Kamis, 13 Januari 2011

MENGAPA HARUS PASAR LOKAL?

Tema kesejahteraan tentu bukan perdebatan baru dalam perjalanan Indonesia. Sejak mulai munculnya kesadaran dan gerakan-gerakan yang mempertanyakan dominasi korporasi VOC dengan segala perangkatnya, saat itu juga kesejahteraan masyarakat pribumi sudah menjadi perhatian. Sejak itu pula berbagai cara ditempuh untuk mewujudkan kesejahteraan yang dimaksudkan, paling tidak dari segi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Saat ini, perdebatan kesejahteraan masyarakat masih terus bergulir dengan berbagai perubahan tentang ukuran kesejahteraan itu sendiri, bahkan terkadang menjadi jualan laris dalam proses-proses politik. Lantas posisi kita dalam perdebatan kesejahteraan ini dimana? Apakah terbatas pada tataran menemukan ukuran-ukuran kesejahteraan itu sendiri sesuai dengan lokalitas, atau sampai pada gerakan (action)dalam mendorong pencapaian kesejahteraan itu sendiri sesuai dengan indikator-indokator yang akan digunakan nantinya.
Active Society Institute (AcSI), dalam hal ini menganggap bahwa rencanaassessment yang akan dilakukan secara bersama-sama melalui -meminjam istilah tim perumus PWDepistemic community, tidak sekedar menemukan indikator kesejahteraan ala Indonesia, lebih dari itu, setiap anggota jaringan harus mengupayakan secara bersama-sama proses pencapaian kesajahteraan itu sendiri di masyarakat ataupun komunitas yang menjadi area kerja masing-masing anggota. Jika mengacu pada perlunya keberpihakan tersebut, maka sasaran program yang akan dilaksanakan sudah harus jelas dari awal, berikut dengan pelbagai pertimbangan sumberdaya yang dimiliki setiap anggota jaringan tentunya. Masyarakat mana yang menjadi konsentrasi kerja dalam upaya peningkatan kesejahteraan tersebut.
Dalam pelaksanaan workshop Power, Wealth and Democracy di Makassar, utusan dari AcSI (Sunardi Hawi), sudah memberikan gambaran secara singkat tentang salah satu sektor penopang ekonomi rakyat yang selama ini tidak mendapatkan penanganan serius di negara ini, khususnya di Makassar, yakni pasar lokal.[2]
Belajar dari pasar Terong
Pasar Terong adalah satu dari sekian puluh pasar lokal yang ada di Makassar, sekaligus menjadi sentrum bagi beberapa pasar lokal lainnya. Beberapa jenis pasokan barang dagangan, seperti buah-buahan dan sayur-mayur, oleh pedagang pemasok dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan memasarkan barang dagangannya melalui pasar ini.[3]
Pasar Terong dinamai sesuai dengan salah satu nama jalan yang menjadi area pasar ini. Pasar yang ini lahir dari swadaya masyarakat di tahun 1960an, pengelolaan pasarpun berada di tangan para pedagang itu sendiri. Pasar Terong muncul seiring dengan situasi keamanan di Sulawesi Selatan yang masih dipusingkan dengan pemulihan keamanaan akibat dari gerakan perlawanan Kahar Mudzakkar cs terhadap pemerintah pusat. Singkatnya, pasar Terong saat itu menjadi pilihan bagi masyarakat yang memilih hijrah kekota karena kesulitan perekonomian serta ancaman keamanan. Pasar Terong juga menjadi salah satu pemeran utama dalam siklus perekonomian masyarakat.
Semakin membaiknya keamanan nasional turut mempengaruhi tata pengelolaan pemerintahan yang berdampak pada banyaknya perubahan, termasuk keberadaan pasar Terong. Pasar Terong berpindah tangan ke pemerintah kota setalah mengalami kebakaran di tahun 1970an. Sejak itu, pasar Terong sudah harus mengikuti cara main pemerintah kota hingga kini. Aturan main pengelolaan pasar perlahan beralih dari sistem yang terbangun berdasarkan kesepakatan pelaku pasar kependekatan manajerial ala moderenisme. Berbagai aturan yang bisa menambah kas daerah juga diberlakukan, dari retribusi parkir, kebersihan, sampai penyewaan tempat berjualan (lapak ataupun kios).
Memasuki tahun 1990an, tepatnya 1997, pemerintah kota kembali mengambil kebijakan yang menjadi masalah besar hingga kini. Memasukkan aktor ketiga dalam pasar, yakni pelaku usaha properti. Walhasil, pasar Terong di”sulap” menjadi pasar lokal menyerupai mall, yang kini berdiri nyaris tidak berguna. Pedagang tetap memilih berjualan dipinggiran bangunan utama karena lebih menjamin keberlanjutan usaha mereka. Mahalnya harga sewa yang ditetapkan juga menjadi alasan lain, dan tentu saja untuk memudahkan konsumen menjangkau mereka. Walhasil, pihak pemerintah, investor gedung, serta pedagang saling melemparkan kesalahan. Walhasil pula, polarisasi antar pelaku pasar lokal terjadi, bahkan terkadang berujung konflik fisik ataupun non-fisik.
Makassar menuju kota dunia. Inilah yang terus digembor-gemborkan pihak otoritas Makassar saat ini. Pembangunan yang berorieantasi kepada simbol-simbol kemegahan moderenitas terus terjadi. Pusat-pusat perbelanjaan menjadi tumbuh subur seiring dengan upaya “penghilangan” pasar lokal, dan sebagai pelengkap, iming-iming penyerapan tenaga kerja menjadi “pemanis”. Padahal sejauh ini, pemerintah tidak pernah menjelaskan dengan rinci jumlah tenaga kerja yang bisa diserap dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja yang ada di pasar lokal. Serta keterbatasan segmen rekrutan di pusat-pusat perbelanjaan tersebut, lulusan sekolah menengah ke atas adalah syarat mutlak, sesuatu yang tidak dipertanyakan dipasar lokal, seperti juga pasar Terong.
Pasar Terong pelakunya didominasi masyarakat dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan yang kini sudah menetap di Makassar.[4] Oleh karena itu interaksi di pasar Terong sedikit banyak akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, serta kebiasaan (culture) dari pelaku pasar itu sendiri. Baik dalam sistem jual-beli ataupun interaksi lainnya selama berada dalam lingkungan pasar. Untuk itu pengelolaan pasar Terong sepatutnya memperhatikan keanekaragaman tersebut, begitu pula dengan pasar lokal lainnya di Makassar. Keragaman pelaku pasar inipula yang selama ini menjadikan pasar lokal lekat dengan berbagai citra negatif. Kekumuhan, pencopetan, pedagang liar, biang kemacetan serta aksi-aksi kriminal lainnya. Sesuatu yang sebenarnya juga kerap terjadi di pusat perbelanjaan moderen.
Pencitraan negatif terhadap pasar lokal ini kerap kali terjadi, dan secara tidak sadar sudah membentuk alam bawah sadar untuk menjustifikasi bahwa pasar lokal memang harus di tertibkan, penertiban dalam pengertian pemerintah tentu saja. Lantas, apakah semua hal-hal tersebut terjadi begitu saja, atau malah pengelolaan pasar juga berkontribusi banyak terhadap kejadian-kejadian tersebut?
Active Society Institute (AcSI) dalam hal ini menganggap bahwa permasalahan di Pasar Terong, sedikit banyak dipengaruhi oleh cara berpikir pemerintah yang memaksakan pengelolaan pasar Terong serupa dengan pasar moderen. Padahal pasar lokal seyogyanya tidak dipaksakan mengahadapi menjamurnya industri ritel, karena terdapat perbedaan besar yang tidak memungkinkan untuk menyandingkan keduanya, apalagi untuk membuatnya bersaing. Kebiasaan berbelanja konsumen dipasar lokal tentu tidak se”rapi” dengan konsumen dipusat perbelanjaan moderen, penataan tempat berjualan juga demikian.
Kemampuan pedagang dalam permodalan dipasar lokal juga sangat bervariatif, bahkan terkadang mengalami ketimpangan dalam ukuran tertentu. Beberapa pedagang bahkan masih ada yang mengandalkan sistem titip jual, dan bermodal kepercayaan kepada pedagang pemasok dalam mendapatkan barang dagangan yang pembayarannya akan dilakukan pada sore hari atau keesokan harinya. Oleh karena itu, pengeloalaan pasar lokal dalam hal ini memerlukan pendekatan yang tepat dalam pengelolaannya.[5] Hal ini akan terwujud jika semua komponen yang terlibat didalam pasar bersedia untuk saling mengkompromikan keinginan masing-masing.
Menata pasar Terong yang bisa sejalan dengan kebiasaan pelaku pasar, baik dalam penentuan dan model lokasi berjualan serta perilaku konsumen itu sendiri, tidak hanya berdampak baik pada pedagang itu sendiri. Tetapi juga akan menjaga rantai pemasaran hasil pertanian yang menjadi tumpuan ribuan kepala rumah tangga selama ini. Dalam salah satu program Active Society Institute, Assisambung Kana (Makassar; menyambung kata), terlihat dengan jelas betapa para pelaku pasar tidak memiliki keharmonisan dalam pengelolaan pasar Terong. Pengelolaan tersebut adalah masalah penataan lapak pedagang, tempat parkir kendaraan, tempat bongkar-muat barang, sistem pembayaran kios, drainase, serta fasilitas publik lainnya seperti wc umum.
Pemerintah, serta penyewa gedung masing-masing memiliki pandangan sendiri dalam mengelola pasar dan parahnya dalam pengambilan keputusan selalu bersifat top-down yang tidak menguntungkan bagi pedagang, khususnya para pedagang kecil. Dari pengkauan pedagang, mereka pada dasarnya bersedia untuk menata lapak mereka, akan tetapi selama ini metode yang digunakan pengambil keputusan yang langsung melakukan penggusuran tidak disetujui oleh mereka. Sebagai contoh, pedagang yang menempati jalan poros Terong, yang selama ini dianggap sudah menghambat jalur kendaraan dan merusak keindahan, bersedia untuk dibuatkan lapak yang lebih rapi, tapi kesepakatan tersebut tidak mendapatkan tindak lanjut, padahal pedagang sudah memindahkan barang dagangan mereka untuk memberi kesempatan pada pengelola melakukan pengerjaan.
Dari kasus-kasus seperti ini, maka patut dipertanyakan mengenai keinginan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat. Padahal pengelolaan yang tepat terhadap pasar lokal akan memberikan peluang yang lebih baik kepada para pedagang termasuk orang-orang yang mengambil bagian dalam kehidupan pasar, tukang becak, jasa angkut barang, pengemis dan yang lainnya. Selain itu transparansi dalam pengelolaan keuangan yang selama ini bersumber dari kehidupan pasar menjadi penting untuk diperhatikan. Mengingat pengelolaan kebijakan, seperti kebersihan sangat buruk dipasar lokal, padahal setiap harinya pedagang mengeluarkan retribusi untuk biaya kebersihan pasar. Dengan pengelolaan secara transparansi, juga akan meminimalisir keterlibatan pihak-pihak yang selama ini mengambil keuntungan dari kesemrawutan pengelolaan pasar Terong.[6]
Metode Penelitian
Etnografi Kebijakan
Sebuah implementasi kebijakan tidak selamanya dapat diukur secara kuantitatif. Sebaliknya, praktek kebijakan dapat ditelusuri lebih mendalam melalui perhatian atas pelaksanaannya sehari-hari. Sebagai contoh, para pedagang di pasar Terong merupakan pihak yang terkena langsung beberapa kebijakan pemerintah, seperti aneka kebijakan retribusi pasar yang peruntukannya untuk kebersihan/sampah, tempat berjualan, larangan berjualan di jalan, parkir, persaingan usaha, penentuan harga, perbankan, hingga kebijakan untuk menggusur mereka dan sebagainya. Mereka, para subjek pajak dan retribusi ini kemudian bersentuhan langsung dengan aparat pemerintah hingga level terbawah seperti para penangih retribusi itu. Para penagih ini setiap hari berjalan dari kios satu ke kios lainnya, dari meja pedagang yang satu ke meja lainnya, hingga kepada pedagang yang hanya beralas tikar ke tikar berikutnya, setiap hari secara terus menerus. Dalam kasus penggusuran, para pedagang akan berhadapan dengan lebih banyak lagi aparat pemerintah, mulai dari lurah dan staf kelurahan lainnya, camat dan staf kecamatan lainnya, polisi dari kesatuan terendah, hingga satuan polisi pamong praja yang statusnya bahkan belum resmi sebagai pegawai negeri sipil.
Interaksi hari demi hari antara warga Negara dan pemerintahnya memiliki dinamikanya yang tidak bisa digambarkan dengan sekumpulan angka. Tidak dapat dilihat di sana bagaimana keresahan pedagang setiapkali kebijakan pemerintah diterapkan, bagaimana kesulitan aparat pemerintah setiap kali harus berhadapan dengan pedagang yang marah karena tidak ada pembeli, dan bagaimana perilaku aparat pemerintah di atas mereka yang mengumpulkan uang jutaan perharinya itu dibawa dan didistribusikan kepada atasan mereka di perusahaan daerah pasar Makassar Raya, atau bahkan bagaimana keresahan mereka dengan preman pasar yang juga menarik ‘retribusi’ di area di mana seharusnya mereka memungut pundi Pendapatan Asli Daerah.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menelusuri pengalaman penerapan kebijakan itu adalah etnografi kebijakan. Pada dasarnya metode ini adalah metode penelitian antropologis, yakni etnografi namun fokusnya adalah pada kebijakan tertentu. Secara teoritis, etnografi kebijakan adalah sebuah pendekatan dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk melihat detail pelaksanaan sebuah kebijakan publik dengan menggunakan prinsip-prinsip riset etnografis. Etnografi secara mendasar adalah sebuah kajian kebudayaan untuk mengungkap makna dibalik peristiwa sehari-hari. Metode ini memiliki peran penting dalam membangun sikap positif sebagai acuan melakukan refleksi yang memungkinkan beberapa ragam pandangan dari orang-orang yang hidup dalam lingkup peristiwa dimaksud di mana sebuah kebijakan diterapkan.
Menurut Travers, ethnography dipahami sebagai sebuah proses induktif dengan kombinasi pengamatan, wawancara mendalam, dan analisa dokumentasi guna mendalami fenomena sosial tertentu, dalam hal ini dapat digunakan untuk mengkaji kebijakan pemerintah. (Travers, 2001; Flick, 2002). Sementara, etnografi kebijakan menurut Griffiths dan Hughes, 2000 dan Exworthy dkk, 2002, adalah sebuah pendekatan untuk melihat detail penerapan kebijakan dengan satu fokus kajian (misalnya kebijakan pasar lokal). Tujuannya adalah menyediakan data pengamatan yang detail atas pelaksanaan kebijakan publik yang dapat digabungkan dengan data dari survey (Griffiths and Hughes, 2000: 211).
Hunter (2003a) menyatakan bahwa terdapat aspek yang sedemikian serius di mana seringkali terdapat pengabaian isu-isu yang berkaitan dengan apakah dan bagaimana sebuah kebijakan dapat secara efektif diimplementasikan secara lokal dan apa saja yang menjadi kebutuhan dalam pengimplementasiannya. (“are serious, and often neglected, issues about whether, and how, national policy can be effectively implemented locally and what needs to be in place for this to occur” (op. cit.: 29). Lebih jauh, Hunter and Killoran (2004) menyarankan bahwa pihak-pihak pemangku kepentingan lain memberikan pandangannya dalam menjalankan kebijakan tertentu (op. cit.: 1). Ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode etnografi kebijakan, kita bukan hanya mampu melihat hari demi hari penerapan kebijakan itu untuk kemudian menemukan hal yang baik dan hal yang buruk dalam penerapannya, namun juga dapat melihat bagaimana para penentu atau pengambil keputusan itu bekerja (decision maker).
Riset Aksi Partisipatif (Participatory Action Research; PAR)
Metode PAR merupakan satu cara alternative dalam mengumpulkan data yang lazim dilakukan oleh para akademisi. Riset ini dilakukan dengang menggunakan pola emikketimbang etik. Para akademisi seringkali hadir dengan pola etik di mana mereka melakukan penelitian dengan seperangkat teori dikepalanya dan bermaksud mengujinya pada sekelompok masyarakat dan lalu melakukan sebuah generalisasi atas fenomena yang mereka teliti.
Sementara pola emik lebih menempatkan peneliti sebagai pihak yang datang dan hadir di tengah komunitas (subyek riset mereka) dan mendengarkan banyak informasi dari sedemikian banyak informan. Ia tidak menggunakan seperangkat teori yang mungkin sudah diketahuinya, namun ia membuka diri pada banyak suara dari subjek penelitian dan kemudian merekonstruksi pengetahuan itu menjadi kerangka teori baru atau unik. Dalam metode riset aksi partisipatif, proses ini berjalan secara simultan antara peneliti dan informan mereka, bahkan bersama melakukan analisa atas rentetan asumsi dan mencari jawaban atas masalah yang dihadapi dalam bentuk aksi. Jadi, peneliti hadir tidak sepenuhnya objektif, malah mungkin subjektif atau berpihak pada orang-orang yang secara bersama melakukan penelitian. Bagi peneliti yang menggunakan metode ini, keberpihakan adalah mutlak. Mereka berpihak pada orang-orang (baca subjek riset) untuk melakukan aksi bersama yang disepakati bersama setelah sebelumnya riset bersama.
Bila dilihat PAR sebagai sebuah proses, maka alur tersebut, kurang lebih dalam urutan sebagai berikut;
a. Mulai dari masyarakat sendiri,
b. Mengajak masyarakat berpikir kritis,
c. Melakukan analisis kearah pemahaman bersama,
d. Mencapai pengetahuan, kesadaran, dan perilaku baru,
e. Melakukan tindakan bersama,
f. Melakukan Evaluasi bersama untuk kemudian memulai kembali proses dengan tahapan yang lebih maju.
Hal ini sejalan dengan pandangan Wadsworth, Y (1998) dalam what is participatory action research? Menyebutkan bahwa “Essentially Participatory Action Research (PAR) is research which involves all relevant parties in actively examining together current action (which they experience as problematic) in order to change and improve it. They do this by critically reflecting on the historical, political, cultural, economic, geographic and other contexts which make sense of it. … Participatory action research is not just research which is hoped will be followed by action. It is action which is researched, changed and re-researched, within the research process by participants. Nor is it simply an exotic variant of consultation. Instead, it aims to be active co-research, by and for those to be helped. Nor can it be used by one group of people to get another group of people to do what is thought best for them - whether that is to implement a central policy or an organisational or service change. Instead it tries to be a genuinely democratic or non-coercive process whereby those to be helped, determine the purposes and outcomes of their own inquiry.”
Dalam konteks pasar Lokal di kota Makassar, maka metode ini berarti melibatkan pedagang-pedagang pasar dalam memikirkan, merumuskan, dan mengambil tindakan terhadap apa yang telah mereka sepakati. Untuk itu, yang pertama kali perlu dilakukan adalah mengidentifikasi pihak yang akan terlibat untuk mengidentifikasi masalah dan memikirkan jalan keluar yang juga akan ditindaklanjuti secara bersama. Di pasar Terong telah terdapat komunitas yang mengorganisir ratusan pedagangdisana, seperti Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR). Mereka inilah yang berpotensi untuk menerapkan penelitian dengan metode PAR. Yang terpenting adalah duduk bersama berpikir dan bertindak.
***
Referensi
  1. Andrea Cornwall and Rachel Jewkes, “What is participatory research?” Social Science Medicine, 41:12, 1995, p. 1670.
  2. Flick, U. (2002) An Introduction to Qualitative Research, 2nd edition. London: Sage.
  3. Griffiths, L. and Hughes, L. (2000) “Talking contracts and taking care: managers and professionals in the British National Health Service internal market”. Social Science & Medicine, 51(2):209-222.
  4. Hunter, D.J. (2003a) “Public health policy”. In: Orme, J., Powell, J., Taylor, P.,
  5. Harrison, T., and Grey, M. (eds.) Public Health for the 21st Century: Newperspectives on policy, participation and practice. Open University Press, 15-30.
  6. Hunter, D.J. and Killoran, A. (2004) Tackling health inequalities: turning policy into practice. London: NHS, Health Development Agency.
  7. Travers, M. (2001) Qualitative research through case studies. London: Sage.
  8. Wadsworth, Yolanda. 1998. What is Participatory Action Research? Action Research International, Paper 2.

[1] Disampaikan sebagai usulan tertulis kepada tim penyusun Power, Wealth and Democracy sebagaimana yang disepakati dalam workshop di Makassar pada tanggal 14-17 April 2010.
[2] Penggunaan kata pasar lokal lebih dipilih dari pada pasar tradisional, karena penggunaan pasar tradisional sebagaimana yang sudah lazim digunakan selama ini, berpotensi menjebak kita dalam pandangan kaum moderenis yang menganggap, sesuatu yang masih tradisional harus dirubah sesaui dengan standarisasi yang ditawarkan oleh modernitas.
[3] Hasil-hasil pertanian dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan menjadikan pasar Terong sebagai tempat transit barang yang selanjutnya akan di salurkan lagi kebeberapa pasar lokal di Makassar, seperti pasar Kalimbu, pasar Pabaeng-Baeng, pasar Pannampu dan pedagang keliling. Penyaluran barang dagangan tersebut juga meliputi pengiriman antar daerah seperti pulau Jawa, Kalimantan, Nusa tenggara dan Timor Leste. Daerah pemasok yang dimaksud adalah kabupaten Enrekang yang banyak memasok bahan sayur-mayur seperti kentang, wortel, tomat atau Lombok. Sedangkan beberapa daerah lain, misalnya Polewali Mamasa (yang kini menjadi wilayah Sulawesi Barat), kabupaten Luwu banyak memasok jenis buah-buahan seperti durian, langsat, salak, atau jeruk manis dan jeruk nipis. Selain daerah tersebut, daerah pemasok juga mencakup kabupaten Maros, kawasan pegununangan kabupaten Gowa (Malino), serta kabupetan Takalar, Bantaeng dan Jene’ponto.
[4] Pelaku di pasar Terong, baik pedagang, buruh angkut, tukang becak, dll, pada umumnya berasal dari luar kota Makassar yang sebagian besar sudah menetap sebagai penduduk kota Makassar. Daerah asal mereka hampir dari seluruh kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka di pasar Terong, pada umumnya karena sumber pendapatan dianggap lebih menjanjikan ketimbang di daerah asal sendiri, dan awalnya hanya mengikuti anggota keluarga yang lebih dulu berjualan sampai mereka merasa sudah mampu menjalankan usaha sendiri.
[5] Salah satu contoh ketidakhati-hatian pemerintah dalam mengambil dan melaksanakan kebijakan dipasar lokal adalah sistem bantuan permodalan melalui usaha koperasi yang bersumber dari anggaran daerah. Di pasar Terong, pedagang lebih memilih menggunakan jasa pabbunga doi (rentenir) untuk meminjam modal karena kerumitan dalam proses untuk mendapatkannya. Hal lain misalnya pada penarikan retribusi, para pelaksana lapangan biasanya tidak menarik uang retribusi sesuai dengan yang sudah ditentukan dan melakukan kompromi dengan pedagang. Sebagai contoh, pedagang yang barang dagangannya dianggap tidak laris, maka ia akan membayar retribusi dibawah tarif standar dengan catatan tidak mengambil tanda pembayaran.
[6] Pengelolaan keuangan yang dihasilkan dipasar Terong selama ini tidak pernah ada kejelasan, namun hal itu tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, padahal akan berdampak pada penerimaan kas daerah. Hal ini misalnya terjadi pada penarikan retribusi kepada pedagang dengan tidak menggunakan bukti pembayaran, atau pada pengelolaan parkir yang ditangani oleh kelompok preman yang selama ini menjadi perpanjangan tangan pemerintah dan pemilik gedung ketika akan melaksanakan penataan paksa.

0 komentar: