisthio yang bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan nasib pedagang dan kondisi pedagang. Pedagang seringkali dianggap sebagai mesin cuma dan menempatkan mereka sebagai objek terhukum melalui pandangannya yang kaku terhadap berbagai bentuk perjanjian yang dilandasi oleh hukum. Di sini memang terjadi ironi. Banyak pedagang dihadapkan dalam perjanjian hukum dimana mereka sendiri masih kurang perhatian pada muatan pasal dalam perjanjian itu. Akibatnya, bila terjadi kesalahan sedikit saja maka itu bisa berimplikasi jauh dan memberatkan pedagang. Bagi masyarakat kecil umumnya, persoalan kepercayaan memang seringkali masih lebih tinggi statusnya ketimbang surat resmi. Bayangkan, begitu banyaknya dokumen pembayaran yang hanya berupa secarik kertas lusuh atu bekas bungkus rokok yang menjadi bukti pembayaran di sini, bahkan dengan nilai puluhan juta sekalipun.
Salah satu contoh lugunya pedagang adalah kasus Haje’ dan pedagang lain yang berjualan di dalam gedung Terong yang terpaksa harus membayar puluhan juta oleh kesalahan kecil saja. Haje’ membeli kios di basemen bernomor L55 seharga 43 juta di awal pasar ini berdiri, dengan DP atau uang muka 15% dan diskon sebesar 20% dari pihak developer dalam hal ini PT Makassar Putra Perkasa. Karena Haje ‘terjebak’ pada sebuah aturan perjanjian yang menyebutkan pembeli tidak boleh menunggak pembayaran cicilan selama 3 bulan berturut-turut. Bila menunggak maka dia harus membayar biaya diskon yang telah hangus sebesar 6 juta lebih. Dalam kasus ini, ada banyak pedagang pemilik kios yang akhirnya harus membayar denda itu, padahal menurut mereka pola penagihan yang tidak teratur dari pihak developer seringkali membuat pola pembayaran jadi ikut tidak teratur dan akhirnya tanpa disadari pedagang telah menunggak.
Hari Kamis tanggal 4 Juni 2009, pedagang yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Pasar Terong (APPT)—sebuah organisasi yang mengakomodir pedagang pemilik kios—menggelar rapat, karena sehari sebelumnya pihak developer, pada malam sebelumnya, menyegel kios-kios mereka yang telah menunggak dan harus membayar dalam jumlah besar. Bayangkan saja, apabila harga kios itu seharga 70 – 80 juta maka besar diskon 20% yang awalnya digratiskan bisa menjadi 14-15 juta rupiah. Inilah satu dari banyak konsekuensi dari pembangunan pasar Terong.
Tentang siapa itu Ferry Soelisthio, hanya sedikit data yang penulis miliki. Beberapa data yang diperoleh adalah dari tuturan pedagang, media internet, dan pernah sekali waktu mengunjungi kantornya di kawasan Boulevard Jl. AP Pettarani dimana foto besar denah TERONG MALL terpampang di dinding di atas kepalanya, dan terkahir mendengar dia berbicara di hotel Dinasti bersama pedagang pasar Terong tanggal 31 Mei 2009 dan selanjutnya menyaksikan bagaimana dia berusaha membujuk kepala sektor Tangga Selatan dan ketua SADAR untuk menggeser 200 pedagang agar menyediakan ruang jalan untuk mobil selebar 5 meter pada dini hari di pasar Terong.
Ferry Soelisthio adalah pengusaha etnis Tionghoa-Palembang yang bertempat tinggal selain di kota Palembang juga di kota Makassar. Dia memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi dan secara khusus fokus pada revitalisasi pasar “tradisional” dan pembangunan mall. Beberapa perusahaan diantaranya adalah PT. Prabu Makmur, PT. Makassar Putra Perkasa, PT. Putra Prabu, PT. Sungai Musi Perdana, dan mungkin masih ada yang lain yang tidak terpantau oleh media.
Harian Lampung Post, tanggal 12 Mei 2007, memuat berita tentang rencana pemerintah kota Bandar Lampung untuk membangun rumah tipe 36 sebagai ganti rugi kepada warga Gunung Sari yang akan digusur. Perusahaan yang diminta untuk mengerjakan hal itu adalah PT. Prabu Makmur dimana Ferry Soelisthio sebagai pimpinannya. Judul berita itu adalah ‘Penggusuran: Alay Harus Bangun Rumah Yang Sebanding’.
Rupanya, Ferry dikenal sebagai Alay di Sumatera. Berita itu, selain memuat rencana pemerintah mengundang Ferry, juga memuat keberatan DPRD setempat akan rencana pemerintah memakai jasa Ferry. Dalam berita itu disebutkan bahwa “Anggota komisi C DPRD Bandar Lampung, Tandzi Feridi Roni berharap Pemkot tidak mengundang kontraktor hitam seperti Alay”. Bahkan ucapan sang anggota dewan dikutip langsung oleh wartawan sebagai berikut, “Kami punya pengalaman buruk dengan Alay. Beberapa proyek yang dia bangun seperti Pasar Panjang, Pasar Tugu, Pasar Ayam, dan lainnya, meninggalkan masalah.” Rupanya, Ferry memiliki gelar lain selain nama beken Alay, yakni “kontraktor hitam”. Untuk mengimbangi muatan kalimat Tandzi, dia juga mengungkapkan bahwa sebaiknya pemkot tidak mengulangi kesalahan masa lalu dimana Alay yang membangun rumah toko di Bandar Lampung dengan dana pihak ketiga, yakni Bank yang pada akhirnya meninggalkan Bandar Lampung dengan masalah. Saat itu, menurut Tandzi beberapa asetnya disita oleh pihak bank.
Berita lain dimuat di Detik Finance (DF) tanggal 15 Februari 2008. Judul beritanya cukup menghebohkan “5 Perusahaan Bersekongkol dalam Tender Mall Prabumulih”. Rencana pembangunan Mall Prabumulih akan dibangun di kota Prabumulih, Sumatera Selatan. DF memberitakan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutuskan lima perusahaan yang merupakan peserta tender pembangunan mall Prabumulih Sumatera melakukan persengkokolan. Kelima perusahaan yang dimaksud adalah PT Prabu Makmur, PT Sungai Musi Perdana, PT Putra Prabu, PT Makasar Putra Perkasa, PT Alexindo Sekawan dan seorang ketua panitia lelang setempat.
Berdasarkan pasal 22 UU No. 5 tahun 1999, semuanya terbukti telah melakukan upaya praktek persekongkolan dan melakukan persaingan usaha tidak sehat. Keputusan itu sendiri dibacakan oleh Wakil Ketua KPPU Tresna P Soemardi dalam sidang pembacaan putusan KPPU Perkara No. 15/KPPU-L/2007 mengenai dugaan pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 yang menyangkut pembangunan mall di kota Prabumulih tahun 2006, di kantor KPPU pada hari Jum’at tanggal 15 Februari 2008. Sebagai hukumannya, kelima perusahaan peserta lelang di denda masing-masing sebesar Rp 1 miliar dan tidak diperkenankan mengikuti tender selanjutnya di berbagai instansi pemerintah di kota Prabumulih Sumatera Selatan selama dua tahun.
Dokumen putusan ini dapat diunduh di website dalam bentuk dokumen PDF. Dokumen itu secara gamblang menjelaskan bagaimana Alay atau Ferry Soelisthio melakukan upaya persekongkolan dan pemalsuan dokumen perusahaan untuk memuluskan rencananya. Dari semua yang mengikuti tender pembangunan Mall Prabumulih, tiga di antaranya adalah satu group di mana Ferry sebagai pimpinannya. Tiga perusahaan itu adalah PT. Prabu Makmur, PT. Sungai Musi Perdana, dan PT. Putra Prabu. Sedangkan PT. Makassar Putra Perkasa, yang tidak satu grup juga adalah milik Ferry Soelisthio. Jadi, ada 4 perusahaan miliknya yang dia set akan bersaing dalam tender itu.
Adapun jenis pelanggaran yang diungkap dalam dokumen itu adalah pada masa pra-lelang dan lelang. Dokumen ini menyatakan bahwa lelang ini seharusnya memperoleh izin dari Gubernur Sumatera Selatan (poin 1.2.1), bahwa tindakan Ferry Soelisthio yang menghubungi Plt. Walikota untuk meminta izin presentasi dianggap upaya pendekatan untuk melakukan persekongkolan (poin 1.2.2), bahwa tindakan Ferry yang sudah menjual rencana kios-kios kepada para pedagang sebelum pengumuman pemenang tender adalah upaya pemastian bahwa perusahaannyalah yang akan menang tender (poin 1.2.3), bahwa tindakan Ferry yang memasukkan ketiga perusahaannya dan dua perusahaan lainnya dalam tender dianggap sebagai bentuk persekongkolan horizontal (poin 3.2.5.1.1 - 3.2.5.1.3), dan bahwa upaya Ferry menghubungi Plt. Walikota dan DPRD untuk memaparkan presentasi dianggap sebagai persekongkolan vertikal (poin 3.2.5.2.1 - 3.2.5.2.2). Maka atas berbagai tindakan itu, KPPU menetapkan hukuman sebagaimana disebut di atas.
Ah, mengapa kota ini menaruh harapan pada pengusaha semacam ini? Akankah Pasar lokal di Makassar menemukan kekhasannya lagi dan menjaga pedagang-pedagang kecil dari ancaman arus deras modernitas kota?
Menurutku tidak akan, sebelum pengusaha semacam ini diusir dari kota Makassar!

0 komentar: