Kamis, 13 Januari 2011

Matinya Pasar Tradisional(?)

Oleh : Ishak Salim
Banyak orang, bukan hanya ahli ekonomi tetapi bahkan pedagang sendiri berpikir bahwa pasar ‘tradisional’ atau pasar lokal harus ditata sedemikian rupa agar mampu bersaing dengan pasar moderen yang sedang menjamur. Lalu, para pengambil kebijakan pun berpikir senada dan dimulailah apa yang disebut revitalisasi atau modernisasi pasar ‘tradisional’ dilakukan khususnya di era tahun 1990an dengan mengundang developer. Di Makassar, 2 pasar lokal utama mengalaminya di era itu, di antaranya pasar Sentral yang telah berganti nama Makassar Mall dan pasar induk Terong yang kini ‘malu-malu’ berganti nama Mal Terong. 2 pasar ini, bila ditinjau berdasarkan bangunan memang terkesan ‘moderen’, berlantai keramik, bertingkat lebih dari 2 lantai, dengan eskalator dan lift, namun sangat disayangkan bangunan itu tidak mampu memenuhi kewajiban dasarnya, menjadi tempat terjadinya transaksi jual beli. Di pasar Sentral, pedagang sektor informal memilih memenuhi badan jalan di sekitarnya, demikian pula pasar Terong, yang memenuhi beberapa jalan dan puluhan lorong di sekitarnya.
Pilihan pedagang untuk memilih berdagang di luar gedung tersebut, bukan semata-mata karena pedagang ini keras kepala dan tidak mau mengikuti perkembangan jaman dan oleh karena itu harus dikerasi dengan alat kekerasan negara yang bernama polisi dan satpol pemerintah. Ada banyak faktor mengapa upaya revitalisasi ini secara total mengalami kegagalan. Diantara faktor itu adalah internal dan eksternal.
Faktor internal
Sejak awal, konstruksi gedung yang mentereng jelas berusaha mengubah kultur berdagang dan kultur berbelanja di pasar lokal yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun. Setidaknya untuk pasar Terong sudah di mulai akhir tahun 1950an dan pasar Sentral tahun 1960an. Jenis pedagang yang berjualan di pasar ‘tradisional’ sangat beragam dengan modal dan cara berdagang yang juga beragam. Di sana ada pamejang dengan skala dagangan mikro dan kecil, jugapalapara yang sekedar menggunakan tikar sebagai alas untuk berjualan segenggam-dua genggam lombok, cabe, dan sayur mayur. Di sana adapagandeng baik dengan sepeda maupun motor dari berbagai pelosok Takalar maupun Gowa. Ada becak yang harus keluar masuk untuk mengangkut penumpang, khususnya barang dagangan pedagang dari jalan raya ke dalam area pasar dan banyak lagi aktifitas lainnya.
Di luar aktifitas pasar, pedagang juga menikmati suasana kekeluargaan yang tiada tara yang tidak dimiliki oleh gedung-gedung pasar mentereng hasil revitalisasi pasar ‘tradisional’ karena umumnya pedagang tinggal di sekitar pasar. Mengapa banyak pedagang tinggal di sekitar pasar, karena secara historis pasar-pasar lokal di Makassar memang tumbuh karena kebutuhan komunitas dan bukan sama sekali bentukan pemerintah. Orang-orang di kampung Maccini Gusung dan kampung Baraya misalnya, menjadikan pasar Terong sebagai bagian wilayah pergaulan mereka karena kisaran 40-50% penduduknya adalah pedagang di sana atau setidaknya bekerja dengan menyediakan jasa di pasar.
Setelah revitalisasi banyak pedagang yang tidak mampu bertahan dengan model gedung yang tidak familiar dengan mereka. Sekedar contoh, lokasi berjualan bagi pedagang basah (ikan, daging, ayam potong) di tempatkan di area basement yang berada di bawah permukaan tanah dengan saluran drainasi yang sangat sempit berkisar 10 cm. Ruang yang pengap untuk barang dagangan yang berbau yang seharusnya membutuhkan udara segar dan lapang tidak tersedia. Konon, menurut cerita dari seorang pedagang daging, dulu pasar Sentral menyediakan bukan hanya area berdagang yang lapang, tapi juga lokasi antara penjual ikan daging di antarai oleh taman kecil sehingga selain berdagang bisa menghirup udara segar pandangan mata juga tidak jemu dan jenuh. Belum lagi bagi pedagang sayur mayur yang di tempatkan di lantai 2 atau 3, yang secara teknis amat tidak efisien.
Banyak pedagang masih mencintai model pasar lama yang sangat simpel dan memudahkan banyak orang (sekali lagi banyak orang) untuk dapat mengambil peran di sana. Sekali pasar ini di revitalisasi dengan menyediakan aneka lods yang seragam dan harga yang sama rata puluhan juta maka hilanglah kemampuan aneka pedagang mikro dan kecil yang tak mampu. Bangunan berlantai keramik dan adanya tangga walaupun hanya 3 buah anak tangga akan menghilangkan mata pencaharian daeng becak, pagandeng, dan penyedia jasa sampah non-pemerintah di sana dan banyak lagi.
Faktor eksternal
“Pedagang pasar ‘tradisional’ harus tumbuh mengikuti logika ekonomi pertumbuhan.” demikian ahli ekonomi kampus berpikir dan pendapatnya dikutip oleh para pengambil kebijakan. “Pedagang-pedagang itu harus mampu bersaing dengan pedagang pasar moderen.” Demikian pemikiran yang lain. Pada akhirnya, pendapatnya menjadi “Pasar ‘tradisional’ harus mampu bersaing di tengah gempuran Pasar Moderen.” Inilah logika-logika ekonomi yang menyesatkan sehingga terjadi carut marut tata kelola ekonomi sektor informal di pasar lokal.
Maraknya pasar moderen adalah suatu keniscayaan untuk sebuah kota yang terus berkembang. Namun, perkembangan itu seyogyanya tidak mendiskriminasikan yang lain. persoalan harga dan barang dagangan misalnya. Bila pasar moderen turut menjual aneka kebutuhan sembilan bahan pokok dengan harga jauh dari harga pasar lokal maka lambat laun konsumen akan lebih memilih pasar moderen. Ada beberapa faktor yang membuat harga di pasar moderen lebih murah dari pasar lokal, seperti akses pedagang ritel yang langsung kepada petani dengan berbagai cara. Pemodal memberi petani modal, bibit, dan paling tidak akses pemasaran dengan lebih mudah. Bila panen tiba, pemodal mengambil barang kelas satu tanpa cacat dan memberikan sisanya untuk dijual di pasar lokal dan di jalan-jalan.
Faktor lain adalah, karena pemodal ritel moderen adalah pemodal besar maka murahnya harga kebutuhan pokok merupakan strategi dagang untuk menarik minat konsumen untuk datang. Dengan aneka barang yang dijual oleh seorang pedagang saja, maka harga satu kebutuhan dengan aneka barang lain bisa bervariasi dan saling menutupi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh pasar lokal.
Selain itu, perkulakan yang seyogyanya menjual barang secara grosir ternyata ditemukan praktek dimana konsumen dapat membeli secara eceran. Ini adalah sebuah pelanggaran persaingan usaha yang selalu luput dari pantauan negara.
Menuju pengaturan pasar yang adil
Sekarang ini, anggota DPRD kota Makassar sedang mempersiapkan kado perpisahan bagi pedagang yakni peraturan daerah tentang perlindungan, pemberdayaan pasar ‘tradisional’ dan penataan pasar moderen. Layaknya sebuah hadiah, maka hadiah itu sebaiknya dikemas dengan baik dan isinya dapat menyenangkan sipenerima. Dari pembacaan atas naskah akademik yang dipersiapkan dan muatan aturan yang disusun dalam draft ranperda oleh anggota dewan, penulis belum menemukan substansi keberpihakan kepada pedagang pasar lokal yang didominasi pedagang mikro dan kecil. Penulis, bersama lembaga AcSI dan serangkaian diskusi intens dengan ratusan pedagang mikro, kecil dan menengah, memiliki beberapa pemikiran yang penting untuk dituangkan agar pasar lokal tidak mati.
Pertama, proses revitalisasi pasar lokal harus mempertimbangkan beberapa hal yakni, area relokasi yang jelas dan baik untuk berdagang selama revitalisasi pasar lokal berlangsung; besaran harga sewa/pembelian kios/lods baru yang tidak memberatkan bagi pedagang kecil dan mikro; bangunan tak lebih dari dua tingkat atau sebisa mungkin hamparan yang tertata rapi dan memperhatikan drainase dan ruang udara bagi pedagang basah; tetap memberi akses bagi pagandengdan daeng becak yang selama ini hidup dari kehidupan pasar lokal;
Kedua, persaingan usaha antara pasar lokal dan pasar moderen harus diatur sedemikian rupa oleh negara/pemerintah. Di sini seyogyanya kebijakan ekonomi berpihak pada pedagang mikro/kecil dan tidak melepaskan begitu saja mengikuti logika permintaan dan penawaran apa lagi harus bersaing dalam ketidakimbangan kekuatan. Pasar moderen sudah seharusnya dibatasi dalam menjual sembilan bahan pokok, kalaupun boleh hanya dapat dalam bentuk kemasan. Bahkan, bila pemerintah benar-benar mau berpihak untuk melindungi sebagaimana bunyi judul ranperda ini, maka pasar moderen seharusnya memenuhi barang kebutuhan pokoknya dari pasar lokal dan tidak boleh langsung kepada petani sebagaimana pedagang pengumpul pasar lokal selama ini lakukan.
Dengan demikian, bila hal ini benar-benar terjadi maka pasar lokal kita bisa tetap bertahan dan pedagang mikro-kecil tetap terserap dalam pasar mereka, pasar rakyat.
Pasar Terong, 22 Juni 2009

0 komentar: