Selasa, 18 Januari 2011

Derai-Derai Air di Pasar Tamalate


Oleh; Ishak Salim

Walau pagi terus beranjak
matahari tak jua mencuat
Selangit awan sejak semalam menawannya erat
Alih-alih membebaskan diri dari sekapan awan kelabu
air malah tumpah ruah
Awalnya sekedar garis-garis perak puitis,
akhirnya menjadi hujan yang marah.
Langit ringkih menampar jejak yang baru tercetak,
Mengukir pahatan baru tak berjejak.

Orang-orang yang mencari uang untuk sesuap nasi. Datang silih berganti. Menetap bila nasib begitu baik di jalan Tamalate. Tapi pergi juga seringkali menjadi pilihan tunggal. Armada Pagandeng dari Makassar, Gowa, dan Takalar yang memenuhi jalan Tamalate I di sekitar kampus UNM Fakultas Ilmu Pendidikan sudah ada di sana lebih sejak sepuluh tahun terakhir.

Daeng Kanang, ibu tua beranak sepuluh penuh semangat menceritakan kisah heroik dalam hidupnya. Saat itu awal tahun 2000 saat ia masih menjual di sekitar Puskesmas Kassi-Kassi.

Satuan Polisi Pamong Praja datang bergerombol ke  lapaknya. Mereka bermaksud mengusir Daeng Kanang agar tidak menjual lagi di trotoar itu. Tapi, ia dengan sigap mencegatnya. Dengan logat Makassar yang kental, ia balik memaki-maki Komandan Regu Satpol PP itu. Komandan regu berlagak tenang dengan makian Daeng Kanang. Tapi ia juga tak mau pergi sebelum Daeng Kanang membereskan meja lapaknya. Daeng Kanang tak kehabisan kata-kata.

“Dari mana kalian dapat uang untuk makan kalau bukan dengan memeras rakyat kecil seperti kami!”

Kata-katanya menohok komandan regu dan mulai gelisah. Ia memperlihatkan gelagat mengancam, lalu berbalik hendak mengambil sesuatu di mobil bombe-bombe yang membawa anggotanya kemari. Daeng Kanang mengikuti langkahnya dengan ekor matanya. Sebilah parang!

Suami Daeng Kanang menenangkan amarah istrinya. Tapi istrinya adalah ‘lelaki’ yang sedang mengusung api. Ia memilih abai dengan nasehat Daeng Rala suaminya. Begitu gagang parang itu digenggam oleh sang komandan regu. Daeng Kanang lagi-lagi menghardik tajam.

“Heh, Ko mo apai itu parang? Mauko parangika? Pilih mi mana ko suka. Saya tidak takut ji!”

Daeng Kanang yang tak surut emosinya terus meneror personil satpol PP ini. Nyali ‘polisi’ ini sekilas ciut dan Daeng Kanang dapat membacanya. Perempuan yang lahir di Bonto Nompo, Gowa enam puluh tahun lalu dan berasal dari keluarga nelayan ini semakin berada di atas angin. Ia menutup kalimatnya dengan tegas,

“Kalau ko tidak parangika, ko yang kuparangi!”

Daeng Kanang terkekeh-kekeh mengenang kisah itu. Aku disampingnya juga terkekeh membayangkan sepasukan polisi pamong praja pergi dari Tamalate. Hujan makin menjadi-jadi dan basah di sana-sini.

Seorang perempuan berjas hujan hijau tua datang mendekat dan mulai memilih-milih telur. Daeng Kanang beranjak dan mengajaknya ngobrol. Rupanya keduanya sudah saling kenal. Pelanggan setia sepertinya.

Pandanganku lurus ke depan. Seorang anak perempuan berusia sekira 4 tahun tergesa-gesa menanggalkan seluruh bajunya seolah tak sabar ingin menerjang guyuran hujan. Ia baru saja mendapat izin rupanya setelah sejak tadi kuperhatikan ia merengek kepada ibunya yang baru saja usai merapikan aneka dagangannya.

Annisa yang kehilangan teman sejak pagi seperti menemukan mainannya yang lama hilang. Ia pun lari menerjang dan sekejap larut dalam siraman, mengayun-ayunkan kedua tangannya, membuka telapaknya yang mungil seolah hendak menadah seluruh air itu. Bahkan dari tenda berwarna biru yang sudah tercabik-cabik sekalipun masih bisa memberinya mainan paling indah pagi itu, pancuran air.

Hujan makin deras!

Satu persatu penjual ikan yang sejak tadi menjajakan ikan di sepanjang trotoar jalan ini masuk berlindung dan berbincang dengan penjual ikan lainnya. Di sekitar mereka, boks-boks gabus berwarna putih terhampar. Seorang pedagang mengeluarkan ikan-ikan segar yang bertaburkan butiran es ke lapaknya yang beralas terpal plastik biru. Ikan-ikan ini ia beli di pasar pelelangan ikan Paotere. Biasanya ia mengambil ikan di Pasar pelelangan ikan Barombong. Tapi karena kurang ikan, ia memilih ke Paotere.

Suasana makin ramai. Pedagang-pedagang ikan ini tertawa-tawa setiap ada yang berkelakar. Aku diam-diam tersenyum setiap lelucon yang kupahami. Tak lama, Daeng Kanang duduk lagi disampingku. Aku menyalakan kretek dan menghisapnya dalam-dalam.

“Jadi kemana maki’ pindah nanti?” Aku meminta pendapatnya.

Tadi, sebelum hujan menggila, aku diberitahu oleh pedagang ikan tempatku membeli 4 ekor cumi-cumi bahwa tanggal 15 Februari nanti pemilik tanah ini meminta kami pindah.

“Sudah pernahmi datang Hajjia, pak. Dia tidak bisami lagi perpanjang kontrak tanahnya ke kami.” Demikian ia bercerita.

“Jadi selama ini semua pedagang di sini membayar sewa?” aku menelisik. Ia mengatakan ‘ya’ kecuali pedagang yang memenuhi trotoar itu. Ia menunjuk beberapa pagandeng juku’ yang melayani pembeli. Ibu Annisa yang memiliku dua kios membayar sewa 500 ribu perbulannya.

Di atas tanah di mana mereka berpijak menjual, memang ada sekira 25 pedagang membangun lapak dan beberapa kios sederhana, termasuk Daeng Kanang. Lingkungannya buruk. Becek dengan tanah berwarna hitam. Kios-kios dibuat seadanya. Berdinding seng bekas kecokelatan dan beratap seng yang juga cokelat dan karat disana-sini. Beberapa kios itu tertutup rapat sehingga aku berkesimpulan itu tak berpenghuni.

“Tidak, pak. Ada semua yang punya itu. Full barang di dalam itu.” Demikian pedagang ikan yang bersongkok haji ini menjelaskan.

 “Ooo.”

Rupanya, sekira tiga tahun terakhir, pedagang-pedagang ini menempati tanah ini untuk berjualan. Sebelumnya, banyak dari mereka adalah pagandeng juku dan sayuran yang berjualan di trotoar sekitar Kampus UNM. Jalan ini strategis, dilewati oleh banyak pegawai dan mahasiswa yang lalu lalang. Di sisi kiri dan kanan juga adalah perkampungan padat kelurahan Tidung dan beberapa kelurahan lainnya di kecamatan Tamalate..

Tanah yang pedagang sewa ini milik seorang dosen UNM yang tinggal di Rappocini. Sesekali ia datang mengambil uang sewa yang sudah dikumpulkan oleh salah seorang pedagang yang juga adalah keluarganya. Terakhir kali ia datang menyampaikan ultimatum itu. Pedagang sudah harus pindah dari tanahnya.

“Pastimi itu, Pak.” Daeng Kanang meyakinkanku atas keraguan pemilik tanah ini meminta pedagang pergi.

“Saya dengar langsung dari dia dengan telingaku sendiri.” Ia menekankan lebih jelas lagi.

Rupanya, tekanan datang dari beberapa kawannya yang juga dosen UNM.
Aku memandang gedung biru UNM tepat di depan pasar ini. Pemandangan yang buruk adalah masalahnya. Pihak Universitas resah melihat kesemerawutan jalan di depan kampus oleh aktifitas pagandeng-pagandeng ini.

Memang tidak ada lagi pagandeng di sekitar pagar UNM ini. Masih kuingat beberapa bulan lalu membeli ikan asap di sekitarnya. Ikan asap memang khas Pasar Tamalate. Orang-orang Makassar yang sangat menyukai menyantap ikan sebagai lauknya menyukai masakan asapan ini. Dominan ikannya adalah ikan Cakalang atau Tuna. Aku selalu memasaknya kembali dirumah dengan ramuan bersantan.

“Teman-temanna yang suruh dia supaya dia jual saja tanahnya.” Demikian Daeng Kanang melanjutkan ceritanya.
Melihat hubungan pemilik tanah dan beberapa pedagang ini dalam mendirikan pasar, aku mulai berpikir taktis. Pedagang ini belum menemukan jawaban pasti yang tepat kemana mereka harus pergi. Memenuhi kembali pinggir jalan Tamalate I ini tentu saja satu kemungkinan. Tapi itu berarti berdagang dalam kekhawatiran. Kekhawatiran berhadapan dengan alat ‘gebuk’ pemerintah yang sewaktu-waktu bisa mengusir mereka dengan alasan praktis, tata kota atau adipura.
“Bagaimana kalau kita coba bicara lagi dengan pemilik tanah ini?”

Aku memandang dua penjual ikan ini bergantian. Lelaki berbadan gempal berkaos oblong putih polos itu mengangguk-angguk.

“Kita bisa memintanya untuk menata pasar kecil ini. Membangunkan bangunan sederhana yang lebih baik beratapkan seng dan meja-meja yang terbuat dari kayu. Kalau bangunan ini dirancang dengan baik dan bersama-sama dengan pemilik tanah itu mungkin ia tertarik.” Begitu aku menawarkan ide.

baji itu kalau kita coba. Dia tinggal di Rappocini, Pak. Bisa kita hubungi dia.” Lelaki bersongkok itu menimpali.

Pembicaraan kami tak berlanjut. Hujan yang mulanya hanya rintik menjadi begitu derasnya. Posisi dudukku tak memungkinkan tetap di antara dua penjual ikan ini. Mereka menyarankan aku untuk pindah ke kios Daeng Kanang yang terlindung baik. Kuangkat kopiku dan mematikan rekaman yang sengaja kuhidupkan sejak tadi. Aku tak memberitahukan mereka kalau aku merekamnya. Tentu ini cara yang salah, tapi aku membutuhkannya untuk membantu daya ingatku yang payah.

Daeng Kanang sudah tua. Ia tak berpikir melanjutkan usaha dagangnya di Makassar setelah tanggal 15 Februari nanti. Seorang anaknya yang tinggal di Tarakan memanggilnya tinggal bersama. Tiga tahun terakhir ini, ia memang merasa sepi. Sesekali cucunya menemani berdagang di kiosnya yang sempit.

“Ammoterammi buranengku.”

Aku diam saja menatap wajahnya yang terlihat sedih.
“Tidak pernah dia kasiliatki saki’na dan tidak mauki na kasi’ susahki.” Tanpa kuminta bercerita ia terus saja bicara. “Itu pagi, dia bilang, jangko tinggalkanka’. Di sini mako duduk. Tapi, kubilang, mau sekalika kencing, mau ka ke sumur dulu. Terus dia bilang, iyyo pale, jangko lama-lama. Pergima. Eeh, sudahku kencing, kembalika ke kamar di atas, eh tidak adami kodongammoterammi.

“Hujan rintih-rintih”

Aku membayangkan kesedihannya. Ia ternyata seorang perempuan juga.
Pasar Tamalate di jalan Tamalate I ini basah. Penjual-penjual ikan yang tadi berkumpul kembali ke sepedanya masing-masing. Aku memilih pamit.

Tidung, 16 Januari 2011

Pasar Tamalate dari helikopter om Google!

0 komentar: