Kamis, 13 Januari 2011

SURAT UNTUK KAU, WALIKOTA AKU

Oleh; Zainal Siko

Sewaktu menuliskan surat ini, Aku sedang berada di pasar Terong. Berharap Kau belum tidur karena besarnya masalah  yang terjadi di Makassar. Jarum di jam tangan Aku menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Aku melihat para pedagang pengumpul dari berbagai pelosok daerah berdatangan dengan mengendarai aneka kendaraan mulai sepeda, motor, mobil pick up hingga truk Fuso. Mereka mempunyai tujuan yang sama yakni pasar lokal ini untuk menjual barang dagangan Mereka.
class-action-14-mei-09-079Ada berbagai jenis sayuran, tomat dan cabai, aneka beras, buah-buahan, telur hingga rempah-rempah dalam berbagai takaran dan ukuran. Para pedagang pengumpul sampai di pasar ini mengawali transaksi dengan para “punggawa” pasar. Lalu, transaksi berikutnya terjadi antara para punggawa dengan para pedagang kecil yang akan memperoleh barang dagangan sesuai kemampuan. Uniknya, Aku melihat, cara pembayaran mereka beragam. Bagi yang mampu mereka memilih tunai, sementara yang tidak akan memilih kredit. Kepercayaan menjadi kunci transaksi ini.
Tahukah Kau, sekian lama mencermati pasar-pasar lokal Kita, Aku melihat pasar Kita kian padat dan tak terawat. Keberadaannya kemudian makin sulit terurus. Mohon maaf, sepertinya, selama ini, sekian puluh tahun, pemerintah kota Makassar tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bagaimana cara mengelola pasar lokal. Padahal kalau hal ini dikelola dengan baik, maka luar biasa manfaatnya terhadap warga Kita dan pencitraan bagi pemerintah kota Makassar itu sendiri.
Kau lihat saja geliat pasar Terong ini. Mampu menampung ribuan warga kota dan sekitarnya untuk bekerja walau tanpa ijazah sekolah sekalipun. Pasar lokal ini mampu menyerap aneka barang dan kebutuhan pokok dari banyak petani di banyak kampung tetangga, lalu mendistribusikan kembali barang-barang itu untuk warga lain di 18 provinsi. Dari ujung desa di Selayar hingga tengah kota Jakarta. Dari berbagai kampung di pegunungan dan pesisir Sulawesi hingga ke lembah-lembah Papua sana. Semua tergantung pada pasar lokal Kita. Bahkan pasar Terong ini pula yang menjadi ukuran dasar harga-harga sembilan bahan pokok (sembako) oleh Radio Republik Indonesia (RRI) yang disiarkan setiap malam sejak dahulu hingga sekarang.
Tapi, mengapa pasar lokal Kita terus menjadi kumuh dan semrawut?
Walikota Aku, atau Aku sebut saja nama Kau, Aco yang Aku cintai,
Pernah Aku melihat peta kota ini. Tertulis di kertas lusuh itu angka 1955. Aku coba mencari ada berapa pasar lokal Kita saat itu. Aku temukan hanya lima saja. Pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Juga dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Aku juga pernah lihat di website pemerintah kota ini dimana Kau menjadi pemimpin, sebuah foto pasar Boetoeng diawal berdirinya tahun 1917. Pasar ini, begitu rapih dengan model hamparan yang hingga kini [sebenarnya] masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita yang mungkin kata Kau “tradisional”.
Menurut Kau, apakah karena dia “tradisional” lalu Kau akan lebih memilih menata pasar luar negeri yang kata orang-orang kota itu “moderen”? Tidakkah Kau rasa kota ini jadi sesak karena beton-beton pasar “moderen” itu semakin menyudutkan palapara’, pagompo, parappung, pamejang, palembara, dan sebagainya, pedagang yang modalnya mungkin tak lebih besar dari uang jajan harian anak-anak kaya kota ini.
Aco, [maafkan Aku bila Kau tak berkenan Aku panggil Kau seperti itu],
Aku menghitung, pasar lokal di kota Kita sudah mencapai 50 buah [ini kritik untuk hitungan anak buah Kau yang menyebut hanya 33 pasar lokal; 13 Dia sebut resmi dan 20 disebut pasar ‘darurat’]. Hitungan Aku menunjuk ada 16 pasar resmi dan 34 pasar lainnya yang kerap dicap ‘Liar’ atau ‘Kaget’ [seolah mereka timbul begitu saja].
Kau pasti tahu kenapa jumlah pasar lokal ini terus bertambah walau Kau dan teman-teman Kau terus menggusur pedagang-pedagang yang Kau sebut berkaki lima. Itulah cara paling aman untuk hidup, Aco! Kau pasti tahu itu. Kau pasti tahu kenapa trotoar kota Kita selalu jadi tempat paling nyaman buat Mereka untuk berjualan atau dikejar-kejar polisi Kau yang tahunya mengacung-acungkan pentungan dan membongkar saja.
Di pasar lokal kita (bisa Kau lihat di pasar Terong) ada dua pimpinan pasar [walau Aku lebih senang menyebutnya 3]. Kau punya Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya dan Teman Kau developer PT. Makassar Putra Perkasa [biarlah Aku sebut saja di sini yang satunya, Preman, yang entah bekerja untuk siapa seringkali menciptakan derita kepada pedagang yang dititipkan entah oleh siapa].
Ini sumber masalah menurut Aku dan banyak pedagang bilang begitu. Mereka berbuat seenaknya seolah ribuan pedagang di dalamnya menumpang begitu saja di sana. Padahal kalau Kau tahu sejarah berdirinya pasar Terong sejak tahun 1960-an, maka Aku yakin Kau akan terharu melihat orang-orang sekampungmu di sana turut bersusah payah hidup dan bertahan di sana hingga sekarang ini.
Aturan Kau memang tidak bersahabat dengan pedagang kecil di sini. Pernah Aku membuka-buka lembar yang Kau sebut Perda No. 12/2004. Nafasnya begitu suram penuh aroma otoritarian. Tak ada nama pedagang disana, pun sekedar menjadi kawan dalam mengambil keputusan untuk penataan pasar. Yang ada hanyalah ‘sang otoritarian’ yang bernama direksi Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya untuk mengelola pasar dan pengawasnya [yang mungkin otoritarian yang lain].
Aco yang baik, Kau tentu akan sibuk kembali di lima tahun ke depan.
Makanya Aku ingin segera menuntaskan surat ini. Kau mungkin tidak tahu kalau filosofi pedagang di pasar lokal Kita berbeda dengan pasar luar negeri yang angkuh itu. Di sini, para pedagang memegang falsafah ‘saling menghidupi’. ‘Sitallassi Parangta’ Rupa Tau’ dengan 2 prinsip utama, yakni kejujuran (Lambusu’) dan tanggungjawab (Pammentengang). Berpegang pada pilosophi inilah pedagangmenghidupi keluarga kecil mereka.
Kau adalah satu harapan dari sekian harapan yang bisa digapai pedagang pasar lokal kota Kita. Kau perlu dengarkan suara-suara Mereka. Kau bisa bersama Mereka dalam menemukan kembali ruh pasar lokal kita yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar, ‘Ni buntuluki ammotere pasaraka’.
Demikianlah, surat Aku untuk Kau, walikota Kita. Mungkin Kau akan bertanya-tanya siapa Aku. Aku hanya teman pedagang di pasar-pasar lokal Kita. Teman dalam suka dan duka Mereka. Teman yang bisa sedih dan juga bisa marah kalau para pedagang pasar lokal terus-menerus ditindas oleh kebijakan yang tak berpihak pada mereka. Aku hanya kawan Kau yang punya obsesi memiliki pasar lokal yang bersih, aman dan tersohor. Aku harap Kau bisa membantu Kami.
Cukup surat Aku ini. Aku menitipkan sebuah kalimat yang melekat di hati Kami. ‘Manna’ Bori’ Para Bella, Kapa’ mai Para Baji’, Assing kamma tonji Balla’ se’re Ni ruwai, Dekkeng! (Walaupun kampung Kita sama jauhnya, tapi hati Kita sama baiknya, ibaratnya satu rumah Kita bersama, wahai saudara Aku!).
Makassar, 07 Mei 2009

0 komentar: