Kamis, 13 Januari 2011

Tukang Parkir dan Daeng Turu’

Oleh; Ishak Salim
(13.00 – 14.00) 7 Januari 2009.
Dia menyebut dirinya Oher, begitu aku menangkap dari setiap pembicaraan orang-orang mengenai dirinya. Aku tau, Oher itu artinya orang tua, biasanya merujuk pada orang tua kita yang laki-laki atau bapak. Dia sedang menjaga beberapa motor yang terparkir rapi di depan pintu masuk pasar Terong bagian atas. Tidak banyak motor parkir disana, hanya dua puluhan saja. Hari ini tanggal 10 Muharram tahun 2009, jadi banyak orang berbelanja barang pecah belah.
Berseliweran dan didominasi oleh ibu-ibu atau perempuan-perempuan muda. Maklum, pecah belah berarti kebutuhan dapur dan persoalan dapur biasanya persoalan perempuan. Oher sedikit berkelakar tentang kultur yang sudah berlangsung setiap tahun entah dimulai kapan ini. Tentang gayung yang dikonotasikan akan memberi kita kemampuan mengais rezeki dengan mudah. Atau tentang sapu yang berarti kemampuan untuk menyapu bersih reseki yang bertebaran di kehidupan kita.
Bahkan, bukan pada sisi individualitas saja perilaku ini dipertontonkan hari ini, tepi juga komunalitas pembeli yang membeli beberapa buah gayung, sapu, atau panci dan baskom untuk kemudian membaginya satu demi satu karib kerabat terdekatnya, dengan harapan yang tulus semoga yang diberikan memperoleh kemudahan juga dalam mencari dan mendapatkan rezeki.
Aku duduk di salah satu motor yang terparkir. Mengajak Oher berbincang apa saja yang terlintas di kepalaku. Sudah lama menjadi tukar parkir Daeng? Aku mulai percakapan persahabatan. Saya baru dua tahun disini, jawabnya singkat. Lalu, tanpa menunggu pertanyaanku selanjutya dia menjelaskan bahwa sebelumnya dia bekerja sebagai preman penjaga tanah-tanah sengketa. Hmm, preman rupanya, bathinku berucap. Pekerjaan ini sangat berbahaya, dia melanjutkan. Biasanya, suruhan orang China datang pada saya dan mengatakan “Oher, mauki jadi korlap?”.
Korlap itu adalah koordinator lapangan. Satu korlap bisa membawahi preman hingga lima puluh orang dan mereka akan memperoleh 50 ribu perhari/orang. Tapi itu sudah termasuk jatah makan, siang dan malam, jadi sebenarnya itu adalah bilangan yang kecil dengan resiko yang besar. Bayangkan bila tiba-tiba datang preman yang lain yang bertugas menjaga tanah yang sama. Maka mereka akan bentrok hingga dibubarkan oleh polisi. Itu dulu, dua tahun terkahir ini dia memilih menjadi tukang parkir saja. Dengan pendapatan yang jelas dan resiko yang hampir tidak ada. Kebetulan kepala preman disini, Daeng Turu’ adalah suami dari kemenakannya, Fitri. Jadilah dia direkrut oleh dg Turu sebagai salah seorang tukang parkir dari 5 area parkir di Pasar Terong ini.
Topik pembicaraan lalu beralih ke daeng Turu’. Dia adalah seorang preman yang ‘ringan tangan’ alias sangat mudah melayangkan pukulan atau hantaman kepada orang yang tidak disukainya. Bukan hanya dengan benda-benda tajam tapi juga benda-benda lain apa saja didekatnya, balok kayu, rantai, selang, dan lain-lain dapat digunakannya untuk berkelahi. Suatu waktu dia juga pernah menusuk salah seorang preman yang entah karena apa mencari daeng Turu’ dengan penuh emosi.
Tanpa tedeng aling-aling Turu’ menusuk perut orang itu dengan sebilah badik dan membuat usus orang itu terburai dan lalu mati. Daeng Turu’ memang bukan preman sembarangan. Luka-luka sabetan badik dan golok ada di banyak di bagian tubuhnya. Wajahnya masih menyimpan bekas luka sayatan parang. Demikian pula lengan kirinya yang invalid akibat benda tajam badik atau parang. Begitulah Turu’, berkelahi adalah pilihan untuk menyelesaikan masalah. Tidak peduli dengan siapa dia berhadapan.
Di pasar Terong inilah seluruh tukang parkir menyetor uang parkir padanya. Termasuk Oher yang wajib menyetor 20 ribu rupiah perhari. Oher adalah penyetor terendah mengingat areal parkirnya memang kurang dikunjungi oleh pengendara mengingat banyak dari konsumen lebih memilih parkir di area bawah ketimbang atas. Tapi menurut Oher, 30 pedagang yang berkendara sudah pasti menjadi pelanggannya diareal ini, jadi tak mungkin dia tidak mendapat uang untu dibawa pulang. Makanya, Turu’ tak pernah meminta lebih banyak dari Oher ketimbang tukang parkir lainnya.
Beberapa waktu lalu, aku berbincang dengan pedagang-pedagang kecil di sektor Kubis. Daeng Nur, seorang ibu pedagang sandal yang menjadi kepala sektor bercerita betapa dia tidak memiliki rasa takut sedikitpun kepada Daeng Turu’ yang ditakuti itu. Daeng Nur memang tidak takut padanya. Dia kenal baik dengan daeng Turu’ sebagai preman karena dia juga selama tinggal di area Terong ini bergaul dengan preman-preman. Daeng Nur beberapa kali berhadapan dengan Daeng Turu’ dan dengan lantang penuh keberanian menantangnya untuk berkelahi. Rupanya, selain menjadi kepala perparkiran (entah legal atau tidak) Daeng Turu’ juga adalah kaki tangan direktur Perusda Pasar Makassar Raya. Fungsinya sebagai kaki tangan adalah sebagai daya teror bagi pedagang-pedagang kecil yang tidak ingin patuh dengan aturan pemerintah kota tentang revitalisasi dan berbagai jenis pungutan pasar. Para pedagang kecil ini, yang terdiri dari ‘palapara’ (pedagang pengguna tikar) dan ‘pamejang’ (pedagang dengan meja) berjualan di luar area gedung yang pernah dibangunkan oleh pemerintah.
Bayangkan saja, gedung ini begitu megah untuk para pedagang bermodal harian dan bermodal kecil berkisar 500.000 hingga 5 juta rupiah ini. Mereka harus mengambil lods-lods dan kios-kios yang sudah disediakan dengan harga sewa atau harga beli yang sangat mahal ditambah lagi dengan waktu cicilan yang teramat singkat selama 4 tahun saja. Bahkan dalam waktu 10 hingga 20 tahun sekalipun bagi mereka tentu masih berat. Akhirnya mereka lebih memilih area-area yang kemudian disebut oleh pemerintah kota sebagai area liar dan mereka menjadi pedagang liar atau pedagang kaki lima. Maka penggusuran atas dagangan mereka adalah ancaman setiap waktu dan daeng Turu’ memainkan perannya disini sebagai jawara pasar.
Hm.. sayangnya Oher tidak kenal pedagang-pedagang kecil yang dengan kompak berjualan di luar gedung ini, jadinya tidak punya tandingan cerita atas kehebatan daeng Turu’. Padahal, bila Turu’ ingin melakukan aksi penggusuran maka dia akan selalu bertimbang apakah Daeng Nur ada menjual disitu atau tidak.lk
*****
Oher[dulunya] Raja Penyabung Ayam
Wajahnya cerah ketika kupandang sore ini di sebuah kursi kayu menemani istrinya Kak Ida menjual tomat dan cabe. Dialah Oher. Sewaktu kutanya kenapa tidak hadir diacara akikah putrinya pak Enal (pendamping pedagang kecil) dua hari lalu di jalan Suka Ria dia bilang dia sedang berpuasa. Puasa Senin dan Kamis. Kini dia rutin melaksanakannya. Entah karena apa dia menceritakan kisah panjang kenapa akhirnya dia beribadah sedalam mungkin kepadaNya. Ini sama sekali di luar dugaannku.
Tapi mungkin lebih karena dia sudah mulai percaya padaku setelah beberapa kali menyapanya dan singgah sekedar bercerita apa saja di tempat menjualnya. Perkenalan kami memang sudah kurang lebih satu tahun. Walau tidak sering dan intens setidaknya setiap kesana aku selalu singgah dan berbincang dengannya. Mungkin karena itulah dia kemudian bercerita kepadaku mengenai latar belakang kenapa dia beribadah begitu dalam kepadaNya. Ini karena saya selalu teringat masa lalu yang kelam.
Masa lalu yang kelam? Oher dan masa lalu yang kelam? Wah, pria pendiam ini punya masa lalu yang kelam? Begitu aku bertanya-tanya. Aku masih ingat ketika di awal tahun lalu (2008) sewaktu kami memulai program pembuatan video komunitas pedagang kecil pasar Terong, beliau hanya diam saja dan sepertinya tidak menaruh minat dengan program audio visual ini. Kini aku seperti menemukan jawabannya.
Dulu saya adalah penyabung ayam. Bila mengingat masa lalu itu barulah saya menyesal akan perbuatan-perbuatan itu. Sudah hampir setahun ini saya meninggalkan semuanya. Saya dulunya memegang semua proses sabung ayam di Makassar ini. Saya yang pegang uang-uang taruhan dan menentukan aturan main dari setiap pertandingan yang hampir setiap hari dilaksanakan. Bahkan saya juga punya banyak ayam yang siap untuk diadu lengkap dengan berbagai macam tajinya (taji biasa, taji Malaysia dan taji Sanana).
Sabung ayam ini memang benar-benar keterlaluan, kata Oher. Perbuatan judi yang menggunakan dan menyiksa binatang. Di hari-hari biasa, jumlah peserta biasanya hanya berkisar 20 sampai 30 orang. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding hari Minggu yang bisa mencapai lebih 50 orang dengan lebih dari seekor ayam perorangnya. Bukan hanya orang-orang biasa seperti saya yang ikut, tetapi juga pejabat-pejabat pemerintahan tertentu termasuk dari kepolisian dan militer.Kebanyakan mereka adalah orang Toraja dengan daya taruh yang tinggi. Sekali bertaruh bisa hingga tiga juta rupiah dan sekali pertarungan paling lama berlangsung 15 menit atau rata-rata lima menit saja.
Sebagai penyabung ayam, tanda-tanda fisik di telapak tangan terlihat dengan jelas. Berbagai bekas sayatan taji berseliweran di kedua telapaknya. Suatu hari ketika menyabung ayam di wilayah dekat jalan Tol, keterkejutan orang-orang membuat ayamnya mengamuk dan tajinya mengenai telapak kanannya. Darah mengucur deras. Berusaha mencari puskesmas yang berjarak kurang lebih 2 km. ketika dipuskesmas, dia menceritakan bahwa luka itu disebabkan kecelakaan kerja sewaktu dia membelah bambu. Dokter ketika itu percaya dengan ceritanya. Tapi, seorang suster asal Toraja membisikkan kepada Oher, bahwa luka ini pasti sayatan taji ayam. Dengan sedikit kaget, ia bertanya kenapa dia bisa tahu kalau itu adalah sayatan taji ayam. Itu karena darah yang mengucur berwarna hitam!
Saat bercerita, di salah satu kios yang tak terpakai berkerumun belasan anak muda. Mereka sedang menyabung ayam. Ia sesekali mengamati orang-orang muda itu, termasuk yang keluar masuk. Tentu saja semuanya dia kenal, tapi tak sepatah katapun dia keluarkan. Matanya saja yang bergerak sesekali, melirik dan diam. Dia memang menghindari menegur mereka yang sedang menyabung. Pun termasuk orang-orang yang meminta saran-saran dan berbagai trik menyabung ayam. Semuanya dia tolak! Dia benar-benar menghindari perbincangan mengenai itu semua. Tapi dia juga tidak melarang mereka. Melarang mereka hanya akan mengganggu konsentrasinya dalam beribadah. Karena melarang berarti akan menimbulkan resistensi dari orang-orang yang dilarang. Jadi dia memilih membiarkan dan sesekali mengamati saja. Pasti berat sekali proses ini. Menghindari sesuatu dimana sesuatu itu masih berseliweran disekitar kita.
Dalam proses tobatnya ini, Oher juga pernah sakit keras. Itu yang semakin membuatnya berusaha sedalam mungkin beribadah kepadaNya. Aku merasakan semangat juangnya untuk menempuh jalan hidupnya yang baru. Dia beruntung telah diberi kesempatan olehNya untuk menjalani hidup yang menurutnya akan jauh lebih baik. Demikian aku menambah semangatnya. Aku juga jujur mengatakan bahwa wajahnya terlihat lebih cerah sekarang ini, tanpa merasa disanjung dengan tenang dia berujar ‘semoga ada berkah dari perubahan ini’. Lekas aku berucap ‘amiin’. Ketika hendak pamit, dia meminta istrinya membungkuskan beberapa buah tomat dan cabe segar. Hm.. pedagang-pedagang kecil ini selalu saja begitu, memberikan beberapa miliknya sebagai ekspresi persaudaraan.

0 komentar: