Selasa, 18 Januari 2011

Refleksi 'Jappa-Jappa Ri Pasara' kedua (2010)


Ide untuk melaksanakan tur ini sudah lama kami impikan, khususnya sejak kami sudah cukup memahami bagaimana pasar Terong mengalami nasib ‘buruk’ akibat perlakuan yang salah dari pemerintah kota, perusahaan daerah Pasar Makassar Raya, dan pengembang (developer) PT. Makassar Putra Perkasa. Pasar yang seharusnya dipertahankan sebagai induk dari seluruh pasar lokal di Makassar ini, kini ‘dibiarkan’ begitu saja atau katakanlah ‘diurus tapi tak terurus, dibiarkan tapi tetap ditagih uang setiap harinya oleh aneka petugas di sana kepada para pedagang yang peruntukannya entah untuk apa, pedagang tak tahu.

Beberapa waktu lalu di akhir bulan Juni 2009, di kantor AcSI, sudah belasan hari kami membahas Rancangan Peraturan Daerah alternatif Kota Makassar tentang ‘perlindungan dan pemberdayaan pasar lokal dan penataan pusat perbelanjaan dan toko moderen’. Kami juga sedang mempelajari sebuah pola tentang bagaimana pemerintah kota mengatur pasar-pasar lokal yang banyak menyerap tenaga kerja dan menghidupi banyak anggota rumah tangga ini. Khususnya menjawab pertanyaan demi pertanyaan akan substansi pengaturan pasar dari setiap bab, bagian, pasal serta ayat dari pasal-pasal Ranperda ini.

Membaca rancangan perda yang disusun oleh anggota DPRD kota Makassar periode 2004-2009 ini begitu ‘menggemaskan’. Ada begitu banyak kekurangan di dalam pasal-pasal yang mengatur hubungan kedua macam pasar ini, pasar ‘tradisional’ dengan pasar ‘moderen’. Sebuah kekurangan yang menurut kami cukup fatal dan tidak menggambarkan sebuah perlindungan bagi pasar lokal yang semakin hari semakin dibiarkan ‘sekarat’.

Sebutlah konsep pasar ‘tradisional’ yang digunakan itu. Sebuah konsep yang sangat berbau aliran ‘modernisasi’ di mana yang tradisional dianggap terbelakang, kumuh, tak mampu bersaing, dan tentu saja tak cocok dengan perkembangan kota yang sedang menata diri menjadi metropolitan. Penggunaan kata ini sendiri sudah sebentuk ketidakberpihakan dan jauh dari realitas pasar-pasar ini. Akibatnya penanganannya, karena aliran ini yang deteministik, pasar kemudian mengalami revitalisasi guna mengejar ‘cap’ modernisme semacam gedung bertingkat, berkeramik, dan dilengkapi dengan fasilitas moderen lainnya seperti elevator, lift, listrik, AC, dan lain sebagainya yang justru menambah kerumitan pemeliharaan dan biaya operasional dan membebankan pedagang.

Untuk itu, kami menawarkan sebuah konsep baru, yakni menyebut pasar kita sebagai pasar lokal, untuk membedakannya dari pusat perbelanjaan dan toko moderen yang sedikit banyaknya berasal dari luar kota Makassar, seperti Carrefour, Diamond atau Giant, Depertment Store, Hypermarket, Supermarket, Mal, dan sebagainya. Sebuah konsep yang menawarkan aspek lokalitas dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pedagang dan konsumen kota, khususnya pelanggan dari kelas menengah ke bawah.

Bila merujuk pada pasar lokal kita, maka sesuai dengan aspek kesejarahannya, pasar kita sudah sejak dulu ramah terhadap pedagang kecil dan mikro. Banyak pedagang datang dari berbagai daerah dengan mudahnya untuk menjajakan barang-barang prooduksinya atau apapun dari desa mereka. Untuk itu, model hamparan adalah ciri berikutnya yang menjamin efektifitas gerak pedagang dan pembeli. Tak perlu susah payah membawa barang ke atas karena terdapat aneka transportasi barang di jalan yang disediakan oleh Daeng becak maupun penyedia jasa lainnya. Bertingkat, berkeramik, bertangga, benar-benar mematikan usaha jasa yang disediakan secara mandiri oleh warga yang mengandalkan tenaga fisik untuk bekerja.

Selain itu, kami juga menemukan bahwa corak berpikir dengan menggunakan ‘logika pertumbuhan’ turut merusak muatan rancangan perda ini. Dalam kepala anggota DPRD yang menyusun, ada pemikiran bahwa pasar lokal harus dikelola dengan baik agar pedagang di dalamnya dapat tumbuh dan bersaing dengan pelaku usaha pusat perbelanjaan dan toko moderen. Padahal, para pedagang di pasar-pasar lokal pertama-tama yang mereka inginkan adalah ‘bertahan’ agar kebutuhan hidup anggota keluarga dapat terpenuhi.

Persoalan tumbuh tidaknya usaha adalah urusan kesekian. Tetap berjualan saja dengan pendapatan yang memadai itu sudah membuat hidup pedagang ini nyaman. Jadi, ketimbang menggunakan nalar ‘ekonomi pertumbuhan’ para pedagang kecil dan mikro lebih mengandalkan logika ‘ekonomi kebertahanan’. Persis logika yang digunakan oleh banyak ibu rumah tangga di desa-desa yang membuka aneka kios di bawah kolong rumahnya demi bertahan secara ekonomi kalau-kalau pekerjaan suami atau anak laki-laki mereka mengalami kelesuan atau tiba-tiba dipecat dari tempat kerjanya atau digusru oleh satpol PP misalnya.

Anggota Dewan yang terhormat ini juga ‘menyerah’ pada logika persaingan usaha dalam pemikiran ekonomi neo-klasik atau neo-liberalis, bahwa pelaku pasar akan bersaing satu sama lain dalam sebuah kompetisi sempurna (perfect competition), sehingga mereka hendak memaksakan agar pasar lokal dan pelaku usaha di dalamnya larut dalam logika ini dan dapat bersaing dalam era pasar bebas.
Persoalannya adalah, tidak mungkin terjadi sebuah persaingan sempurna di tengah ketidakimbangan modal usaha antara pengusaha ritel moderen yang bermodal kuat dengan pelaku usaha pasar lokal yang tercerai berai dalam aneka keterbatasan mereka seperti rendahnya modal dan sulitnya akses perbankan, lemahnya keterampilan usaha, lokasi berjualan yang tidak nyaman bagi pedagang dan pembeli, dan sebagainya. Persaingan sehat yang didambakan semakin sulit terjadi di tengah carut-marutnya pelayanan pemerintah dalam persoalan perizinan usaha dan lain-lain yang memungkinkan pihak berduit bermain ‘di belakang meja’.

Jadi dalam ketidakjelian anggota dewan ini membuat kami berusaha ‘meluruskan’ pemikiran tentang penataan pasar yang adil dan mempertegas ‘keberpihakan’ kepada pasar lokal dan pelaku di dalamnya. Penataan pasar harus dilakukan secara adil dan untuk itu pemerintah mutlak memberi perhatian yang lebih kepada pasar lokal dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan terlebih politik.

Jadi memperhadapkan dua entitas pasar ini untuk berhadap-hadapan adalah tidak realistis. Sebagai contoh, persoalan harga kebutuhan bahan pokok. Pusat perbelanjaan dan toko moderen semacam Carrefour atau Diamond mampu menjual bawang putih dan lombok merah dengan harga di bawah harga pasar lokal. Bawang putih misalnya, dijual di pasar moderen Rp. 320 perons atau Rp. 3.200 perkilogram, sementara harga barang sejenis di hari yang sama di pasar Terong bisa mencapai 6000 – 7000 rupiah perkilogram. Belum lagi harga barang lainnya seperti tomat. Dari cerita seorang pedagang lombok di pasar Terong yang bernama H. Thamrin, ia menceritakan bahwa harga tomat di Carrefour bisa jauh lebih murah dibandingkan di pasar Terong.

Ada banyak faktor yang memungkinkan harga dengan mudahnya dipermainkan oleh pengusaha ritel moderen. Pertama, modal mereka sangat besar. Kedua, aneka barang yang mereka jual sangat beragam sehingga barang satu bisa menutupi barang lain yang sengaja dijatuhkan harganya. Ketiga, pelaku usaha ritel besar mampu menembus petani di desa dengan membeli hasil produksi mereka melalui berbagai cara, seperti kemudanan modal selama masa tanam dan perawatan, bebas biaya transportasi, dan lain-lain. Selain itu, untuk memanjakan konsumen agar tetap berkunjung ke pasar moderen, pengusaha ini menjamin pasar mereka tetap bersih, sejuk, dan penuh dengan media pemanjaan konsumen lainnya sementara pasar lokal terus menerus dibiarkan kumuh dan jorok oleh pihak pengelolanya. Bahkan, media lokal entah mengapa lebih sering memberitakan aktifitas pasar moderen ketimbang pasar lokal.

Lihat saja rubrik ‘jappa-jappa ri Mall’ dari koran lokal kota ini dan berbagai iklan serta penawaran lainnya dari aneka pusat perbelanjaan dan toko moderen. Sementara saat memberitakan pasar lokal, sorotannya merujuk pada sampah yang berserakan, pedagang yang menempati badan jalan dengan penyebutan ‘liar’, hingga demo-demo pedagang yang merasa dipinggirkan oleh pemerintah. Itupun melalui pemberitaan yang jauh dari memadai sehingga bias, samar dan informasinya tidak utuh, apakah hendak membela pedagang kecil dan pasar lokal atau justru semakin menjerumuskan dengan pencitraan negatif yang tanpa henti.

Karena kemumetan itulah, kami lalu mewujudkan ‘mimpi’ untuk melakukan Tur di lima Pasar lokal ini tanggal 28 Juni lalu. Kemudian, setelah kami berhasil merampungkan draft alternatif ranperda kami, Tour de Pasar kedua kembali kami laksanakan di lima pasar lainnya. Jadi, dari dua tur ini, kami telah mengunjungi 10 pasar lokal yakni pasar Butung, eks pasar Sentral (Makassar Mall), pasar Cidu, pasar Kokolojia, dan pasar Pabaeng-baeng. Lalu, tur kedua pada tanggal 11 Agusuts 2009 kami mendatangi pasar Panampu, pasar Kalimbu, pasar Maricaya, pasar Sawah, dan pasar Baru.

Tour kedua tampak istimewa, karena diikuti oleh Ketua Persaudaraan Pedagang Pasar Terong, Abdul Kadir Daeng Lala. Seorang kawan yang berprofesi sebagai pemasok tomat dan cabai bagi banyak pedagang yang selama dua tahun terakhir ini bersama-sama belajar dan memperkuat persatuan pedagang dalam menghadapi segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di Pasar Terong. Keistimewaan kedua, Tour ini lebih matang dipersiapkan, karena beberapa partisipan dibebankan tugas untuk bertanya hal-hal tertentu yang berhubungan dengan penguatan gerakan sosial pasar lokal.
Pertanyaan itu seperti bagaimana sejarah pasar, karakteristik dan ciri khas pasar, kisaran jumlah pedagang dan jenis jualan, penataan oleh pihak pengelola, rencana revitalisasi (bila ada), dan tanggapan pedagang tentang kondisi pasar dan pembeli saat ini.

Keistimewaan terakhir adalah, sehari setelah Tour berlangsung, kami melaksanakan workshop hasil kunjungan untuk berbagi cerita sehingga kami bisa mendapatkan bangunan cerita yang utuh dari setiap partisipan yang ikut dalam tur ini. Juga melakukan refleksi untuk menutupi kelemahan dari setiap kunjungan kami. Dari hasil workshop ini pulalah yang memungkinkan penulis menuliskan rangkaian pengalaman tur ini.

Dari sepuluh pasar lokal yang telah kami kunjungi ini, 4 di antaranya dapat kami golongkan sebagai pasar yang sudah cukup tua, yakni pasar Butung, Cidu, Kalimbu, dan pasar Baru. Kesimpulan ini kami petik setelah melihat sebuah peta kota Makassar tahun 1955 yang memperlihatkan 5 pasar lokal, yakni pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Termasuk dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Selain itu, jauh sebelumnya, tahun 1917, sebuah photo memperlihatkan bangunan pasar Boetoeng di awal berdirinya. Pasar ini tampak rapih dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita. Di tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini dengan baik. Surat edaran itu bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan retribusi atau dalam bahasa lokal disebut ‘sussung pasara’ dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai kepentingan tata kelola pasar lokal.

Selamat Tour de Pasaar selanjutnya!

0 komentar: