Selasa, 25 Januari 2011

Pembangunan yang (TIDAK) Membangun

Oleh; Gideon Lebang

Ada yang menarik dengan pemberitaan koran Fajar halaman 15, hari Rabu tanggal 1 Desember 2010. Disitu tertulis tentang konsep “Menyulap Kawasan Pinggiran Menjadi Pusat Grosir”. Bermacam-macam kemewahan yang ditawarkan oleh pengembang dalam hal ini Mutiara Property melalui anak perusahaannya PT. Daya Niaga Cemerlang. Mulai dari Pusat Grosir Terbesar yang dipadukan bersama hotel, restoran, terdapat pete-pete khusus, jasa ekspedisi, atm, tenant-tenant perbankan serta pasar segar.

Ada yang menarik? Pertama, konsep penyatuan atau menurut istilah pembangunan modern sekarang dinamakan “pembangunan integral” merupakan konsep pembangunan yang menyatukan semua pusat aktifitas dagang dan ruang santai publik dalam satu area. Gunanya supaya publik atau si-pengguna aktifitas tidak perlu repot-repot ketempat berbeda hanya untuk membeli suatu barang produksi. Jadi ketika ibu-ibu rumah tangga mau membeli baju bisa sekalian membeli sayur dan ikan. Konsep pembangunan ini menjadi suatu terobosan yang sudah tidak baru lagi di Indonesia. Banyak kota-kota besar di Indonesia mengaplikasikannya termasuk Makassar. Konsep ini direduksi oleh para teknokrat pembangunan Indonesia dari luar negeri yang fungsinya meminimalisasi ruang-ruang agar tidak terbuang percuma. Sebenarnya untuk kasus Indonesia jangan kita sama kan dengan negara Jepang atau Prancis atau negara Eropa lainnya yang ruang-ruang sudah sangat sedikit, sehingga untuk pemanfaatan ruang haruslah maksimal. Kita masih punya wilayah yang terbentang luas dari sabang sampai merauke yang tidak termaksimalkan pembangunan. Jelas alasannya, pemerintah kota Makassar harus punya pemasukan untuk menutupi perut-perut karyawan pemerintah, studi banding anggota dewan, pembangunan jalan(walaupun depan rumahku belum beraspal), dan kelangsungan partai dan golongan tertentu. Semuanya itu harus berasal dari investor yang ber-mutualisme dengan pemerintah dan politisi antagonis.

Kedua, konsep yang katanya modern itu tidak sangat sesuai dengan konsep berbelanja masyarakat Indonesia pada umumnya. Sangat lucu dibayangkan ketika pasar segar yang dalam hal ini pasar yang menjual sayuran, buah-buahan serta barang basah seperti ikan dan daging, berada di tengah-tengah kios dan ruko-ruko yang menjual kain serta pakaian yang notabene adalah barang kering. Letak kenyamanan seperti apa yang  coba ditawarkan oleh pengembang ketika itu terjadi. Ada dua alasan kenapa yang terjadi hanya ketidaknyamanan : Pertama, ketidaknyamanan pedagang dan pembeli. Yang kita tahu, daging dan ikan membutuhkan air atau es batu untuk tetap menyegarkannya. Area ikan dan daging membutuhkan drainase limbah dan sirkulasi udara yang baik. Dan itu tidak bisa terjadi kalau tidak adanya pemisah yang jelas antara area dagangan basah dan kios serta ruko-ruko yang mengelilinginya. Logikanya, saluran pembuangan limbah ikan dan daging akan terus berputar-putar dan hanya berkumpul ditengah-tengah pasar segar. Dan menyebabkan ketersumbatan sehingga pasar akan (kembali) becek. Kedua, ketidaknyamanan penduduk yang bermukim disekitar Pusat grosir akibat limbah pembuangan. Dimana di sekelilingnya terdapat ratusan rumah penduduk yang bermukim. Hasilnya bau limbah akan menyengat tiap hari dan (akan) diperparah ketika hujan turun membawa genangan limbah yang bisa menyebabkan penyakit.

Konsep yang ditawarkan Along, sapaan sehari-hari Kiplongang Akemah yang merupakan Presiden Direktur Mutiara Property tidak bisa kita bilang buruk sepenuhnya. Konsepnya sangat baru dan belum ada yang serupa di Makassar. Dimana pasar segar dikelilingi oleh pusat grosir kain dan pakaian. Tapi, bila kita bercermin dari pasar-pasar semi-modern yang berada di Makassar seperti pasar Terong dan Sentral-mall dimana kegagalan pengelola dan pemerintah untuk mewujudkan terciptanya kenyamanan pedagang dan pembeli. Kita lihat Sentral-mall. Para pedagang basah dalam hal ini sayur, buah, ikan dan daging yang lokasinya berada di basement sama sekali jauh dari harapan mereka ketika ditawari oleh sales pengelola. Sangat sempitnya saluran air yang tersedia menyebabkan limbah bertumpuk di gorong-gorong seputarnya.

Pasar Terong yang malu-malu menyebutnya sebagai Mall-Terong lebih parah lagi. Sama sekali tidak ada tata kelola pasar yang jelas. Pembagian area antara barang basah dan kering tidak pernah ada. Bayangkan, untuk pedagang asam dan sayur ditempatkan pada lantai dua berdampingan dengan barang pecah belah. Dari mana kemana hubungannya, kata daeng Jama’ salah satu pedagang asam yang pernah punya kios di dalam pasar yang berlantaikan empat itu. Makanya kita tidak heran kalau banyak pedagang disana yang tidak menempati kiosnya dan kembali meluber memenuhi jalan-jalan Terong dan sekitarnya.

Kembali lagi ke permasalahan rencana pembangunan Pusat Grosir Daya. Kalau melihat letak pasar yang sangat strategis dimana berada di depan terminal Daya. Itu menjadikan salah satu nilai plus keberadaan pasar yang satu ini. Terciptanya arus produksi kepada konsumen (mungkin) akan tercapai. Banyaknya calon-calon konsumen yang berada di daerah akan semakin memudahkan proses transportasinya. Apalagi katanya, pasar ini akan dilengkapi sarana jasa ekspedisi yang bisa mengantarkan barang-barang pesanan kepada konsumen yang berada jauh diluar daerah. Tetapi itu masih menajadi pemanis bibir para pengembang untuk melariskan propertinya kepada calon-calon pembeli.

Sempat saya bertemu dengan salah satu sales pengembang properti ini. Dengan berpura-pura sebagai calon pembeli kios. Dia menceritakan kepada saya mengenai kenyamanan serta fasilitas-fasilitas yang akan tersedia di area pusat grosir. Mulai dari konsepnya yang integral dimana pasar segar yang dikelilingi kios dan ruko grosir pakaian serta hotel, restoran dan kemudahan-kemudahan lainnya. Sales ini juga menegaskan kepada saya untuk cepat-cepat memesan dan memberikan uang tanda jadi sebesar 5 juta rupiah. Tapi begitu terkejutnya saya ketika mendengar harga kontan per kiosnya rata-rata mencapai 207 juta dengan luas hanya 4,75  x 3 meter. Itu baru harga kios, belum harga ruko yang mungkin dua kali lipatnya. Saya tidak menanyakan harga rukonya lagi atau harga kios yang berada di tempat strategis yang punya harga bervariasi tersebut. Apakah saking terkejutnya atau apalah.

Lantas saya teringat dengan bapak Muchtar. Seorang pedagang pisang dan beras yang menjual hanya karna kebiasaan. Bapak yang sudah berumur 70 tahun ini sudah menjual kurang lebih 50 tahun. Awalnya dia menjual di sekitaran pasar lama, jalan pacerakang, sebelum dia dan banyak pedagang lainnya dipindahkan kepasar baru Niaga Daya tahun 1997. Kata bapak Muchtar, kalau dia tidak bekerja dan tinggal dirumah, badannya akan sakit semua. Sebenarnya dia bekerja bukan untuk mempertahankan hidup karna sudah ada anak-anaknya yang berhasil menjadi pelaut dan membuatkannya rumah. Tetapi karna hidupnya berawal dari pasar maka dia terus melanjutkan hidupnya di pasar, tambah bapak beranak empat ini. Bapak muchtar juga menceritakan kisahnya yang pernah punya utang mencapai 80 juta rupiah. Katanya, dia memiliki utang sebanyak ini untuk keperluan menyekolahkan anaknya yang kuliah di ilmu pelayaran.

Pasar bagi bapak muchtar dan ratusan pedagang lainnya memang menjadi area bekerja yang nyaman. Walaupun bangunan yang mereka tempati serba darurat, becek dan berbau tidak sedap, tetapi karna tuntutan ekonomi dan tanggung jawab keluarga, itu harus dijalani.

Di Pasar Niaga Daya sendiri terdapat organisasi pedagang yang dinamakan Himpunan Pedagang  Kaki Lima – Perjuangan (HPKL – P). Mereka yang tergabung di organisasi ini rata-rata adalah para pedagang yang berasal dari relokasi pasar lama yang tidak menempati kios atau ruko yang berada di dalam inti pasar. Tujuannya selain sebagai wadah berorganisasi juga sebagai alat persatuan untuk menghindari pungutan-pungutan liar dari mana saja.

Lokasi berjualan bapak Muchtar bersebelahan dengan sekretariat HPKL – P yang berada di sebelah barat Pasar Niaga Daya dan itu berarti berada pas bersebelahan dengan lokasi pembangunan Pusat Grosir Daya. Jarak antaranya cuma lima langkah kaki orang dewasa. Sedangkan antara PND dengan lokasi Pusat Grosir Daya sekitar kurang lebih 50 meter. Bagaimana jadinya nasib ratusan pedagang yang berada di Pasar Niaga Daya ketika Pusat Grosir jadi dibuat..?? mau dikemanakan mereka..??

Sekarang saja, sebelum Pasar Grosir dan Pasar Segar didalamnya belum ada, omzet para pedagang dari hari ke hari menurun. Seperti yang dialami Hj. Rahmawati. Pedagang barang campuran ini hanya meladeni para pembeli tetapnya.

Saatnya pemerintah dalam hal ini walikota Makassar, agar melihat kembali rencana pembangunan Pusat Grosir Daya dan pembangunan modern lainnya. Jangan hanya kepentingan menarik investor saja dan mengenyampingkan aspek ekonomi-kerakyatan yang telah terbangun sebelum negara ini merdeka.

Bukan tidak mungkin rencana pembangunan Pusat Grosir Daya ada keterkaitannya dengan ter-(di) bakarnya Pasar Grosir Butung. Karna area yang tidak mencukupi lagi untuk memperbesar kawasan Butung yang keberadaannya di tengah kota. Maka disulaplah kawasan pinggiran menjadi penggantinya.


* penulis menganalogikan kata disulaplah sebagai pengganti arti untuk tindakan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang punya kepentingan besar dan cara yang dipakai untuk merealisasikan kepentingannya lewat tindakan kriminal.  

0 komentar: