Kamis, 13 Januari 2011

‘NI BUNTULUKI AMMOTERE PASARAKA’

‘Nibuntuliki ammotere pasaraka’ (menemukan kembali nilai-nilai pasar kita)
dsc02259.JPG
Oleh; Zainal Siko
(Teman Pedagang Kecil, Anggota Active Society Institute)
Pada sebuah peta kota Makassar tahun 1955, hanya ada terlihat 5 pasar lokal, yakni pasar Butung, pasar Tjidu, pasar Kalimbu, pasar Baru, dan pasar Lette. Disamping itu, terdapat juga dua pasar pelelangan ikan, Gusung dan Kampung Baru. Jauh sebelum itu, di tahun 1917, sebuah photo tua memperlihatkan pasar Boetoeng diawal berdirinya. Pasar ini, begitu rapi dengan model hamparan yang hingga kini masih menjadi ciri khas dari banyak pasar lokal kita. Sebuah pasar yang telah didefinisikan oleh Negara sebagai pasar tradisional atau dengan kata lain sebagai pasar yang ketinggalan jaman. Di tahun yang sama, tepatnya 1 September 1917, sebuah peraturan tentang pasar dikeluarkan untuk menjamin tertatanya pasar ini dengan baik. Surat edaran itu bernomor 15 dan yang menjadi pengesah surat itu adalah W. Fryling. Pokok pengaturannya adalah pendayagunaan lingkungan pasar dengan model penarikan retribusi. Retribusi dalam surat itu di tulis dengan bahasa lokal ‘sussung pasara’ dengan pengawasan yang ketat dan penggunaan yang maksimal untuk berbagai kepentingan tata kelola pasar lokal.
Mengikuti dinamika kota yang semakin ramai, perkembangan pasar lokal juga terus bertambah dan mampu memenuhi kebutuhan dasar warga kota yang juga semakin meningkat. Lapangan kerja setiap waktu tersedia bagi siapa saja yang ingin membuka usaha di area pasar lokal.
*****
Kini, dari hasil observasi yang dilakukan oleh Active Society Institute (AcSI) sepanjang tahun 2008 jumlah pasar lokal sudah mencapai 46 buah. 16 pasar diantaranya oleh pemerintah kota dikategorikan sebagai pasar tradisional (Resmi) dan 30 pasar lainnya di cap sebagai pasar liar (Tidak Resmi), sebuah penamaan yang mendiskreditkan pedagang-pedagang kecil yang tidak tertib. Hal yang menggelikan, dalam pasar ini dikenal juga kepala pasar liar yang di SK-kan oleh direktur Perusda pasar Makassar Raya.
Meningkatnya pasar-pasar ‘liar’ ini, diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, krisis ekonomi 1997 yang menyebabkan ambruknya sektor ekonomi formal. Kedua,  meningkatnya migrasi dari desa-desa di Sulawesi Selatan ke kota akibat menurunnya daya produksi desa (push factor), termasuk di dalamnya migrasi penduduk dari pulau Jawa dan Madura, Flores, Bima, dan Dompu. Di lain sisi adalah meningkatnya daya tarik kota (pull factor) dimana kota terus mempercantik diri melalui pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik bagi masyarakat kota. Ketiga, terjadi rasionalisasi pekerja di sektor industri kota yang tinggi. Terakhir, adalah mudahnya memperoleh modal usaha dari para ‘lintah darat’ atau yang lazim disebut ‘appa’bunga doe’’ dan koperasi dengan bunga hingga 20%.
Klasifikasi ‘tradisional’ dan ‘liar’ atau ‘resmi’ dan ‘tidak resmi’ bagi pasar lokal menunjukkan berbagai bentuk diskriminasi baik dalam perilaku pelayanan (penggusuran, sulitnya akses modal usaha pro rakyat miskin, mahalnya harga kios, kumuhnya pasar lokal, dan lain-lain) maupun dalam regulasi daerah (Perda kota Makassar No. 12/2004 yang bernafas otoritarian). Tentu saja, dari sekian perda yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah kota, belum ada kebijakan pasar yang benar-benar menempatkan pasar lokal khususnya para pedagang di dalamnya sebagai aktor utama. Lihat saja bagaimana pemerintah kota menata pasar melalui Peraturan Daerah (PERDA) Kota Makassar nomor 12 tahun 2004 tentang ‘Pengurusan Pasar Dalam Daerah Kota Makassar’.
Dalam perda ini, pemerintah kota telah melimpahkan kekuasaan penuh kepada Perusahaan Daerah Pasar Makassar Raya untuk mengelola pasar. Dengan demikian seorang direktur PD Pasar Makassar Raya memiliki wewenang dalam menetapkan tempat-tempat berjualan atau berusaha, pembagian tempat berjualan, penggunaan areal atau pelataran dan bangunan pasar dan perparkiran, tarif jasa penggunaan fasilitas pasar, perbaikan atau rehabilitasi bangunan, sarana dan prasarana pasar, pemasangan dan pemanfaatan fasilitas umum pasar, hingga penentuan waktu operasi, jam buka dan tutup pasar.
*****
Sejak tahun 1990-an, Makassar, sebagai kota metropolitan di Indonesia Timur semakin sesak oleh keberadaan pasar-pasar modern. Ekspansi pasar besar seperti Gelael, Makro, Hypermarket hingga Carrefour mulai mengancam keberadaan pasar lokal kita. Dalam wawancara dengan banyak pedagang kecil di pasar Terong dan pasar lokal lainnya, yang paling dirasakan adalah menurunnya omzet para pedagang itu antara 30-40% setiap bulannya. Sebuah hipotesa yang masih membutuhkan studi lanjutan adalah ‘segala kesemrawutan pasar lokal dan tidak memadainya ruang berjualan bagi pedagang yang menyebabkan banyak pedagang memilih trotoar-trotoar diakibatkan oleh keberpihakan pemerintah kota yang lebih besar bagi para investor besar atau ritel modern ketimbang para pedagang di pasar lokal’.
Tentu saja, kelebihan pasar modern di atas dalam memanjakan konsumen jauh di atas kemampuan pasar lokal kita. Bahkan strategi perpaduan antara berbelanja dan berekreasi juga merupakan terobosan baru dalam dunia pasar di Makassar. Beriringan dengan itu, kemauan politik (political will) yang rendah dan kemampuan pemerintah kota (services capability) yang tidak maksimal dalam mewujudkan tata kelola pasar yang berdaya guna dan berhasil guna bagi kedua belah pihak, pedagang dan pembeli pasar lokal.
*****
Pendekatan yang tidak partisipatif telah menyebabkan pengelolaan pasar yang selama ini dikelola oleh perusahaan daerah menimbulkan beberapa kesemrawutan. Tengok saja proses ‘pemoderenan’ pasar lokal seperti pasar Terong, Sentral, dan Pusat Niaga Daya yang telah gagal menampung seluruh pedagang kecil untuk berjualan di dalam gedung baru. Gagalnya menarik para pedagang untuk berjualan di dalam area, disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kultur pasar lokal adalah hamparan dan mengubah kultur itu menyebabkan kesulitan para pedagang kecil, bermodal kecil, dan pola permodalan harian, untuk bertahan di dalam pasar. Mereka lalu lebih memilih berjualan di luar area dengan mengindahkan keteraturan. Kedua, pilihan ini, ditempuh oleh para pedagang kecil berkaitan dengan budaya berbelanja warga kota (konsumen) yang tidak mau terlalu direpotkan oleh kesulitan akses ke pedagang (naik tangga, pengap, lorong sempit, copet, lain-lain). Ketiga, adanya dualisme kepemimpinan dalam pasar yakni Kepala Unit Pasar (Perusahaan Daerah) dan direktur pengelola atau developer (Perusahan Swasta). Dua model manajemen ini tumpang tindih. Sebut saja, peran kepala pasar adalah pelayanan terhadap pedagang (pedagang kios dan pedagang kecil), sementara pihak developer adalah melakukan penjualan atas petak-petak bangunan pasar (ruko, lods, basement). Pihak developer tidak menginginkan adanya pedagang-pedagang yang berjualan di luar area gedung (walau kenyataannya banyak pedagang kecil lebih memilih berjualan di luar area). Dalam konteks ini, pihak pengelola unit pasar tetap menarik retribusi jadi pembayaran pelayanan menjadi dobel khususnya bagi pedagang ruko, lods, dan basement dan merugikan mereka. Para pedagang yang protes atas dua model pungutan ini kemudian harus berhadapan dengan pihak keamanan dalam hal ini ‘preman-preman pasar’ yang membackup pihak pengembang dan pihak unit pasar.
*****
Pilihan untuk berdagang di area trotoar (area jalan raya dan area pasar dan lorong), depan ruko (hall),  dan halaman atau depan rumah penduduk adalah sebuah bentuk perlawanan dari para pedagang kecil yang dipinggirkan oleh akibat kebijakan pemerintah kota dalam membangun pasar lokal bernuansa modern. Moderen disini diartikan secara fisik (bangunan) dan non fisik (manajemen), dimana bangunan pasar adalah bertingkat dengan pola distribusi tempat model kios dan lods. Pola distribusi ini mengakibatkan perbedaan pola kelola pasar, dimana kios dan lods kemudian memiliki harga yang tinggi dimana banyak pedagang kecil tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam membeli setiap kios dan lods itu. Bahkan, dengan mencicil sekalipun, kemampuan (affordability) pedagang kecil masih sangat terbatas. Dalam kasus pasar Terong, harga satu lods bisa mencapai Rp. 60 juta untuk ukuran 2 x 1,5m dan Rp. 80 juta untuk ukuran 2 x 2m, dengan DP (uang muka) bagi yang akan mencicil di atas Rp. 10 – 15 juta dengan jarak waktu yang sangat pendek (kurang lebih 4 tahun). Belum lagi bila lokasi itu berbeda area, misalnya area strategis dan area tidak strategis. Area strategis itu berada di depan pintu masuk atau pintu jalan. Harganya bisa jauh lebih mahal lagi. Bisa dibayangkan, bagaimana pedagang-pedagang kecil mampu bersaing dalam mengakses lods yang demikian mahal itu.
*****
Dalam penelitian etnografis yang dilakukan oleh AcSI, intensitas interaksi dengan pedagang-pedagang kecil telah memberikan banyak informasi berharga yang berguna bagi pemerintah kota dan warga kota umumnya mengenai mengapa mereka lebih memilih ruang-ruang ‘ilegal’ itu. Salah satu informasi penting adalah pola permodalan dari pedagang-pedagang kecil. Namun, sebelum mengurai pola itu terlebih dulu perlu untuk mengklasifikasi pedagang kecil. Mereka adalah Palembara’ (tipe pedagang tertua asli Bugis-Makassar atau Melayu, kini dalam model yang lebih bervariasi seperti asongan dan pa’garoba’), palapara’ (beralas tikar atau bakul), Pagandeng(menggunakan sepeda dan becak, dan motor)dan pamejang (dengan meja).
Interaksi para pedagang kecil ini dibungkus oleh pilosophi ‘saling menghidupi’ atau lebih dikenal  ‘Sitallassi Parangta’ Rupa Tau’ dengan 2 prinsip utama, yakni kejujuran (lambusu’) dan tanggung jawab (pammentengang). Jadi, ketika anda masuk dalam pilosophi itu maka peganglah kedua prinsip itu. Berpegang pada pilosophi inilahpalembara’ , asongan, pa’geroba’, palapara’, Pagandeng, dan pamejang menjaga eksistensi dagang dan menghidupi keluarga kecil mereka.
Palembara’ adalah pedagang yang modalnya tergantung kepada petani di desa. Mereka mengambil barang dagangan untuk kemudian menjualnya di pasar. Untuk kasusasongan, mereka mengambil barang-barang yang dianggap laku (paling dibutuhkan oleh banyak konsumen) dari kios-kios atau ‘bos-bos’ (punggawa) untuk kemudian menjualnya. Misalnya, seorang pedagang asongan mengambil satu selop rokok (berisi 10 bungkus) seharga Rp. 90.000,- lalu dia menjualnya seharga Rp. 10.000,- perbungkus, berarti dia akan memperoleh keuntungan sebesar Rp. 10.000,- yang akan menjadi miliknya (dalam konteks ini ada juga asongan yang sudah bermodal sendiri). Palapara’ mengambil barang dari ponggawa-nya  atau bos-bos pada dini hari (sekitar pukul 02.00 dan 03.00 malam) untuk kemudian menjualnya di pagi hari (berkisar pukul 06.00 – 18.00; konteks palembara’ masa lalu hanya sampai pukul 09.00) dan melakukan pembayaran pada sore hari (sebelum waktu shalat Magrib). Pola ini juga disebut pola pola titip-jual yang banyak terjadi di pasar-pasar lokal. Sementarapamejang adalah mereka yang sudah memiliki modal sendiri dengan kisaran Rp. 500.000,- hingga Rp. 5.000.000. Mereka umumnya sudah lebih mandiri ketimbang pedagang kecil lainnya, bahkan untuk beberapa kasus telah memiliki jaringan dagang antar daerah dan antar pulau.
*****
Pola permodalan dengan pilosophi pasar lokal ini, sebenarnya bersandingan dengan pola lain yang kurang mengindahkan aspek-aspek kemanusiaan, yakni pola permodalan melalui mekanisme appa’bunga doe’ (lintah darat) dan praktek perkoperasian. Pola ini banyak digemari oleh pedagang kecil yang telah terdesak khususnya pada sesi-sesi pasar ramai, seperti bulan puasa ramadhan, hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan Tahun Baru, Imlek atau dikenal dengan istilah ‘cumbeng’, menjelang hari pertama sekolah). Sedangkan permodalan melalui koperasi dipilih oleh pedagang tertentu untuk kepentingan yang lebih strategis. Jadi, walau dengan bunga tinggi hingga 20% sekalipun, para pedagang rela meminjam disana.
Pilihan ini, sedikit banyak serupa dengan pilihan ruang menjual di luar tempat yang sudah disediakan. Pedagang memilih keduanya (ruang ‘ilegal’ dan appa’bunga doe) disebabkan oleh ketidakadilan atas mereka. Pedagang-pedagang ini tidak mampu mengakses sistem pengaturan pasar lokal oleh perusahaan daerah maupun developerdan sistem permodalan perbankan yang tidak berpihak pada pedagang kecil. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian dari semua pihak, khususnya pemerintah kota.
*****
Dalam konteks inilah kegiatan ‘Assisambung Kana’ dilaksanakan. Perlu bagi kita untuk duduk bersama menyambungkan kata khususnya dalam konteks penataan pasar lokal di tengah himpitan pasar-pasar besar dari pemodal besar. Semangat ‘Assisambung Kana’ ini adalah semangat ‘Sipakatau Sipakainga’. Atau dalam bahasa yang lebih santun bahwa pemerintah menghargai masyarakatnya dan demikian sebaliknya, masyarakat menghargai pemerintahnya. Bila diantara keduanya ada yang melakukan kekeliruan atau kesalahan, maka sebuah proses ‘Assisambung Kana’ dibutuhkan. Dibutuhkan khususnya dalam menemukan kembali ruh pasar lokal kita yang pernah ada dalam lintasan sejarah pasar di kota Makassar atau dalam bahasa kita ‘Ni buntuluki ammotere pasaraka’.

1 komentar:

Roni mengatakan...

top q ini gagasan ta k'enal.