Kamis, 13 Januari 2011

Nenek Kita dalam Aksi Pedagang Pasar Lokal

Oleh: Muslinah
Tulisan ini dibuat sehari setelah melakukan konvoi sekitar 500 pedagang dari berbagai pasar lokal di Makassar mengantar Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Lokal dan Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Moderen. kepada pimpinan Pansus (Panitia Khusus) yang sekarang sedang menggodok Ranperda tentang Pasar di Kota Makassar di DPRD Kota Makassar tanggal 13 Juli 2009.
Lembaran rambut putih yang tergulung dalam konde seadanya membuat saya terkesima. Dalam balutan sarung dan kaos oblong, mereka siap untuk ikut berkonvoi. Wajah keriput tidak mengurangi kecantikan mereka karena senyuman tulus di wajah. Mereka ibu-ibu (tepatnya nenek-nenek, mengingat usianya yang menurut saya kurang lebih 60 tahun ) pedagang di pasar Terong yang ikut berpartisipasi dalam konvoi bersama para pedagang menuju kantor DPRD Kota Makassar.
Hari ini tampak hadir juga Daeng Nur, perempuan berusia lima puluh lima, pedagang yang aktif memperjuangkan hak pedagang kecil di pasar Terong. Haji Nanna dan Haji Sri, Kepala sektor pada Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR), yang masing masing kurang lebih juga berumur 50 tahun, serta beberapa aktifis perempuan lain dari pasar Terong. Namun mata saya lekat pada 4 nenek yang hadir pagi itu.
Meski saya belum sempat berkenalan dan tahu nama, namun saya mengingat perawakan mereka dengan jelas. Nenek yang pertama, berusia sekitar 60 tahun, seluruh rambutnya berwarna putih karena uban, tinggi dan , mengenakan kaos oblong biru bergaris putih dan sarung. Di wajahnya terdapat dua lesung pipi sehingga membentuk wajah yang manis kala tersenyum.
Nenek yang kedua, umurnya sekitar 55 tahun, mengenakan songkok haji semacam penutup kepala bukan jilbab, memakai blus kembang warna cokelat dan sarung. Nenek yang ketiga, berusia sekitar 55 tahun, pendek, rambut sebagian putih karena uban, mengenakan blus lengan panjang cokelat hitam bermotif kembang dan sarung. Nenek yang keempat berusia sekitar 60 tahun, seluruh rambutnya berwarna putih karena uban, badannya kurus, mengenakan kaos oblong plus kain sarung.
aksi-damai-13-juli-09
Dalam hati saya bertanya-tanya, apa yang membuat mereka turut serta berjalan kaki sejauh lima kilometer di siang hari, sementara kekuatan fisik mereka tentulah tidak sekuat yang lainnya.
Keempat orang nenek ini pedagang di Pasar Terong, mereka mengambil barisan di tengah bersama rombongan para pembawa spanduk. Selama perjalanan, mereka tersenyum, tertawa dan bersenda gurau dengan peserta konvoi lainnya. Karena mengkhawatirkan kesehatan mereka, penanggung jawab aksi menawarkan mereka ikut di mobil yang mengangkut persediaan logistik. Tapi para nenek itu bersikeras jalan kaki, meski sesekali harus beristirahat dan menumpang kendaraan bermotor peserta yang mengiringi konvoi jika merasa kelelahan.
Dalam hati saya bertanya, mengapa nenek ini begitu bersemangat mengambil bagian dalam aksi hari ini? Mata saya kembali memperhatikan mereka. Meski dalam satu rombongan dengan nenek, saya terpisah puluhan orang sehingga agak sulit menghampiri mereka, sepertinya segera setelah sampai di titik aksi, saya akan menyapa nenek ini, pikir saya.
Sebenarnya sesampai di titik aksi, saya bergegas menghampiri para nenek itu, hanya saja mereka masih sangat antusias mengikuti susunan acara aksi. Tanpa melepaskan pandangan dari mereka dan menunggu selama dua jam, saya pun menghampiri mereka. Saya menanyakan ke salah satu dari mereka alasan berjalan kaki sejauh 5 kilometer, dari pasar Terong melewati jalan Urip Sumihardjo, Km.4 belok ke jalan A.P.Pettarani menuju kantor DPRD Kota Makassar,.
Aksi damai 13 Juli 2009
Si nenek hanya menjawab ringan, “kagassing inja’, siagang nia’ ngasengjako anak-anakku langngallea punna tu’guruka” (”saya masih kuat dan kalau pun saya jatuh di tengah jalan, pasti kalian anak-anak saya akan mengangkat saya”). Saya tertegun memikirkan jawabannya. Saya seketika sangat iri kepada si nenek. Mereka tidak peduli sebesar apa kontribusi yang mereka sumbangkan untuk perjuangan ini, namun semangat yang besar telah memberikan inspirasi bagi pedagang lain untuk senantiasa hadir dalam memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pedagang. Senyum yang sejak awal terulas di pipi, menyiratkan ketulusan mereka. Bahwa mereka datang mengetuk nurani para “pembela aspirasi rakyat” di Dewan, sehingga bersama para pedagang membantu memperjuangkan pasar Terong.
Perlu diketahui bahwa pasar Terong oleh Pemerintah Kota sebentar lagi akan disulap menjadi Mall Terong dan para pedagang, termasuk nenek itu, akan digusur sehingga kehilangan tempat berdagang.
Sejenak saya membayangkan prosesi hari ini. Ratusan pedagang telah hadir menyuarakan keinginannya yang tidak menyepakati apapun aturan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak memihak kepada pedagang pasar “tradisional”. Aksi yang serupa juga seringkali mereka adakan, dan juga berbagai kegiatan dan upaya lainnya telah ditempuh sehingga pihak yang berwenang mendengarkan mereka. Ratusan pedagang ini, termasuk keempat nenek yang saya ceritakan di atas.
Saya merinding dengan semua pertanyaan yang ada di benak, jika tidak karena kehidupan mereka di pasar yang terancam mati, mengapa mereka harus bersusah payah melakukan semua kegiatan ini? Jika rencana pembuatan mall akan mendapatkan manfaat yang besar bagi mereka, mengapa harus bersusah payah menolak pemerintah atas rencana tersebut? Dan jika pemerintah kota dan anggota DPRD kota punya sense of belonging kepada warganya, mengapa dialog begitu sangat susah untuk diadakan? Dan jika pedagang pasar Terong ini punya hak karena kewajiban sebagai warga pasar (yang menjaga kebersihan, berdagang dengan tertib, membayar retribusi, pungutan liar dan membayar sewa tempat) telah mereka penuhi, mengapa hak ini begitu susah untuk didapatkan?
Saya merinding bukan karena takut pada pengamanan yang ekstra ketat dari puluhan polisi yang berjaga, tapi karena upaya yang telah dilakukan oleh para pedagang ini untuk meyakinkan pemerintah mengembalikan pasar Terong sebagai pasar “tradisional” yang selayaknya. Dan kelak, jika mereka telah berhasil memperjuangkan hak sebagai pedagang, terbayang betapa manis senyum si nenek karena bahagia, betapa girangnya sorak sorai Daeng Lala dan anggotanya di Persaudaraan Pedagang Pasar Terong (SADAR), dan ratusan keluarga yang harus berterima kasih karena masih diberi kesempatan untuk menyambung hidup di pasar Terong.
Meskipun masih jauh dari cita-cita perjuangan, namun saya berharap semoga takdir berpihak kepada para pedagang mengingat perjuangan yang telah mereka lakukan selama ini. Si nenek menawarkan minumnya kepada saya, membangunkan dari lamunan. Saya pun mengambil minuman yang dia tawarkan, sambil berkata “Semoga nenek bisa terus berdagang di pasar Terong yah..”. Si nenek segera menjawab, “Amiin”. Dan kami pun bergabung dengan peserta aksi lainnya, bersiap-siap untuk membubarkan diri pertanda aksi telah usai. Saat itu jam tangan menunjukkan pukul 14.30 WITA.

0 komentar: