Selasa, 25 Januari 2011

Meminjam Untuk Meminjam

Oleh; Gideon Lebang

Siang itu, di Jalan Pacerakang, di pasar lama, matahari sangat terik membakar kulit tidak seperti beberapa hari kemarin. Sengatannya bisa dirasakan sampai menembus jaket yang sudah sedari tadi basahnya karna keringat yang menyerap, tidak tau jalan keluar sehingga meninggalkan kelembapan hampir di sekujur tubuh. Belum lagi hilir mudik kendaraan roda dua dan empat yang tidak pernah berhenti menghiasi jalan-jalan yang sejak beberapa bulan lalu sudah ber-beton yang katanya ini hasil kerja keras dari anggota dewan terpilih pada basis pemilihan ini di pemilu legislatif kemarin.

Saya tidak tau dan begitupun mama’ Anis yang sudah sekitar 10 tahun menjual disini. Yang dia tau, pada saat pembangunan jalan beton, dia bersama pamejang ( pedagang yang memakai meja tapi lebih kecil)  lainnya sering bermain kucing-kucingan dengan petugas keamanan yang biasa berpatroli di area sekitar pasar ini. Karna mama’ Anis dan pamejang lainnya menggelar dagangannya di sepanjang pinggiran jalan pasar, yang menyebabkan pengerjaan jalanan beton terhambat sehingga memacetkan jalan pasar. \ Mereka merupakan pedagang kecil yang tidak bisa menyewa lapak atau meja permanen yang berada di dalam pasar.

Pernah suatu ketika, pada bulan november tahun kemarin, mama’ Anis dan pamejang lainnya, lari terbirit-birit dikarenakan sampadang (pekerja bangunan) memburu mereka dengan balok. Ini memang menjadi suatu resiko yang kerap kali mama’ Anis rasakan, tetapi demi menghidupi keluarga dengan sepuluh orang anak dan suami yang sakit-sakitan, realita itu harus dihadapi.

Untuk sekedar mempertahankan hidup, mama’ Anis seringkali meminjam uang kepada koperasi, yang besarannya tergantung kondisi dan kebutuhan hidup. Baru-baru ini dia meminjam dua juta rupiah untuk menutupi pinjaman dagangannya yang sudah tenggat waktu pembayaran serta biaya sekolah anaknya. Dan pembayaran dilakukan dengan cara mencicilnya 24.000 perhari sampai lunas. “mau mi di apa, kita kodong orang susah, kalau tidak begini mi mau ki makan apa. Kalau anak mau mi bayar uang sekolah na tidak ada uang, pinjam mi ki kesana kemari, nah na pinjami ji ki orang itu kalau kerja ki, nah kalau tidak kerja ki tidak na pinjami ki uang orang”.

Rata-rata pamejang-pamejang non-permanen yang berada di pinggiran jalan pasar,  mengambil barang dagangan dari orang-orang dalam daerah dan luar daerah yang tiap hari datang memakai mobil. Sistemnya titip-jual. Kalau ada laku dibayar, kalau tidak tinggal dulu. Yang busuk menjadi tanggungan si penitip. Sistem ini memang menjadi ciri khas pasar lokal dan sudah berlangsung lama. Kepercayaan menjadi modal utama dari sistem ini.

Hidup di kota besar seperti di Makassar , uang 1000 rupiah menjadi suatu yang tidak berharga. Tapi bagi keluarga mama’ Anis, ini menjadi harga yang sangat berarti untuk pedagang yang sehari harinya menjual lombok, tomat, dan kebutuhan dapur lainnya tersebut. Mama’ Anis menjadi satu satunya tulang punggung keluarga saat ini setelah suaminya beberapa tahun terakhir terkena penyakit gula yang mengharuskannya istrirahat dirumah. Paling kalau kondisi suaminya lagi baik, biasanya dia membawa ojek atau menjadi buruh upahan untuk mengantarkan es balok pesanan penjual-penjual ikan. Tapi ketika kondisinya buruk, biasanya anaknya yang laki-laki menggantikan ayahnya untuk meng-ojek. Itu sebelum dia malu karna ditertawai oleh teman sekelasnya.

 Anak mama’ Anis ini masih duduk dibangku SMA tapi ini merupakan pencapaian tertinggi dibandingkan anak-anak sebelumnya yang sekolah sampai SMP saja. “itu saja na cukupmi, mau ka kasi sekolah anak ku kodong tapi tidak ada biaya, jadi anak-anak ku sebelumnya mengerti tong mi kodong. Ada mi kerja di kima di bagian pabrik udang, yang cewenya menikah semua mi. tapi biasa tongi masi ku kasi uang ojek na’ biasa ta’ sepuluh ribu, nah memang gajinya kadang tidak cukup tongi kodong”.

Saya pikir mama’ Anis dan pamejang lainnya tidak dipungut biaya selain daripada retribusi kebersihan yang memang harus dibayarkan kepada pemerintah berwenang. Karna selain hanya menempati pinggiran jalan pasar, tempat menjualnya juga tidak permanen seperti pedagang yang berada di dalam pasar. Jadi ketika aktifitas menjual selesai, meja yang di pakai akan dibongkar kembali dan disimpan di bawah meja permanen milik pedagang lainnya. Sehari-hari mama’ Anis menjual dari jam 08.00 – 20.00, tetapi kalau pembeli ramai biasanya sampai jam 10 malam.

Harga sewa yang harus dibayar mama’ Anis perbulannya 150 ribu dan itu dibayarkan kepada H. Duding, pemilik tanah dan sekaligus pedagang barang campuran yang kiosnya sekaligus dijadikan sebagai rumah. Ada sekitar 20 bahkan lebih pedagang yang menyewa lokasi, meja dan lapak kepada H. Duding. Dengan harga sewa dan kontrak yang bervariasi tergantung dari lokasi dan luas tempat berjualan.

Pasar lama di jalan Pacerakang ini memang lokasinya bukan dikelola oleh pemerintah seperti pasar-pasar resmi atau darurat lainnya, tetapi berada di tanah pribadi. Jadi pengelolaannya dilakukan oleh H. Duding dan pemilik-pemilik tanah yang pedagang menyewanya. 

Hidup seperti mama’ Anis juga sama dirasakan oleh mama’ Nisa. Dengan sepuluh orang anak dan suami yang sudah tidak bisa bekerja lagi maka mama’ Nisa praktis menjadi tulang punggung keluarganya. Walaupun sudah usur, tetapi dia masih cekatan untuk melayani langganan yang memang tiap hari datang mencari ikan kering serta pallu ce’la (ikan masak yang dibumbui dengan kunyit ditambah bumbu lainnya) yang menjadi jualan khas mama’ Nisa lebih dari 20 tahun tersebut. Badannya yang kurus kecil dengan urat-urat tangan yang hampir keluar menembus kulit menandakan mama’ Nisa adalah seorang pekerja keras sejak masa mudanya. Mama’ Nisa juga pamejang, sama dengan mama’Anis dengan ukuran meja berkisar 80 x 60 cm. Disitulah, di mejanya, aneka macam ikan kering terhampar bak tempat pembantaian massal.

Anak-anak mama’ Nisa sudah ada yang sudah bekerja dan berumah tangga, tetapi hidup mereka pun pas-pasan sehingga mama’ Nisa tidak jarang pula memberikan mereka uang sekadarnya. Jangan kan untuk membeli barang-barang semisalnya pakaian atau hal lainnya, beras yang mereka makan pun sering kali di pinjam. Biasanya satu atau dua liter perhari, dengan harga 7500/liternya. Memang banyak sekali tukang kredit yang berkeliaran di sekitar pasar. Ada pribadi, koperasi dan semuanya memiliki bunga berbeda-beda tergantung pinjaman dan waktu pembayaran. Bukan hanya uang atau barang-barang rumah tangga, beras dan kebutuhan dapur pun bisa di kredit lewat tukang kredit ini. Pembayarannya tergantung dari kesanggupan dari si peminjam, kalau sudah ada uang yah dibayar, kalau belum ditunda. Tapi karna kepercayaan yang harus tetap terjaga antara si peminjam dan pemberi pinjaman maka seringkali peminjam melakukan cara gali lobang tutup lobang. “ biasa tongi kodong kupinjam beras dari orang, satu liter, dua liter nanti pi ada uang ku kubayar ki, biasa tongi tidak ada uang ku bayar kodong jadi besok pi lagi. Ada pi uang ku baru kubayar ki”. “Meminjam untuk meminjam” begitu istilah yang dipakai mama’ Nisa untuk sekedar bertahan hidup dari ketidak cukupannya.

Lain halnya dengan yang dialami oleh mama’ Marwah. Walaupun sama-sama pamejang dengan kehidupan yang pas-pasan tetapi ibu yang satu ini sangat kritis melihat pemerintah dan anggota dewan. Menurutnya, selama ini pemerintah kota dan anggota dewan Makassar kalau berbicara memakai dengkul bukan otaknya. Mereka tidak pernah melihat nasib rakyatnya  dan hanya kepentingan pribadi saja yang dipentingkan. Yang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin, seperti lagu Rhoma Irama saja, tambah ibu yang pernah kuliah di Universitas Cokroaminoto di Makassar ini. Mama’ marwah juga mempertanyakan tentang sering terlambatnya petugas kebersihan yang bertugas di pasar lama. Karna tempat berjualannya tepat berada di samping tempat pembuangan sampah yang bisa sampai berhari hari tidak diangkut, maka mama’ Marwah mempertanyakan retribusi yang sudah dibayarkannya. “ tiap hari ku bayar ini 1000 rupiah untuk sampah tapi semestinya yang kita bayar pedagang cuma 3000 rupiah per minggu. Dimana selisihnya 4000 rupiah, yah masuk dikantongnya pemerintaiya ka”.

Akibat dari keterlambatan petugas kebersihan itu, tomat-tomat mama’ Marwah dan dagangan lainnya jadi tidak laku. Walaupun sering kali dilarang oleh suaminya untuk bicara-bicara mengenai pemerintah, tapi mama’ Marwah tidak takut. Bahkan pengakuan dari mama’ Marwah, dia punya kenalan di KPU dan wartawan kalau ada yang mau peras-peras dia dan pedagang disini.

Kisah-kisah pedagang kecil yang berada di pasar lama untuk sekedar bertahan hidup memang berrmacam-macam. Demi keluarga dan demi eksistensinya mereka rela bangun subu hari, pulang tengah malam, berlama-lama di bawah terik matahari, menahan tusukan udara yang dingin, berkejar-kejaran dengan petugas, menahan kantuk yang mendera, lapar, himpitan penagih utang, bau yang menyengat, becek dan tidak jarang tersenggol oleh desak-desakan kendaraan yang berlomba untuk maju. (Sekali lagi) semuanya itu untuk alasan bertahan hidup.

Masih adakah niat pemerintah yang murni mengakomodasi kebertahan hidup mereka. Ataukah hanya kepentingan investor untuk merealisasikan konsep Makassar sebagai kota dunia dan revitalisasi sebagai metodenya. Meminjam dan meminjam (sekali lagi) meminjam dan meminjam adalah metode dan cara terampuh untuk mama’ Anis, mama Nisa dan puluhan pedagang (bukan hanya) di pasar Lama untuk bertahan.



0 komentar: