Kamis, 13 Januari 2011

Buaya di Pasar Terong

Oleh; Agung Prabowo
Rambutnya sudah berubah menjadi sangat kuning, kaku hingga angin tidak lagi sanggup membuatnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Begitu kering berdiri tegap diatas kulit kepalanya. Dua hari lalu, dia menggunakan baju yang sama dengan hari ini. Kemeja putih dengan garis-garis warna biru. Di kedua sisi bajunya, nampak bercak kotoran berwarna coklat bercampur keringat.
Ketika melihat anak umur lima tahunan, bagian pipi adalah hal paling menarik yang ingin pertama disentuh. Tetapi Fajar tidak memilik pipi semulus pipi anak seumurnya. Pipi Fajar penuh dengan kotoran dan kasar. Orang-orang yang tidak terbiasa melihatnya akan berpikir untuk melakukannya.
foto : Agung Prabowo
Pagi hari, bersama ibunya, Fajar memasuki Pasar Terong. Dengan tergesa-gesa ibunya berjalan sambil menggandeng Fajar yang langkahnya terseok-seok mengikuti langkah Ibunya. Ibunya khawatir jika Fajar akan hilang seperti dua minggu yang lalu. Menurut cerita seorang pemetik batang lombok, rekan kerja ibunya, Fajar tersesat di Jalan Cendrawasih ketika bermain. Jarak Pasar Terong ke Jalan Cendrawasih sekitar 2 Kilometer.
Setelah Ibunya melaporkan ke pihak Kepolisian, tersiar kabar bahwa Fajar sedang bersama salah satu anggota Polisi. Tempatnya tidak jauh dari lokasi Fajar tersesat. Karena peristiwa tersebut, ibunya tidak lagi membiarkannya berjalan terlepas dari genggaman tangannya.
Melihat umurnya yang sudah beranjak enam tahun, seharusnya dia sudah berada di sekolah bersama anak-anak lainnya. Namun Fajar masih saja terlihat asik bermain di Pasar Terong tiap harinya. Wilayah tangga selatan gedung permanen pasar, bersama anak-anak yang lebih muda dari umurnya, Fajar menghabiskan waktunya.
Di pasar Terong, oleh para pedagang, Fajar lebih akrab dengan panggilan Buaya. Menurut pedagang, saat kecil Fajar kerap mengguling-gulingkan badannya di tanah. Tingkahnya itu mirip dengan seekor Buaya yang sedang berjemur. Karena itulah Fajar akrab dipanggil dengan Buaya oleh pedagang. Kondisi ekonomi keluarga Fajar yang serba kekurangan, oleh pedagang, hampir setiap hari diberikan uang, sekedar untuk jajan.
Buaya bersama dengan salah seorang temannya saat minta untuk di foto.
Buaya bersama dengan salah seorang temannya saat minta untuk di foto. (foto: Agung)
Sejak Januari 2009, dan sejak penelitian etnografi pasar lokal yang dilaksanakan oleh AcSI (Active Society Institute). Fajar kerap meluangkan waktunya untuk menemani teman-teman sekedara bercerita, dan berfoto adalah hal yang paling disenanginya. Karena begitu akrabnya dengan teman-teman peneliti. Dia akan menanyakan kepada pedagang tentang keberadaan peneliti. “Dimana temanku?”, seperti itu Dia menanyakannya dalam dialeg Makassar yang begitu kental. Fajar, bahkan selalu menawarkan diri agar diajak berkeliling pasar bersama teman-teman yang sedang melakukan penelitian. Ibunya bahkan pernah memberitahukan kepada saya, Fajar ingin sekali bersekolah dan menjadi mahasiswa, agar kelak dia juga menjadi seorang peneliti seperti yang di lakukan oleh teman-teman di AcSI.
Fajar memiliki kebiasaan yang menurutku sangat mulia. Dia sering kali memberikan makanannya kepada teman-teman di AcSI, padahal hanya cukup untuk dirinya. Karena kebiasaannya itu, kini antara Fajar dan teman-teman di AcSI terjalin ikatan emosional yang kuat. Sebagai balasannya, Fajar akan meminta untuk difoto. Ketika memanggil teman-teman yang sedang melakukan penelitian di pasar Terong, Fajar memiliki panggilan yang seragam. Teman.
Lingkungan pasar sudah menjadi arena bermain bagi Fajar bersama teman-temannya. Lingkungan dimana mereka tumbuh menemukan keterampilan bertahan hidup di tengah keterpurukan ekonomi keluarga. Keterampilan yang diturunkan oleh orang tua mereka. Bagaimana cara menghidupi diri dengan latar belakang pendidikan yang pas-pasan. Saat keluar dari lingkungan pasar, Fajar ditodong oleh tutuntutan status pendidikan formal untuk bekerja.
Suatu waktu, Buaya, oleh temannya diperintahkan untuk mencuri pakaian salah satu pedagang didalam gedung. Menurut Fajar, dia diancam akan dipukuli jika tidak mengikuti perintah tersebut. Karena sikap jujur yang masih di pegangnya, usai menyerahkan pakaian curian kepada temannya, dia melaporkan kepada sang pendagang. Dia baru saja mencuri pakaian dagangannya. Melihat sikap tersebut, sang pedagang memaafkannya, kemudian menasehati agar tidak mengulanginya lagi. Inilah sekolah informal yang menuntut anak-anak seperti Fajar memegang teguh sikap jujur. Sama halnya yang diajarkan disekolah-sekolah formal, tapi permasalahan uang, Fajar tidak mampu mengecap sekolah formal milik pemerintah.
Secara alamiah, dilingkungan pasar telah membentuk sistem dengan nilai-nilainya sendiri. Secara tegas, sistem ini mendidik orang-orang didalamnya untuk mengikuti, termasuk Fajar anak pasar lokal ini. Sistem ini telah berjalan puluhan tahun seiring dengan perkembangan masyarakat di luarnya. Sebuah lingkungan yang menjadikan Fajar menikmati masa kecil dengan pendidikan informal yang ditawarkan oleh masyarakat pasar.
Fajar adalah salah satu produk pendidikan informal pasar lokal. Pasar lokal yang dianggap banyak kalangan sebagai tempat menjamurnya prilaku kriminal. Akan tetapi dibantah oleh realitas kehidupan seorang anak, Fajar yang akrab dengan panggilan Buaya. Namun tidak berimbang pula jika melihatnya sebagai sesuatu yang sangat ideal, karena tidak dapat dipungkiri dalam sebuah kelompok masyarakat, penentangan atas nilai-nilai yang berlaku juga selalu terjadi.
Inilah yang perlu untuk mendapatkan perhatian mendalam. Minimnya perhatian terhadap pasar lokal, regulasi yang ada, pun masih sangat memposisikan pasar lokal sebagai anak tiri. Sementara pasar lokal sebagai sebuah kenyataan sosial, terus mereproduksi nilai-nilai positif yang bermanfaat. Fajar adalah alumni dari sistem pendidikan informal dipasar lokal yang patut mendapat perlakuan yang sama dengan anak-anak yang belajar disekolah formal milik pemerintah.

0 komentar: