Senin, 31 Januari 2011

Hatta: hidupnya riuh layaknya pasar

Oleh; Zulhajar
          Walau terbilang sangat ramai oleh warga kota yang berbelanja kebutuhan sehari- hari. Pasar Karuwisi, ternyata masih menjadi salah satu dari puluhan pasar yang masih berstatus Darurat di Kota Makassar.

 Setelah menyusuri setengah pasar , yang memanjang menyambungkan jalan Keamanan, jalan Abu Bakar Lambogo dan Jalan maccini raya, saya mulai memperhatikan kemungkinan berbincang dengan salah seorang pedagang. Saya mencoba mendekati seorang pedagang yang punya meja bertaplak biru persegi panjang. Meja yang panjangnya kurang lebih satu setengah meter dengan lebar setengah meter sekilas telah reok, setidaknya terlihat kayu dari kaki dan namun jejeran kayu penyangga saling silang yang mungkin tiap saat ditambahkan dikaki- kakinya, membuat meja itu bertahan cukup kuat menopang tumpukan- tumpukan ikan diatasnya tiap hari. sepintas posisi meja terlihat aneh, dimiringkan kedepan. Ternyata hal itu disengaja untuk memudahkan air mengalir jatuh kedasar lantai, sebab jika tidak, tiap saat air yang dipercikkan untuk tetap membuat ikan tampak segar akan menggenangi meja. Selain ikan, dua bungkusan berisi kantong plastik dengan ukuran berbeda juga menghiasi meja jualan. Disamping bawahnya terdapat dua ember berisi air bersih yang setiap saat dipercikkan guna menyegarkan ikan.
Tak sama layaknya penjual ikan lain dipasar lokal yang dikenal dengan kebiasaan menjajakan ikan menarik minat pembeli dengan berteriak diiringi nyanyian, hatta hanya duduk dan sesekali hanya menegur teman pedagang yang lewat. Tawar menawar dengan pembelinya tak rumit, jika hatta telah menyebutkan harga dan pembeli memberi penawaran, hatta tak butuh berpikir lama menyatakan setuju atau tidak, tak banyak basa- basi untuk menarik minat pembeli. “setidaknya itu yang saya lihat berkali- kali caranya berinteraksi/ melayani pembeli”,  hal itu menjadi perhatian lain saya setelah meminta izin untuk berbincang dengannya dan duduk cukup lama disalah satu kursi dibelakang meja jualannya. 
Ia seorang penjual ikan. Namanya Hatta, Ian’ Panggilan lainnya saat masih bergabung disalah satu Geng Motor di Makassar, nama Ian’ Itu nama Udara Istilahnya, akunya sambil tertawa kecil sedikit bangga karena pernah menjadi “Anak Motor –Motor”(Istilah dimakassar untuk anggota komunitas/ geng motor), sebuah ukuran yang memadai untuk di cap Anak Gaul. Hari ini hatta menggunakan Kaos hijau berkerah dikombinasikan dengan celana kain kotak- kotak, kedua pakain kerja itu tampak kumal. Selain itu, Tas pinggang tempat uang dan sepatu boot melindungi kakinya dari genangan air disekitarnya, menguatkan tampilannya sebagai pedagang ikan. Kulit wajahnya dipenuhi beberapa lubang bekas jerawat, Sorot Mata sedikit tajam, Kulit tubuh hitam dan tebal tak mulus membalut tubuh kurusnya. Kesan yang menguatkan kalau dari Kecil dia hidup dilingkungan yang keras.
Ayahnya Poligami saat usia hatta masih muda namun telah ikut mencari nafkah, sampai sang ayah meninggal ia punya tiga ibu tiri. Ia kesal pada ayahnya yang menyakiti ibunya. membuatnya memutuskan untuk pergi dan tak lagi bekerja bersama dengan majikan sekaligus ayahnya tersebut. usia remaja telah cukup waktu untuk memunculkan empati besar memahami duka sang ibu yang dimadu.  “Intinya saya nda’ suka bapa’ku begitu, makanya saya tinggalkanki ”, Jawabnya lugas, seolah telah lalu-lalang drama hidup yang ia telah saksikan dan rasakan, hingga kisah keluarganya satu ini tak perlu lagi diungkapkannya secara emosional.
Setelah berpisah tempat tinggal dengan ayahnya yang bekerja dan menetap di Pammolongan atau Pembantaian daerah Kassi- Antang (tempat pemotongan Hewan sapi dan kerbau), tahun 1995 Hatta ikut bersama ibunya tinggal disekitar daerah maccini parang. lokasinya yang cukup dekat dengan pasar karuwisi membuatnya tertarik mencari nafkah ditempat ini. “tak butuh waktu lama untuk segera dapat kerja didaerah seperti ini, menurutnya”, awalnya ia ikut berjualan bersama pamannya Haji Ismail. Guru pertama menurut pengakuan hatta sebagai penjual ikan adalah haji Ismail yang juga saudara kandung ibunya tersebut. Namun lanjut cerita hatta, karena “tak cocok” dengan ikan, pamannya telah beralih menjadi penjual Pallubasa diperempatan sana (sambil menunjuk kedaerah jalan Keamanan, perbatasan antara daerah Karuwisi dan Maccini ).
Istilah “tak cocok” dengan satu atau beberapa jenis dagangan tertentu menjadi idiom yang sering digunakan oleh pedagang untuk mengidentifikasi peruntungannya terhadap jenis usaha atau komoditas. sepengetahuan penulis, kata ini seringkali digunakan apabila seseorang yang telah lama menggeluti satu jenis usaha atau komoditas tapi tak bisa memperbaiki penghidupan ekonomi keluarganya walaupun berbagai upaya dirasakan telah dilakukan untuk itu. diluar tafsir ini tentunya berbagai pemaknaan lain bisa hadir tentang kata” tak cocok” ini bagi pedagang.
***
Ditengah pembicaraan kami tiba- tiba seorang kakek tua mendekat, berdiri tepat didepan meja jualan hatta. Seolah tanpa aba-aba hatta menyodorkan uang Rp.1000 padanya, awalnya saya menduga orang tua dengan guratan keriput penuh diwajahnya adalah peminta- minta yang secara rutin hadir dipasar karuwisi, namun hatta buru- buru menampik anggapan yang sedang berputar dikepalaku, “ orang tua itu penagih sumbangan dari pedagang untuk mesjid pas dibelakang itu (sambil menunjuk kearah belakang meja dagangannya yang ternyata luput dari perhatianku, mesjidnya tidak cukup 10 meter dari tempat yang saya duduki)”. Tanpa banyak basa-basi, kakek itu meninggalkan kami dengan ucapan terima kasih.
Sebelum lebih jauh bertanya tentang aktivitas dagangnya, saya berpikir memulai lagi pembicaraan dengan bertanya soal retribusi selain bentuk sumbangan Mesjid seperti tadi. Hatta sepertinya semangat membicarakan ini tapi dengan nada sedikit mengeluh.
 ”iyo, nda taumi disini, siapa kepala pasar, ada memang yang ambil retribusi –namanya Daeng Supu. mungkin itumi juga kepala pasar, tapi kalau disini ada kepala Pasar, ada kepala batu. Banyak penjual yang maunyapi baru bayar terutama ana- ana penjual ikan, kotaumi toh daerah sini, tempatnya perang- perang busur, banyak yang mantan preman dan masih banyak yang preman jadi penjual. Pernah dulu banyak penagih tapi bikin jengkel- jengkel kalo menagih, pernah didatangi ramai- ramai sama orang banyak (pedagang) tapi beralasan- hasil retribusi nda jelas disetor kemana, jadi banya’mi orang kepala batu (malas bayar atau tidak mau diatur), saya juga kalo didatangika biasa tommi saya bayar biasa juga tida’, tergantung suasana perasaan, “ucap hatta sambil senyum- senyum”.   
***
Tak cukup lama waktu yang dibutuhkannya untuk tahu seluk-beluk jual ikan, setelahnya ditahun yang sama yaitu 1995 ia memulai usaha sendiri. Ia mendapati guru keduanya bernama Andi Muhdar. Dari beliau yang pengusaha ikan dilelong( tempat pelelangan Paotere) hatta mendapat kepercayaan. Hatta tiap saat mendapat suplay ikan dari gurunya tersebut sambil dicatatkan harga dan selayaknya dijual berapa. Setelah merasa modalnya cukup untuk membeli langsung ikan, hatta tak lagi mendapat suplay. Sejak saat itu ia setiap harinya Hatta membeli langsung dan bayar cash/ tunai ikannya.
Sejak 15 tahun lalu, nyaris tiap hari Hatta memulai aktivitasnya dari jam 5 atau 6 pagi dipaotere untuk membeli ikan, dihari biasa modal yang dikantonginya berkisar 600-700 ribu dan dibulan puasa ia biasanya membawa 1 juta rupiah, tak lupa pula untuk menyisihkan uang retribusi masuk Pelelangan sebesar 5 ribu rupiah.
Dengan sepeda motornya ikan dibawa dengan kardus besar ke meja tempat jualannya dipasar karuwisi, sebelum jam 8 biasanya ia telah tiba dan mulai berjualan. tengah hari ketika pasar sudah mulai sepi dari pembeli hatta memilih pulang kerumahnya istirahat yang tak jauh dari pasar, makan dan tidur siang dua hal yang dilakukan mengurangi kepenatan sebelum kembali lagi menjual sekitar pukul 15 atau 16 sore, waktu dimana pembeli kembali ramai pembeli terutama oleh ibu- ibu yang kembali dari aktivitas kantor. Pasar Karuwisi yang terbilang strategis, berposisi ditengah kota Makassar. cukup mudah di akses dari daerah perkantoran Jalan AP. Pettarani dan Panakukang, menjadikannya banyak dikunjungi pagi dan sore hari sebagai tempat belanja kebutuhan konsumsi sehari- hari seperti Ikan, ayam, sayuran, bumbu dapur dll, “ungkap hatta dengan nada datar sambil merapikan tumpukan- tumpukan ikannya”.
Selain siang hari, Kadang pula ia memanfaatkan hari senin atau selasa untuk beristirahat, sekedar bermalasan- malasan atau digunakan untuk mengunjungi keluarga atau berkumpul dengan teman- teman lamanya. sehari penuh ia tak samasekali menjual, biasanya pengunjung pasar kurang, jelas hatta.     
Hari ini, hatta hanya menjual Ikan layang, ikan mairo/ teri, ikan sinrili, udang, dan sayuran lawi-lawi serupa rumput laut (menurutnya sayuran ini sangat enak disantap dengan ikan teri). Jenis ikan yang jual disesuaikan dengan musim, menurut hatta saat- saat seperti ini yaitu musim angin barat nelayan hanya bisa memperoleh ikan jenis ini untuk konsumsi kelas menengah kebawah. Jika cuaca normal hatta bisa menjual banyak jenis ikan seperti Katamba, Lamuru, cepa’, ba’nyara, layang, sinrili, cumi- cumi, cakalang. Sementara jenis ikan yang menjadi andalan atau paling banyak disuka pelanggan yaitu ikan layang, ba’nyara, cakalang.
Dari jualannya hari ini hatta menjelaskan harga tiap jenis ikan jualannya, ikan layang misalnya dibeli 275 ribu satu Basket (keranjang), 1 basket berisi 110- 120 ekor, 3 ekor layang bisa dijual 10 ribu, total hasil penjualan jika laku semua mencapai 360 ribu,keuntungannya mencapai 85 ribu. nilai itu tak berselisih jauh dari keuntungan yang didapat dari penjualan ikan sinrili, sementara untuk udang hari ini dia membeli 5 kilo, perkilonya dibeli dengan harga 32 ribu, dijual dengan cara dipisahkan dalam bentuk tumpukan- tumpukan setengah kilo diatas meja dan dijual 20 ribu, keuntungan dari udang berkisar 40 ribu. dari sekerjang yang beratnya 4 kilogram ikan mairo/ teri menghasilkan 12 tumpukan dengan harga 5 ribu tiap tumpukan, dengan harga beli 25 ribu perkeranjang harga jualnya bisa mencapai 60 ribu, artinya keuntungan yang diperolah berkisar : 35 ribu rupiah. Jualan terakhir yaitu lawi- lawi, dibeli 30ribu satu karung kecil, dijual ditumpuk dengan harga 2 ribu rupiah, harga jual bisa jadi 50 sampai 60 ribu dari jual jawi- jawi. Dengan kalkulasi sederhana, total keuntungan yang potensial diperoleh hatta hari ini berkisar: 275 hingga 300 ribu dengan asumsi semua terjual habis. jika masih ada sisanya disimpan dikardus berisi es (istilah penjual ikan :di Es). Selebihnya sisa ikan yang tidak terjual disisihkan pula buat kebutuhan rumah tangganya, untuk konsumsi lauk buat istri yang dinikahinya tahun 1998 dan satu putranya dirumahnya dijalan Maccini Parang, ± 100 meter dari meja jualannya.
            Sekilas penghasilan Hatta sebagai pedagang ikan sangat lumayan. Untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari- hari rumah tangganya tak banyak mengalami kesulitan berarti. Diluar itu Hatta tiapa hari harus menyisihkan 20 ribu rupiah melunasi cicilan pinjamannya dikoperasi sebesar 1 juta rupiah. namun  tak lupa pula ia menabung. bukan hanya sebagai media untuk menabung sepertinya; melalui arisan rasa kebersamaan dan persaudaraan sesama pedagang Pasar karuwisi terjalin.  ada dua jenis arisan ia ikuti. Hatta secara jujur mengungkapkan bahwa lewat arisan setidaknya 90 ribu rupiah perhari penghasilannya dia amankan. aman dari hobby atau kebiasaannya menghabiskan uang dengan minum- minum ditempat karokean atau main billyard bersama teman- temannya, akunya. bahkan, menurut pengakuannya lagi, setidaknya dua kali seminggu menghabiskan malamnya minum- minum ditempat karaoke pavoritnya dibilangan jalan Ahmad Yani. Tak jarang ia dan teman- temannya menyewa wanita penghibur untuk menemaninya bernyanyi. Tanpa berupaya menutupi kebiasaan buruknya ia melanjutkan, kalau setelah karaoke bersama wanita penghibur itu, tak jarang dilanjutkan diranjang penginapan murah didaerah kota. “Hiburan toh” sambil tersenyum malu, Hatta mengakhiri cerita hidupnya.
Mudah- mudahan Hatta tak mengulangi kesalahan ayahnya yang dia sendiri mengutuknya, “memadu istrinya”, harapku dalam hati sebelum berpamitan dengannya.

          

                                                                                                                

1 komentar:

Roni mengatakan...

asik.....