Jumat, 14 Januari 2011

Menerka Harapan Hidup di Daya

Oleh; Taufiq Manji

Memasuki halaman mesjid dengan niat untuk memarkir motor, tepat disebelah kanan kami sebuah gardu kecil tempat pemungutan retribusi bagi pengunjung pusat niaga daya. Salah satu pasar lokal resmi menurut data perusahaan daerah (PD) Makassar raya. Tidak terlalu penting berceloteh mengenai tampakan kami bertiga, karena bukan itu maksud dari coretan ini. Sedikit bercerita mengenai kondisi pasar yang orang sekitar sebut dengan pasar baru. Sesuai namanya  pasar ini memang merupakan perpindahan dari pasar lama di jalan paccerakkang daya sesuai dengan kebijakan pemerintah kota Makassar pada tahun 1999. Pusat niaga daya memang merupakan satu-satunya pasar lokal resmi di Makassar yang mengadakan pungutan biaya sebesar Rp.500,00 bagi setiap pengunjung yang hendak memasuki area pasar. Kebijakan ini sejak awal telah digalakkan oleh Kalla Inti Karsa (KIK) sebagai pengelola yang telah dibebani kepercayaan  oleh Pemkot Makassar untuk mengurusi pasar ini.

Ratusan besar pedagang pasar lama akhirnya membeli kios yang tersedia di pasar baru sejak perpindahannya, namun tidak sedikit pula yang bertahan menjajakan jualannya di sepanjang jalan paccerakkang. Terbukti misalnya Pak hasan yang sejak tahun 1974 tetap bertahan menjadi pengusaha air galon hingga saat ini. Pak Hasan adalah satu-satunya pedagang yang kami temui di sepanjang jalan paccerakkang sebelum menuju PND ini. Pak Hasan membagi sedikit ceritanya mengenai Biringkanaya lama yang beliau tempati
“Dulu masih masuk Maros ini.” Kelakarnya sembari menghembuskan asap rokok yng dihisapnya.
Kecamatan ini memang dahulu masuk dalam region Kabupaten Maros, hingga akhirnya pada masa Walikota Makassar pada waktu itu Daeng Patompo melakukan invasi dan akhirnya menamai daerah barunya dengan Biringkanaya.

Mengarahkan pandangan ke sebelah utara bagian pusat niaga daya, kami menemukan jalanan aspal yang sebagian besar telah berwarna coklat akibat air hujan yang menggenangi banyaknya lubang. Berjalan menyusuri jalanan  becek di tengah guyuran gerimis, ruko berlantai dua berbaris di kanan kami, sebagian besar dari ruko tersebut memajang beberapa barang kebutuhan rumah tangga. Memasuki barisan kios disebelah kiri, kami menyusuri barisan pedagang pakaian dan akhirnya berujung di kios yang menjajakan perkakas dapur. Blok F nomor 9 itulah dimana Pak Rasib mencoba mencari peruntungan hidup seperti para pedagang lainnya. Pembicaraan bermula dengan maksud kedatangan kami, dan kawanku beranjak dari tempat itu dengan maksud mencari kios yang berbeda.

“Dari tahun berapa ki’ disini?”  tanyaku melanjutkan pembicaraan sembari bersandar pada ember besar jualan pak rasib.
“Adami mungkin 9 tahun, jadi sekitar 2002 itu.” Jawab pak Rasib berpangku tangan.
Begitulah pak Rasib, ditahun kesembilannya berjualan di pusat niaga daya. Penghasilan bersih sehari kurang lebih Rp.100.000,- terasa berat bila dibandingkan dengan kebutuhan melunasi cicilan harga kios yang dia tempati sebesar 50 juta rupiah setiap 25 tahun, belum lagi dengan beban biaya lain seperti retribusi kebersihan dan keamanan yang ditagih kala matahari berada tepat diatas kepala oleh para pekerja KIK. Kenyataan yang sungguh telah menjadi lazim untuk para pedagang lokal di negeri ini. Kemampuan memikat pasar modern yang semakin cerdik dalam menjemput pelanggan, membuat kekuatan pasar lokal terus mengendor kehilangan pengunjung. Terbukti dari perjalananku menyusuri tiap blok di areal pasar suasana sepi terpampang, yang tertinggal hanya para pedagang yang sedang asyik merapikan jualannya dan ada pula yang sekedar duduk sambil mengajak para pengunjung untuk membeli dagangannya.

Kios pak Rasib yang dibuka sekitar pukul enam pagi hingga pukul enam petang itu, hanya berukuran 2x2 meter. Terlihat beberapa barang dagangan menumpuk dengan maksud menghemat ruang sempit yang tersedia. Parit kecil yang mengitari tiap blok di pasar ini juga melintasi rukonya. Terlihat tidak terurus dengan tumpukan sampah yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengelola. Teruntuk pemegang hak kelola pasar, kondisi ini bisa saja menimbulkan pertanyaan mengenai kemana larinya uang retribusi keamanan dan kebersihan yang ditagih sebesar dua ribu rupiah tiap harinya.
“Kita juga pusing ini, ditambah lagi mau muncul pasar grosir.”sambung pak Rasib bercerita mengenai kendala yang dihadapi para pedagang.
Memang begitulah wacana yang timbul sehari-hari ditengah persoalan lain yang dihadapi oleh pedagang. Sejak beberapa bulan yang lalu wacana pasar grosir yang akan dibangun sekitar area PND merebak dan menimbulkan kebingungan di tengah pedagang. Mereka memperkirakan sebuah kondisi yang semakin sepi di pasar mereka. Setidaknya itu yang diceritakan oleh ibu Rahma, yang juga pedagang di blok F dekat dari kios pak Rasib. Ibu yang menjajakan permainan anak-anak ini juga bercerita mengenai pernahnya ada niatan para pedagang PND untuk berunjuk rasa menolak pembangunan pasar grosir tak jauh dari area PND.
“Pernah mau ada demo disini, tapi tidak tahu kenapa tidak jadi itu hari.” Terang ibu Rahma.

“Ada itu di depan namanya pak Sangkala, pernah mau pangggil pedagang untuk demo.” Sambung ibu Rahma sambil menunjuk ke arah pamflet calon anggota DPRD PEMILU 2009. Penjelasan itu membuatku penasaran untuk segera mencari pak Sangkala. Menelusuri lorong blok F yang sempit akhirnya saya menemukan toko Andalus, setelah bertanya dengan beberapa pedagang mengenai keberadaan kios pak Sangkala. Kios pak Sangkala ini dari luar terlihat besar dan pastinya berukuran lebih dari 2x2 meter. Saya pun memberanikan diri untuk menemui seorang ibu yang duduk tepat dihadapan meja, yang sepertinya dijadikan sebagai meja kasir.

“Kiosnya pak Sangkala ini? Tanyaku setelah memberi salam.
“Iya, saya istrinya” jawab ibu tersebut. Ternyata pak Sangkala jarang berada di tempat, beliau seorang pengacara yang hanya sesekali hadir di pasar ini. Ibu Rahmawati yang ramah ini akhirnya mulai melanjutkan ceritanya mengenai keseharian suaminya. Saya pun seseringkali menyela cerita itu dengan penjelasan maksud kedatangan kami di pasar ini. Masuk ke PND sejak tahun 1999 ibu ini membanggakan dirinya yang sudah dua kali berhaji dari hasil dagangannya. Berbeda dengan pak Rasib dan ibu Rahma di blok F, ibu Rahmawati merupakan salah satu pedagang yang berpindah dari pasar lama.
“Pas pindah pasar, langsung kesini ma’ juga. Iyah, tahun 99 itu” sambung ibu berjilbab hitam ini bercerita mengenai kepindahannya.
Saya pun mulai mencari tahu mengenai ukuran kios beliau, hingga akhirnya kudapatkan penjelasan bahwa kios yang dimilikinya sebenarnya berjumlah tujuh petak. Kami pun menghabiskan cerita mengenai persoalan pasar yang dihadapi para pedagang. Beliau mengeluhkan tentang retribusi yang harus dibayar pengunjung tidak sebanding dengan kondisi pasar yang lebih banyak digenangi air ketika hujan.Hingga salah satu kawanku terlihat berdiri di depan toko, saya pun memanggilnya masuk. Saya pun memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi pasar tersebut.

Pasar Grosir yang sedianya akan dibangun ternyata telah memberikan banyak pertanyaan dikalangan pedagang. Sebagian dari mereka berlagak pasrah, namun ada pula yang sekedar berceloteh setidaknya untuk menumpahkan kekesalan. Usut cerita, ternyata di awal cerita sejak kepindahan pasar lama daya ke pasar baru. Para pedagang sebenarnya telah diberi gambaran oleh pihak pengelola tentang tidak akan adanya pasar lain yang diperbolehkan berdiri di sekitar area daya. Pernyataan pimpinan KIK pak Subhan itu terus diingat oleh para pedagang. Namun pada kenyataannya justru kabar mengenai pasar grosir akhirnya tersebar dari mulut ke mulut. Bahkan ibu Rahmawati sesumbar menyatakan bahwa sudah ada penandatanganan kesiapan pembangunan pasar baru yang rencananya oleh Pemkot akan dijadikan sebagai pusat grosir terbesar di Makassar.  Tinggal menunggu waktu, para pedagang berharap cemas mengenai nasib mereka ketika pembangunan pasar grosi ini telah rampung. Perkiraan ibu Rahmawati bahwa pasar grosir tersebut akan rampung pada tahun 2012, maka sedikit demi sedikit pula jumlah pengunjung pusat niaga daya akan terus menciut. Ditambah lagi bila pemerintah kota bertingkah kurang perhatian  terhadap PND yang sejak akhir 90-an telah menghidupi perekonomian masyarakat sekitar.  

0 komentar: