Senin, 10 Januari 2011

Pasar Mandai; pakaian berkualitas dengan harga miring

Oleh; Sunardi Hawi
Buka baru, buka baru, buka baru. Silahkan dipilih, silahkan dipilih. Teriak seorang lelaki, yang duduk didepan tumpukan pakaian dengan celana panjang tergantung dibahunya. Badannya tidak terlihat sepenuhnya. Tertutupi tumpukan pakaian di depannya.
Beberapa pengunjung, laki, perempuan, memelankan langkahnya. Mereka berhenti di depan lapak yang kira-kira berukuran 2 x 2 meter. Mereka mulai membongkar tumpukan celana panjang yang tingginya hingga lutut orang dewasa. Di samping tumpukan, juga beberepa celana panjang digantung mengelilingi lapak.
Seorang lelaki, dari perawakannya masih terlihat seperti anak kuliahan, mengenakan celana pendek yang dipadu kaos oblong berwarna biru gelap, sedikit berkeringat berada diantara beberapa pengunjung lainnya. Dia berupaya mengambil celana dibagian paling bawah. Lengannya terlihat sedikit mengencang ketika mengambil ujung celana dan menariknya keatas. Dia memeriksa bagian-bagian celana tersebut, mungkin saja sedang memeriksa ukuran ataukah mencocokkan dengan seleranya. Dia seolah-olah tidak memperdulikan desakan dari pengunjung lainnya, yang berdiri dibelakang dan disampingnya, yang tentu saja juga berniat memilih celana dari tumpukan tersebut.
Di samping penjual yang menjajakan celana itu, juga terdapat beberapa penjual yang menyajikan barang-barang lainnya. Kaos oblong, baju hangat, gaun, kaos kaki, selimut, tas, sepatu bahkan pakaian dalam. Barang-barang itu adalah pakaian bekas. Di Makassar dikenal dengan istilah cakar, akronim dari Cap Karung. Di Makassar, penjual barang seperti ini sangat mudah dijumpai. Cukup berkunjung kebeberapa pasar lokal. Jika beruntung, pakaian berkualitas yang ditoko harganya selangit, bisa didapatkan dengan harga sangat miring.
Pasar Mandai adalah salah satu pasar lokal yang menyediakan pakaian bekas seperti ini. Letaknya tidak jauh dari perbatasan kota Makassar dengan Maros. Sekitar 200 meter sebelum memasuki jalan menuju bandara udara Hasanuddin, tepat diantara jalan utama Perintis Kemerdekaan dan Jalan Tol Reformasi. Di pasar ini, jalan raya menjadi pemisah antara lapak pedagang cakar dan pedagang kebutuhan rumah tangga.
Meski pasar Mandai dibuka setiap hari, namun pedagang cakar dipasar ini tidak setiap hari menggelar dagangannya. Waktunya hanya tiga kali dalam seminggu. Selasa, kamis dan sabtu. Meski beberapa pedagang yang letak lapaknya dekat dengan pinggir jalan utama tetap buka dihari-hari biasa. Namun keramaian pengunjung baru terjadi pada hari-hari di atas, dan puncaknya antara pukul 07.00 sampai pukul 01.00 wita. Dan hari sabtu menjadi hari yang paling ditunggu pengunjung, karena pada hari inilah pedagang akan membuka stok baru mereka.
Para pedagang ini menempati gang yang menghubungkan antara jalan Perintis Kemerdekaan dengan jalur Tol Reformasi. Seperti pasar lokal pada umumnya, lapak-lapak pedagang berukuran antara 2 x 2 meter sampai 4 x 2 meter, dibangun menggunakan balok kayu dan beratap seng. Lapak-lapak ini didirikan saling berhadapan, memanjang mengikuti jalan dan panjangnya sekitar 50an meter. Selain itu ada juga lapak yang didirikan dipersimpangan gang.
Buju, baju. Sepuluh ribu, sepuluh ribu. Pilih-pilihmaki’ bajunya. Seorang perempuan berjilbab, salah satu pedagang cakar lainnya juga berusaha menarik perhatian pengunjung yang lalu lalang. Di hari-hari pasar, teriakan-teriakan seperti ini menjadi hal yang biasa. Bahkan beberapa pedagang, umumnya laki-laki, dengan sengaja saling berlomba mengeraskan suaranya. Apalagi ketika pasar baru saja dibuka. Sahut menyahut suara pedagang menawarkan barang menambah keriuhan pasar.
Di pasar ini, tidak semua barang yang dijual merupakan barang bekas. Ada juga satu dua lapak yang menjual pakaian-pakain baru, serta farvum, aksesoaris dan lainnya. Namun yang menjadi perhatian pengunjung, pada umumnya tertuju kepada pedagang cakar. Dan tidak kurang dari 30 pedagang berdagang di tempat ini.
Meski jalan untuk pengunjung agak sempit, karena sebagian sudah dipakai untuk lapak pedagang, ditambah dengan terik sinar matahari. Namun hal ini sepertinya tidak menyurutkan niat pengunjung untuk berburu pakaian bekas. Orang-orang yang datang tetap rela berdesakan untuk memilah-milah tumpukan pakaian atau yang sudah tergantung rapi di lapak pedagang untuk mereka bawa pulang. Dan sebagai pelepas dahaga, di depan jalan masuk tempat ini, terdapat penjual es cendol yang bisa menjadi pilihan.
Perdagangan cakar di Makassar, mulai marak di tahun 1990an. Barang-barang ini banyak berasal dari Korea, China dan Hongkong. Pare-Pare yang dikenal dengan ‘surga’ cakar menjadi pintu masuk barang-barang ini, dan dari kota itulah kemudian dibawa ke Makassar. Perdagangan ini pada awalnya menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pakaian. Harga yang murah tentu saja menggiurkan ditengah kondisi perekonomian yang masih terbelit krisis.
Namun belakangan, perdagangan pakaian bekas ini menimbulkan masalah. Membanjirnya pakaian bekas di pasar-pasar lokal dianggap sebagai ancaman bagi industri pakaian dalam negeri. Kondisi tersebut kemudian direspon oleh pemerintah dengan pelarangan impor barang bekas melalui SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 642/MPP/Kep/9/2002. Namun surat keputusan ini tentu saja bukan penghalang di pasar ini. Setiap tiga hari dalam seminggu, pedagang dan pembeli tetap bertemu. Selain dipasar ini, para pedagang cakar juga terkadang berjualan di pasar malam.
Namun letaknya yang berada dipinggir jalan utama, menimbulkan kekhawatiran sendiri, khususnya bagi mereka pemerhati pasar lokal. Kawasan pasar Mandai, kini menjadi daerah pengembangan kota. Beberapa lahan yang sebelumnya tidak menjadi perhatian, saat ini sudah berdiri sejumlah ruko. Apalagi pedagang kebutuhan rumah tangga yang bersebelahan dengan pedagang cakar, sangat dekat dengan bahu jalan. Di waktu tertentu, sore dan pagi hari, arus lalu lintas terkadang tersendat. Tidak tersedianya tempat parkir yang memadai membuat konsumen terkadang menggunakan bahu jalan.
Terlepas dari kekhawatiran itu, kini pasar Mandai menjadi salah satu tujuan konsumen cakar. Khususnya bagi mereka yang bertempat tinggal tidak jauh dari pasar ini. Setiap tiga kali dalam seminggu, tidak kurang dari 30 pedagang mencari nafkah dengan berdagang pakaian bekas. Konsumennya pun dari segala umur dan kalangan.

0 komentar: