Senin, 10 Januari 2011

Bianglala, hujan dan pasar malam

Oleh; Randie Akbar

Hidup itu bagaikan bianglala, berputar, cepat, namun sesekali harus berhenti untuk kembali berputar hingga pada akhirnya benar-benar terhenti. Seperti bianglala, hidup memerlukan bahan bakar berupa harapan, impian ataupun cita-cita. Seperti bianglala, hidup kadang membuat kita muak oleh putarannya yang begitu kencang dan tak terhindarkan sehingga kita harus muntah sesegera mungkin. Seperti kata “tidak” yang terlalu sulit keluar dari mulutku yang membawaku tepat di bawah bianglala, di sebuah keramaian malam.

Sesekali hujan jatuh dengan derasnya dan seketika membuyarkan lalu lalang ratusan orang di tempat itu. Kebanyakan memilih berteduh di bawah stan-stan atau lapak-lapak bertenda untuk sekedar melindungi diri mereka dari basah dan tidak sedikit pula yang memilih untuk segera meninggalkan tempat itu . Begitu hujan mulai mereda, aktifitas pun kembali seperti semula.

Seorang wanita dengan tubuh mungil dan kurus terus mengayuh sebuah ayunan yang digantung di tengah stan jualannya. Di atas ayunan itu, seorang anak tertidur pulas setelah lelah bermain. Gelak tawa pecah dari anak-anak yang memamerkan keahlian mereka memainkan hula hop (mainan plastik buatan China berbentuk gelang besar yang dimainkan di pinggang). Bersamaan dengan itu, kegembiraan meluncur dari senyum puluhan bocah di arena mandi bola. “Rp 4000 per jam”, kata pemiliknya. Wangi pop corn bercampur bau rumput basah terasa susah untuk mengalahkan aroma racikan Aigner Blue Motion yang berada di lapak parfum impor non alkohol.

Di sudut lain, orang-orang ramai mengadu ketangkasan dan keberuntungan di sebuah arena bermain. Menebak bentuk gambar (lingkaran, segitiga dan kotak)yang dibedakan melalui empat warna; hijau, kuning, merah dan biru. Caranya mudah, pengunjung tinggal membeli kartu seharga Rp 1000 dan meletakkan kartu itu di salah satu gambar lalu bandar memutar bola di atas sebuah papan yang berisi gambar-gambar yang berwarna. Bila bola berhenti di salah satu gambar, maka orang yang berhasil menebak gambar dengan warna yang sama, dialah pemenangnya. Hadiahnya adalah rokok beraneka merk dan soft drink 1,5 liter.“PASANG BANYAK, DAPAT BANYAK!” goda bandar yang biasanya sangat jitu menembus ruang penasaran pengunjung.

Di samping arena tersebut, gelang-gelang rotan dilempar ke sebuah meja yang berisi rokok yang tersusun vertikal. Setiap kali gelang rotan itu masuk penuh ke sasaran, senyum kemenangan pun segera muncul dengan bangganya dari bibir sang pelempar. Pemenang biasanya langsung meninggalkan arena permainan. Namun hal itu tidak berlaku bagi yang kalah, mereka biasanya tetap tinggal dan terus bermain dengan rasa penasaran tingkat tinggi, sampai rasa kesal memenuhi wajah mereka lalu memilih untuk pergi.

Pameran adalah sebutan beberapa pedagang atau pengunjung terhadap keramaian malam itu. Mungkin karena pedagang membawa barang-barang terbaik mereka untuk kemudian dipamerkan ke pengunjung. Beberapa orang lagi menyebutnya sebagai pasar malam –karena aktifitasnya pada malam hari. Berbagai daya pikat dilakukan pedagang untuk menarik minat pengunjung, walaupun hanya sekedar singgah ke tempat mereka. Mulai dari memasang tulisan besar “OBRAL! SERBA Rp 7000” di depan tempat berjualan mereka, berteriak“DIPILIH-DIPILIH, HARGA MURAH” sampai merekam suara dan mengeluarkannya lewat speaker “BANTING HARGA, KUALITAS IMPOR”.

Pasar malam persis sama dengan pasar lokal umumnya, proses tawar menawar tetap menjadi pemikat utama, yang membedakan hanya waktu digelarnya dan tempatnya yang selalu berpindah tiap sebulan sekali. Selain itu, pasar malam dikelola oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai panitia pelaksana. Panitia inilah yang mengurus segalanya, mulai dari perizinan, survey tempat strategis, sampai menyiapkan lapak dan stan. Panitia biasanya menyebarkan brosur ke pasar-pasar lokal untuk mencari pedagang yang ingin bergabung –pedagang yang bergabung disebut peserta. Tidak ada perjanjian khusus antara panitia dengan peserta. Peserta hanya membayar sesuai dengan tempat yang diinginkannya dan panitia pun menyiapkan tempatnya. Tarif per lapak dengan ukuran 2 x 2 disewa dengan harga Rp 150.000 dan harga sewa stan yang berukuran 4x4 sebesar Rp 250.000 selama sebulan. Sistem pembayaran tidak dilakukan sekaligus. Tiap minggu selama sebulan, panitia mendatangi lokasi tiap-tiap pedagang dengan memberikan blangko pembayaran. Untuk lapak, dicicil Rp 50.000 per minggu. Sedangkan stan, dicicil Rp 100.000 per minggu selama dua minggu dan sisanya dibayar pada minggu berikutnya. Bila pembeli kurang, pedagang dibolehkan untuk membayar sampai mereka punya uang. Prinsipnya adalah kepercayaan.

Entah sejak kapan pasar malam pertama kali dilakukan dan entah siapa yang memprakarsainya. Yang aku tahu, sejak dulu, pasar malam telah banyak digemari oleh masyarakat. Ini terbukti dengan banyaknya pengunjung yang datang tiap kali pasar malam diadakan. Kegiatan yang terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain membuat pasar malam menjadi salah satu bentuk promosi yang efektif bagi kelangsungan pasar lokal. Kalau mall atau pusat perbelanjaan menggabungkan konsep berbelanja dan berekreasi, pasar malam justru telah menerapkan konsep itu jauh sebelum adanya mall di kota ini. Di tengah mahalnya sarana bermain, pasar malam bisa dijadikan alternatif murah untuk melepaskan kepenatan.

Mae ma ki ammotere’ ri pasara’ ta!

0 komentar: