Kamis, 13 Januari 2011

Bom Waktu Pasar Moderen

Oleh; Sunardi
Dengan dibukanya liberalisasi pasar di Indonesia, khususnya pada sektor industri ritel melalui Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2000, tentang sektor usaha yang tertutup dan terbuka bagi investor asing. Ternyata, membuka peluang usaha baru bagi para pengusaha, baik dari dalam ataupun luar negeri melakukan investasi pada industri ritel di Indonesia. OLeh karena itu, tidak mengherankan jika kehadiran industri ritel yang berstandar moderen (Hypermart, Carrefour, dll) menjamur hampir di setiap daerah di Indonesia. Kemunculan pasar-pasar tersebut dengan berbagai kelebihan yang ditawarkannya, tentu akan membawa pengaruh tersendiri, khususnya bagi perilaku konsumen yang akan berdampak pada pasar lokal ‘tradisional’.
Konsumen yang dulunya mengandalkan pasar-pasar lokal sebagai tempat berbelanja kebutuhan sehari-hari, perlahan akan beralih pada pasar-pasar moderen. Untuk hal ini, ada berbagai alasan yang bisa menjadi penyebabnya, mulai dari kenyamanan dalam berbelanja yang ditawarkan, perbedaan harga barang, sampai pada berbelanja di pasar moderen sudah menjadi bagian dari gaya hidup, khususnya pada sebagian masyarakat perkotaan. Kondisi ini, tentu akan berpengaruh pada berkurangnya konsumen di pasar-pasar lokal, dan juga akan berdampak secara langsung pada berkurangnya omzet yang diterima para pedagang.
Dalam kasus ini, sebuah lembaga penelitian (SMERU), melakukan penelitian dengan mengambil sampel di Depok dan Bandung, kota yang dianggap menjadi proksi bagi kota besar di Indonesia. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan dua metode (kualitatif dan kuantitatif), menemukan dua fakta yang berbeda. Hasil dari penelitian kualitatif menemukan bahwa supermarket berdampak terhadap kinerja usaha pedagang di pasar tradisional. Sementara kesimpulan dari hasil kuantitatif menyebutkan, keberadaan supermarket tidak terbukti secara langsung memberi dampak terhadap kinerja usaha pedagang di pasar tradisional (lihat; Newsletter SMERU, No. 22: April-Juni/2007).
Jika kita mencermati apa yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh lembaga ini, tentu akan menimbulkan pertanyaan, dari dua data yang dikeluarkan dengan menggunakan metode yang berbeda, manakah yang dapat dijadikan ukuran dan apakah hal tersebut berlaku secara umum pada pasar-pasar lokal di Indonesia? Karena dari hasil penelitian tersebut, lembaga penelitian SMERU mengeluarkan beberapa rekomendasi. Pertama, perlunya perbaikan infrastruktur (sarana dan prasarana) pasar lokal, dan untuk permasalahan pembiayaan, hal tersebut dapat diatasi dengan bekerjasama dengan pihak swasta, dengan mengambil contoh kasus pasar lokal di Bumi Serpong Damai. Kedua, perlunya perubahan menejemen pada sistem pengelolaan pasar tradisional. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan perubahan infrastruktur dan sistem menejemen, pasar lokal akan mampu melakukan kompetisi terbuka dengan pasar-pasar moderen yang semakin menjamur?
Perlu Pemahaman Mendalam Terhadap Karakteristik Pasar Lokal
Di Kota Makassar khususnya, dan bebarapa pasar lokal lainnya di Sulawesi Selatan, pasar lokal tidak hanya menjadi sarana jual-beli semata. Lebih dari itu, pasar lokal sudah membentuk sistem sosial tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem sosialnya tidak hanya diwarnai dengan hubungan ekonomi semata, meski dalam beberapa kasus hubungan ekonomi masih lebih dominan. Akan tetapi selain itu, hubungan kekerabatan juga sudah melekat dengan kuat di dalamnya. Pola hubungan ini pula yang biasa menjadi pengikat dalam melakukan interaksi, baik antar sesama pedagang ataupun antara pedagang dan pembeli.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika, dalam beberapa hubungan dagang di pasar lokal, pembelian maupun peminjaman modal (baik dalam bentuk barang ataupun uang tunai) seringkali tidak diikuti dengan perjanjian secara tertulis yang ketat. Melainkan hanya mengandalkan sistem kepercayaan yang merupakan ciri khas dari sistem kekerabatan itu sendiri. Dan hal ini sudah berlangsung sejak lama di dalam pasar lokal di Sulawesi Selatan, termasuk di Kota Makassar.
Selain hal di atas, di dalam pasar lokal, struktur sosial juga tidaklah semudah dengan struktur sosial seperti pada pasar-pasar moderen. Untuk menjelaskan para pedagangnya saja membutuhkan bebarapa kategorial untuk memudahkan kita dalam melakukan identifikasi. Mulai dari pedagang lapak, pedagang emperan, pedagang pemilik lods, pedagang pengumpul, bahkan sampai pada pedagang dengan menggunakan sistem titip jual (pedagang yang menjualkan barang pedagang lainnya tanpa diperlukan modal awal). Kesemua kategori ini memiliki kekhasan dalam melaksanakan aktivitas jual beli, baik dari segi modal ataupun interaksi, termasuk pemilihan tempat-tempat menggelar dagangan.
Jadi ketika ingin melakukan perubahan infrastrukur pasar (sebagaimana direkomendasikan oleh SMERU), tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Permasalahan yang ada di dalamnya tidak hanya berkaitan dengan aspek permodalan semata, melainkan permasalahan sosial lainnya juga harus menjadi perhatian khsusus. Diperlukan berbagai pendekatan untuk menampung dan  mewujudkan keinginan dari para pedagang itu sendiri. Sebagai contoh kasus, kebijakan pemerintah Kota Makassar pada tahun 1997 untuk merubah infrastrukur Pasar Terong, salah satu pasar lokal yang sudah cukup tua di Kota Makassar,  sampai saat ini tidak berlangsung secara efektif.
Bangunan bertingkat yang rencananya diperuntukkan kepada para pedagang kini hanya menjadi bangunan yang sia-sia. Lods yang berfungsi sebagaimana mestinya, lebih sedikit ketimbang dengan yang difungsikan, dan bahkan pada beberapa bagian sudah mengalami kerusakan dan dibiarkan begitu saja. Sementara di satu sisi, hal yang tidak diharapkan terjadi oleh pemerintah, dengan melubernya para pedagang di pinggir jalan, justru itulah yang berkembang. Hal serupa juga terjadi di Pasar Butung Makassar, dan pasar Cabbenge’ yang ada di Kabupaten Soppeng, beberapa bagian bangunan pasar juga banyak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Artinya, ada ketidaksinambungan antara para pedagang dan pihak pemerintah dalam melakukan penanganan di pasar lokal.
Hal lain yang juga perlu dipahami, bahwa pasar lokal untuk konteks Makassar, lebih lekat dengan bangunan yang tidak serumit dengan bangunan pada pasar-pasar moderen. Belum lagi ketika berbicara tentang kemampuan pedagang, khususnya para pedagang kecil untuk menyewa tempat berdagang (lods) yang sudah disediakan. Makanya tidak mengherankan jika para pedagang tersebut lebih memilih menggelar dagangannya di pinggiran jalan, karena sewa yang harus dibayar tentu jauh lebih murah, dan juga lebih dekat dengan konsumennya.
Pasar lokal juga tidak semestinya dibiarkan, bahkan terkesan di paksakan untuk bersaing secara terbuka dengan pasar-pasar moderen. Karena ada begitu banyak perbedaan yang tidak memungkinkan hal itu terjadi, baik dari segi permodalan ataupun dari segi interaksi sosial. Jika hal tersebut terus dilakukan, maka yang terjadi justru adanya semacam “pemaksaan” untuk melakukan perubahan pada model pasar lokal yang sudah sejak lama berlangsung. Dan ini sama saja dengan usaha untuk memoderenkan pasar lokal, meski dengan cara yang lebih halus.  Untuk itu, pemerintah harus lebih serius memperhatikan keberadaan pasar lokal, dan tidak membiarkan begitu saja pasar-pasar moderen tumbuh dengan subur. Hal ini penting karena pasar lokal merupakan sektor ril, mampu menjadi penopang perekonomian masyarakat ketimbang keberadaan pasar-pasar moderen.

0 komentar: