Kamis, 13 Januari 2011

SEPUTAR KEHIDUPAN TUKANG BECAK

Oleh: Risal Suaib
Calon Penumpang: “Berapa ke Pante Losari, daeng ?”
Daeng Becak: “Kita iya, mau bayar berapa!”
Calon Penumpang: “Lima ribu mi na”.
Daeng Becak: “Tambami sediki’, anang ribu mi. Jau itu kaue Pante Losari”.
Calon Penumpang: “Itumi de lima ribu. Ka tinggal itu mi uangku. Kalo tidak mau ki, saya cari daeng becak lain(g)”.
Daeng Becak: “Iyo pade’ nai’ maki’”.
Itulah sekelumit percakapan yang sering kita jumpai, antara daeng becak dengan calon penumpangnya. Adanya tawar menawar harga soal jauhnya jarak yang akan ditempuh daeng becak untuk mengantar calon penumpangnya adalah hal lumrah di kalangan tukang becak. Tapi, tak jarang pula kita dapati, ketika seorang calon penumpang menyebutkan sekian ribu rupiah harga yang ingin dia bayar untuk sampai ke tempat tujuannya, daeng becak kadang mengiyakan saja. Ini adalah pertanda bahwa lokasi tujuan si calon penumpang tidaklah jauh, demikian kira-kira pandangan si daeng becak.
Di luar kelumrahan soal jarak tempuh, yang tentunya berkorelasi dengan harga yang mesti dibayar oleh si calon penumpang. Informasi menarik buat para calon penumpang, bahwa; tukang becak yang sedikit lebih agresif mencari penumpang dibanding tukang becak lainnya adalah jenis tukang becak yang lebih mudah berkompromi soal harga dengan calon penumpangnya. Ini bisa dijumpai di beberapa pangkalan becak yang ada di Kota Makassar. Salah satu di antaranya: pangkalan becak di simpang tiga antara Jalan Maccini Tengah dan Jalan Kesatuan, di mana kita bisa mendapatkan sedikit banyak informasi seputar kehidupan tukang becak.
Tak jarang pula kita dapatkan kejadian seperti ini, di mana tukang becaknya sangatlah bersemangat dalam mencari penumpang. Semisal, Syahruddin atau Saru’, demikian namanya sering dipanggil oleh rekannya sesama tukang becak. Adalah satu di antara beberapa tukang becak yang sering mangkal di simpang tiga antara Jalan Maccini Tengah dan Jalan Kesatuan. Dan adalah juga salah seorang tukang becak yang kadang berperilaku demikian.
Sebelum mangkal di tempatnya sekarang, Saru’, yang berperawakan tubuh agak kecil dengan bentuk wajah agak bulat, dan rambut yang hitam kecoklatan, serta kulit tubuh kehitaman terbakar matahari, sebagaimana umumnya tukang becak, pertama kali mangkal di ujung Jalan Maccini Tengah pertigaan Jalan Maccini Raya. Karena dirasakan pendapatan yang kurang dan seringnya terjadi keributan di kalangan pemuda di sekitar tempatnya mangkal, maka Saru’ kemudian memutuskan untuk pindah lokasi tempat mangkal ke simpang tiga antara Jalan Maccini Tengah dan Jalan Kesatuan.
Di tempat barunya ini, Saru’ yang suka bertopi diwaktu mengayuh becaknya, di kalangan teman seprofesinya dikenal pendiam dan sedikit bicara, sepertinya senang-senang saja. Di tempat barunya pula, kedua saudaranya, Basri dan Uding, ikut duluan mangkal menjadi tukang becak. Pilihan tempat mangkal dirasanya cocok, karena dekat dengan tujuan orang-orang di sekitar Jalan Maccini Tengah untuk berbelanja ke Pasar Karuwisi, yang terletak di ujung Jalan Kesatuan Dalam. Dan dekat pula dengan tempat tinggalnya saat ini, di Jalan Maccini Tengah. Sebelumnya, Saru’ tinggal di rumah kontrakannya di Jalan Kesatuan Dalam sampai memutuskan untuk pindah rumah.
Saru’ telah mengayuh becak sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Makassar beberapa tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 1997. Lelaki pendiam kelahiran Jeneponto tahun 1979 ini, sepertinya meneruskan tradisi para lelaki Jeneponto lainnya yang tidak tamat sekolah untuk menjadi tukang becak. Kenyataan yang sama di tempatnya mangkal menunggu penumpang adalah tempat mangkalnya para daeng becak asal Jeneponto, nama satu kabupaten di Sulawesi Selatan, sekitar 40-an kilometer dari Kota Makassar.
Saru’ yang kini telah dikarunia seorang anak laki-laki berusia tiga bulan dari hasil pernikahannya dengan seorang perempuan asal kampungnya sendiri, Jeneponto, adalah tipe daeng becak yang sedikit banyak telah berubah sejak menikah. Sebelum menikah, Saru’ dikenal sebagai seorang tukang becak yang gemar menghabiskan uang hasil keringatnya mengayuh becak, hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti berjudi. Demikian penuturan Saril, salah satu rekannya sesama tukang becak yang juga sering mangkal di simpang tiga tersebut.
Steriotipe tukang becak sebagai orang yang gemar berjudi akhirnya juga menimpa Saru’ sampai pernikahannya setahun lalu. Dalam kamusnya, tidak ada istilah untuk menabung, meskipun untuk penjaga dompet . Uang hasil jerih payahnya mengayuh becak, dihabiskan hari itu juga.
Kini, setelah menikah dan punya anak, Saru’ relatif bisa meninggalkan kegiatan judi yang tidak bermanfaat itu. Berjudi kupon putih atau pun kartu adalah “teman akrab” para tukang becak yang mangkal di seputaran Maccini, selain tentunya judi selokan yang lagi marak di musim hujan. Meski terkadang juga Saru’ tergoda untuk berjudi kupon putih, apalagi bila Saru’ mendapat mimpi , maka Saru’ akan memasang sejumlah uang untuk mimpinya itu. Bila perasaannya mengatakan mimpi itu bagus, Saru’ biasanya akan memasang uang lebih banyak lagi.
Dengan pendapatan sehari dari mengayuh becak, berkisar Rp.25.000 – 30.000, dipotong pajak sewa becak Rp.3.000/hari ditambah uang makan 2 kali/hari (siang dan malam) yang berkisar Rp.3.000/sekali makan. Dengan sebatang rokok yang kadang terselip di bibirnya, sebagai ‘teman’ di waktu makan dan bekerja. Saru’, bisa menghabiskan minimal sebungkus rokok bermerek Surya atau Gudang Garam Mini, seharga Rp.5.000 – 6.500, dalam sehari.
Pendapatan bersih yang diperolehnya dari mengayuh becak, berkisar Rp.10.000 – 15.000. Itulah yang kemudian disimpannya di dalam dompetnya dan tidak disimpan dalam bentuk celengan atau pun tabungan bank. Alasannya, lebih mudah untuk di ambil bila keadaan mendesak.
Pendapatan bersihnya dalam sebulan relatif besar, berkisar Rp.300.000 – 450.000. Dengan inilah, Saru’ menghidupi keluarganya yang hingga kini masih tinggal di kampungnya, Jeneponto. Tapi, tak jarang juga, Saru’ mesti mengeluarkan sejumlah besar uang untuk mengongkosi becaknya bila rusak, semisal bila terjadi tabrakan dan mengakibatkan velek becaknya bengkok. Dan tragis buat Saru’ bila hari “sial” itu datang berturut-turut dalam seminggu, berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Karena sesuai kesepakatan dengan pemilik becak (bosnya) bernama Dg Luce’, tempatnya menumpang tidur dengan gratis selama ini, seluruh kerusakan yang ada ditanggungnya sendiri.
Meski demikian, satu bentuk keberuntungan yang didapat Saru’ selama memutuskan untuk pindah dari rumah kontrakannya di Jalan Kesatuan Dalam, ke “rumah” barunya sekarang. Di mana Saru’ tidak perlu lagi untuk mengeluarkan sepeser pun uang untuk membayar sewa kontrakan, karena dengan kebijaksanaan sang pemilik becak, Dg Luce’, Saru’ boleh tinggal selama dia mau. Dan ini pun tidak bisa dilepaskan dari rasa solidaritas di antara mereka sesama tukang becak asal Jeneponto.
Di bulan-bulan tertentu setiap tahun, tepatnya diwaktu musim tanam antara bulan Desember hingga bulan Februari, Saru’ pun sebagaimana lazimnya lelaki Jeneponto, balik ke kampung halaman untuk memulai aktifitas bertanam padi. Kebetulan sawah yang akan dikerjakan oleh Saru’ adalah sawah milik orang tuanya sendiri. Saru’ biasanya menyelesaikan masa kerjanya bertanam padi berkisar 15 hari. Meski terkadang tidak rutin setiap hari. Walau pun sawah yang dikerjakannya adalah milik orang tuanya sendiri, Saru’ pun tetap mendapat upah sebagaimana pekerja sawah lainnya. Upahnya didapat pasca panen, berupa satu setengah karung gabah, dengan karung berukuran berat 50 kg, yang bila dirupiahkan menurutnya, berkisar Rp.75 ribu. Setelah aktifitas bertanam padi rampung diselesaikannya, Saru’ pun balik lagi ke Kota Makassar untuk memulai aktifitasnya sebagai tukang becak.
Di luar tradisi pulang kampung karena masa bercocok tanam telah tiba. Saru’ pun tidak melewatkan untuk pulang kampung setiap bulannya. Dan tinggal lebih kurang seminggu lamanya, untuk melepaskan rasa rindu pada istri dan anaknya. Sekaligus memberi uang belanja pada istrinya, hasil dari jerih payahnya mengayuh becak. Tentunya setelah dipotong biaya perjalanan berkisar Rp.30.000pp. Makassar – Jeneponto dan biaya makan selama diperjalanan.
Rutinitas ini harus dijalani oleh Saru’ dan juga oleh para tukang becak lainnya asal Jeneponto. Menjadi pengayuh becak yang mesti stand by setiap hari dipangkalan. Dari terbitnya matahari hingga malam datang menjemput, kira-kira dari jam tujuh pagi hingga jam sembilan malam. Melepaskan kerinduan sementara kepada keluarga, dengan bercengkrama dan kadang diselingi dengan bermain domino atau pun dam dengan sesama tukang becak. Kebiasaan seperti itu tidak terlewatkan barang sedikitpun oleh Saru’ maupun rekannya yang lain yang juga tinggal di tempat itu. Tentunya semua itu dilakukan, setelah masa kerja mencari uang telah usai. Yakni menjelang tengah malam, di tengah sayup-sayup suara desingan motor anak-anak Maccini yang lagi balapan.
Catatan Kaki;
1. Istilah daeng adalah panggilan akrab orang-orang di Kota Makassar untuk menyebut mereka yang berprofesi sebagai tukang becak. Awalnya, istilah daeng, hanya dipakai untuk menyebut satu strata sosial yang ada di kalangan etnis Makassar. Namun seiring berlalunya waktu, istilah daeng ini kemudian digunakan untuk menyebut atau mengidentifikasi orang-orang beretnis Makassar. Sampai kemudian tiba masa, di mana istilah daeng “melekat” pada orang-orang beretnis Makassar, yang berprofesi sebagai tukang becak.
2. Istilah penjaga dompet adalah istilah yang digunakan oleh anak-anak remaja di sekitar Maccini untuk menyebut sejumlah kecil uang yang sering disimpan dalam keadaan dilipat dan diselipkan di sela-sela kantung dompet.
3. Judi di kalangan tukang becak terdiri dari beberapa jenis, di antaranya: kupon putih (togel), kartu remi atau domino, dan , judi selokan.
4. Judi kupon putih (togel) adalah satu jenis judi yang memakai sejumlah besar uang. Uang ini kemudian sengaja dipasang untuk sejumlah angka tertentu, dari angka nol sampai angka seratus. Permainan judi jenis ini, memakai putaran Malaysia dan Singapura untuk putaran siang hari, dan putaran Surabaya untuk malam hari. Pemenangnya adalah mereka yang angka pasangannya cocok dengan angka yang naik.
5. Judi kartu dikenal ada dua jenis; judi kartu remi dan domino.
6. Istilah judi selokan adalah untuk menyebut satu jenis perlombaan yang menggunakan kayu atau pun benda mengapung seperti plastik. Benda ini kemudian diperlombakan ibarat pelari, di mana benda yang duluan menyentuh garis finislah yang memenangkan perlombaan.
7. Istilah mimpi adalah istilah di kalangan penjudi kupon putih (togel), untuk menyebut hal-hal bersifat mistik yang didapatnya ketika tidur. Misalnya, mimpi diburu macan atau mimpi diberi sejumlah uang, dll. Mimpi ini kemudian ditafsirkan lewat buku mimpi, yang telah mencantumkan angka yang berhubungan dengan mimpi itu.

0 komentar: